JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), Senin (28/11/2022). Sidang perkara Nomor 107/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh Karminah, warga Semarang yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Karminah mengujikan Pasal 79 dan Penjelasannya serta Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasannya dari UU MA. Majelis Sidang Panel yang memeriksa perkara ini terdiri atas Hakim Konstitusi Arief Hidayat bersama Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Pada sidang kedua dengan agenda pembacaan perbaikan permohonan ini, Pho Iwan Salomo selaku kuasa Pemohon menyebutkan beberapa perbaikan pada poin alasan permohonan atas pengujian UU MA. Peraturan MA tersebut, kata Iwan, hanya mengatur pejabat badan peradilan yang dapat menunda eksekusi. Dengan kata lain, hanya ketua pengadilan tingkat pertama hingga tingkat banding, dan jika ketua berhalangan dapat dilakukan oleh wakil ketua. Akan tetapi, dalam praktiknya wewenang tersebut disalahgunakan oleh pejabat badan peradilan dengan menunda eksekusi sebebas-bebasnya. Hal ini, sambung Iwan, tentu bertentangan dengan undang-undang.
Iwan menjelaskan hal tersebut terjadi di Pengadilan Agama Semarang. Pemohon sebagai Pemohon eksekusi membayar sejumlah uang atas penetapan eksekusi pengadilan Agama Semarang Nomor 2/Pdt.Eks/2016/PA.Smg tanggal 1 September 2016 yang telah sah dan mengikat juncto Putusan Cerai Pengadilan Agama Semarang Nomor 1086/Pdt.G/2006/PA.Smg tanggal 4 Januari 2007 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), yang telah teregister dalam perkara dengan Perkara Nomor 4/Pdt.Eks/2021/PA.Smg tanggal 6 Agustus 2021 yang telah sampai pada tahap sita eksekusi.
“Akan tetapi, tidak dapat dilaksanakan lelang eksekusi. Akhirnya, Wakil Ketua Pengadilan Agama Semarang melakukan diskresi dalam bentuk Penetapan Penundaan Eksekusi Nomor 4/Pdt.Eks/2021/PA.Smg tanggal 15 November 2021 dengan alasan adanya Perkara Gugatan Nomor 3177/Pdt.G/PA.Smg tanggal 15 November 2021 yang diajukan oleh Termohon eksekusi, yang notabene warga negara asing dan diumumkan pada tanggal 10 Januari 2022 hingga perkara gugatan tersebut berkekuatan hukum tetap. Sedangkan undang-undang telah mengatur penundaan eksekusi, hanya perkara perlawanan yang dibolehkan untuk menunda eksekusi,” jelas Iwan yang hadir secara daring bersama dengan prinsipal.
Mengadu ke Beberapa Lembaga
Lebih jelas lagi Iwan menjabarkan Peraturan MA yang ada cenderung disalahgunakan oleh pejabat pengadilan. Atas perkara ini sejatinya Pemohon juga telah mengajukan pengaduan kepada Komisi Yudisial RI selaku pengawas eksternal Mahkamah Agung. Akan tetapi, tidak membuahkan hasil, meskipun ditindaklanjuti dengan memeriksa Pemohon dan Pengadilan Agama Semarang. Kemudian, Pemohon juga telah mengajukan upaya hukum ke pengadilan tata usaha negara, namun tidak dapat diterima dengan alasan penetapan penundaan eksekusi adalah keputusan dan/atau tindakan atas dasar pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dianggap dibacakan.
“Berikutnya Pemohon juga telah mengajukan pengaduan kepada Ombudsman RI, dan disimpulkan hal demikian bukan kewenangan Ombudsman. Oleh karenanya, Pemohon dengan terpaksa mencari keadilan ke Mahkamah Konstitusi karena peraturan Mahkamah Agung mengenai penundaan eksekusi di lapangan menjadi sangat sakti,” jelas Iwan.
Baca juga:
Ibu Rumah Tangga Ujikan Peraturan MA Soal Penundaan Eksekusi
Pada sidang sebelumhya, Pho Iwan Salomo selaku kuasa Pemohon menyebutkan Pasal 79 ayat (1) UU MA memberi wewenang yang tidak terbatas kepada MA untuk membuat peraturan sendiri. Seharusnya peraturan MA sebagai diskresi tidak boleh melebihi undang-undang (UU). Namun pada praktiknya pelaksanaan peraturan MA justru melebihi UU. Terkait hal itu, sambung Iwan, Pemohon menarasikan tentang SK Ketua MA RI (SK KMA) Nomor KMA/032/SK/IV/2006 Tanggal 4 April 2006 mengenai penangguhan eksekusi yang melebihi UU.
Dalam kasus konkret Pemohon menyebutkan telah mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama Semarang atas Penetapan Eksekusi Pengadilan Agama Semarang Nomor 002/Pdt.Eks/2016/PA.Smg Tanggal 1 September 2016. Pada pelaksanaan yang telah sampai pada tahap sita, eksekusi justru ditunda dengan adanya Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Agama Semarang. Atas hal ini, Pemohon menilai penetapan penundaan eksekusi tersebut bersifat sewenang-wenang sehingga tidak sah. Menurut Pemohon, Wakil Ketua Pengadilan Agama Semarang tersebut bukanlah pejabat yang berwenang membuat diskresi.
Untuk itu, pada petitum, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 79 dan Penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai peraturan mengenai Penundaan Eksekusi. Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 31 ayat (1) UU MA tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai peraturan MA.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.