JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada Selasa (6/12/2022). Sidang hari ini digelar untuk dua perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 108/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Leonard Siahaan dan Perkara Nomor 110/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Dian Leonaro Benny.
Pada sidang kedua ini, Leonard dalam perkara Nomor 108/PUU-XX/2022 menyebutkan hal yang telah diperbaiki pada permohonannya. Yakni, memuat perbandingan UU dan regulasi di Eropa pada 2016 yang pada intinya 98% mirip dengan pasal yang diujikan Pemohon pada perkara ini. “Dalam regulasi ini memberikan pengecualian, dengan kata lain norma ini memberikan perlindungan kepada data perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga. Jadi pada intinya regulasi tersebut memberikan perlindungan data pribadi secara profesional dan rumah tangga. Selain itu Pemohon juga telah menyertakan lembaran negara atas norma ini,” kata Leonard yang menyatakan Pasal 1 ayat (4), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 19 UU PDP bertentangan dengan UUD 1945.
Sebagai informasi, Pemohon berpandangan UU PDP belum memberikan payung hukum bagi pengguna data pribadi khususnya bagi pelaku bisnis e-commerce berskala rumah tangga. Sebab dalam pelaksanaan usaha ini, rentan akan kebocoran data utamanya saat transaksi finansial yang dapat saja dilakukan oleh peretas dengan melakukan cybercrime economy atas insiden kebocoran data. Bahwa pemanfaatan teknologi informasi mengakibatkan data pribadi seseorang mudah untuk dikumpulkan dan dipindahkan dari satu pihak ke pihal lain tanpa sepengetahuan subjek data pribadi sehingga hal ini mengancam hak konstitusional subjek data pribadi. Selain itu, perlindungan data pribadi tergolong pada perlindungan HAM. Dengan demikian pengaturan mengenai data pribadi menjadi manifestasi pengakuan dan perlindungan atas hak dasar manusia. Oleh karenanya, UU PDP tidak menjawab perlindungan terhadap hak subjek data pribadi.
Baca juga:
Menyoal Keamanan Data Pribadi Bagi Perseorangan dan Usaha Berskala Rumah Tangga
Kerugian Konstitusional
Berikutnya dalam agenda sidang yang sama, Dian Leonaro Benny pada perkara Nomor 110/PUU-XX/2022 yang mendalilkan Pasal 15 ayat (1) huruf a UU PDP menyebutkan beberapa bagian yang disempurnakan dari permohonannya terdahulu. Di antaranya, menambahkan UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MK yang terkait dengan kewenangan MK atas perkara ini; legal standing Pemohon dengan menambahkan kerugian konstitusional mengenai hak dan kewenangan Pemohon atas diberlakukannya UU a quo yakni korelasi pasal dalam UUD 1945 dengan kerugian konstitusional Pemohon; penjelasan mengenai argumentasi kerugian yang spesifik dan potensial yang akan terjadi jika UU a quo berlaku.
“Untuk pasal yang diujikan ini sebenarnya bisa digunakan pada dua kemungkinan untuk kepentingan pertahanan nasional, tetapi juga digunakan untuk mengecualikan subjek pada data pribadi, maka bagian terakhir ini yang ingin saya tekankan. Selanjutnya pada alasan permohonan, Pemohon juga memberikan breakdown mengenai pasal-pasal terkait dengan pasal a quo,” jelas Leon pada Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Manahan M.P. Sitompul.
Pada sidang terdahulu Selasa (22/11/2022) Pemohon mengatakan pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Bahwa perlindungan data diperlakukan sebagai bagian dari perlindungan privasi sebagai individu. Menurut Pemohon privasi berkaitan dengan hak yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada hak lain, tetapi hak tersebut akan hilang apabila seseorang mempublikasikan hal-hal yang bersifat pribadi pada masyarakat umum.
Dalam pelanggaran privasi terdapat kerugian yang sulit untuk dinilai. Kerugian yang dialami dapat mengganggu kehidupan pribadi sehingga pihak korban wajib mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diderita tersebut. Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU PDP tidak secara terang dan jelas menjelaskan secara pasti dan akurat mengenai yang dimaksud dengan ‘kepentingan pertahanan dan keamanan nasional’. Sehingga pasal a quo berpotensi menjadi pasal yang multitafsir dan bermasalah di kemudian hari dan digunakan sebagai justifikasi untuk mengecualikan hak-hak subjek data pribadi. Berdasarkan uraian argumentasi yang telah disampaikan, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memutus permohonan menyatakan Pasal 15 ayat (1) huruf a bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, atau menyatakan Pasal 15 ayat (1) huruf a bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuaatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan ‘kepentingan pertahanan dan keamanan nasional’ adalah kepentingan yang berkaitan dengan upaya untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P.
Humas : Fitri Yuliana