TULUNGAGUNG, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi pembicara dalam Seminar Hukum bertema “Kontradiksi Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Kompilasi Hukum Indonesia”, pada rangkaian Justice Festival Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, pada Jumat (25/11/2022).
Wahiduddin yang hadir langsung dalam kegiatan tersebut menyampaikan MK sebagai elemen penting guna memastikan UUD NRI 1945 sebagai konstitusi benar-benar ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurutnya, fungsi tersebut menempatkan MK dalam posisi kritis sebagai penengah antara Pemerintah dengan Islam.
“Karena UUD 1945 mengandung keduanya, yakni Pancasila dan Ideologi Negara yang membutuhkan peran agama dalam negara dan ketentuan yang menjamin kebebasan beragama bagi warga negara, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28E ayat (1), Pasal 29 ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945. 2003-2022 MK berdiri terdapat lebih dari 20 putusan pengujian UU terkait dengan substansi hukum Islam,” ujar Wahiduddin.
Dikatakan Wahiduddin, keberlakuan hukum Islam sebagai sumber pembangunan hukum nasional sesuai dengan Pancasila, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945. Ia menjelaskan, legislasi bermuatan hukum agama, khususnya hukum Islam menjangkau ke berbagai bidang hukum, seperti hukum ekonomi, hukum pidana Islam (jinayah) yang berlaku di Aceh seperti UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut Wahiduddin menjelaskan, dalam praktiknya, pencari keadilan tidak hanya menyelesaikan permasalahan di lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung saja, melainkan juga melalui MK dengan menempuh pengujian undang-undang sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi. Beberapa putusan MK, seperti dalam Perkara Nomor 143/PUU-VII/2009 tentang UU Nomor 19 Tahun 2018 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Perkara Nomor 93/PUU-X/2012 tentang UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Perkara Nomor 86/PUU-X/2012 tentang UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Perkara Nomor 19/PUU-VI/2008 tentang UU Nomor 7 Tahun 1989 juncto UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan tentang UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam tiga perkara, yakni Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010, Nomor 69/PUU-XIII/2015, dan Nomor 22/PUU-XV/2017.
“Fakta ini menunjukkan bahwa MK diberikan wewenang sebagai pengawal konstitusi antara lain melalui pengujian terhadap undang-undang berperan dalam menentukan dinamika perkembangan hukum Islam di Indonesia. Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga peradilan konstitusi menjadi elemen yang penting untuk memastikan bahwa UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi Indonesia benar-benar ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara,” papar Wahiduddin.
Kemudian, Wahiduddin menjelaskan MK sebagai lembaga peradilan yang memiliki kekuasaan untuk memastikan bahwa legislasi yang disahkan oleh DPR sesuai dengan UUD 1945. MK merupakan lembaga peradilan pertama di Indonesia yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
“Fungsi Mahkamah ini menempatkan Mahkamah dalam posisi kritis sebagai penengah antara pemerintah pusat dan Islam, karena konstitusi Indonesia mengandung keduanya, yakni Pancasila dan ideologi negara yang membutuhkan peran agama dalam negara dan ketentuan yang menjamin kebebasan beragama bagi warga negara, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28E ayat (1), Pasal 29 ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945,” papar Wahiduddin.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.