JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian materiil Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Permohonan ini diajukan oleh H. Muhammad Ja’far Sukhairi Nasution (Bupati Mandailing Natal) dan Atika Azmi Utammi (Wakil Bupati Mandailing Natal).
“Amar putusan mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 95/PUU-XX/2022, Kamis (23/11/2022) secara daring.
Mahkamah bependapat, penentuan model pemilihan umum serentak menjadi wilayah kewenangan pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Dengan demikian, menjadi jelas pendirian Mahkamah bahwa pembentuk Undang-Undang memiliki kewenangan untuk menentukan rancang bangun penyelenggaraan pemilu serentak, termasuk juga penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional sesuai dengan batas-batas konstitusional (constitutional boundary),” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pendapat Mahkamah.
Desain Penyelenggaraan Pilkada
Lebih lanjut ia Suhartoyo dalam pendapat Mahkamah mengatakan, dalam rangka mewujudkan Pilkada serentak secara nasional, sebenarnya telah disusun desain penyelenggaraan transisi yang terdiri atas 4 (empat) gelombang, yaitu pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2015, tahun 2017, tahun 2018, tahun 2020, dan November 2024. Oleh karena itu, sepanjang Pikada serentak tetap dipertahankan, desain penyelenggaraan Pilkada transisi demikian merupakan proses integrasi jadwal penyelenggaraan Pilkada yang waktunya saling terpisah satu sama lain menuju penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional setiap 5 (lima) tahun yang akan dimulai pada tahun 2024 dan seterusnya.
Berdasarkan tahapan transisi tersebut, sambung Suhartoyo, maka desain pemilihan umum serentak secara nasional yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang pada tahun 2024 adalah pemilu serentak dalam 2 (dua) tahap, yaitu: pemilihan umum serentak untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan Anggota DPRD; serta beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pilkada serentak secara nasional.
Dengan mengacu pada pilihan model keserentakan pemilihan umum sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUUXVII/2019, maka pilihan model pemilihan umum serentak yang ditentukan tersebut termasuk dalam kategori pilihan keenam, yaitu “Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden”, sehingga pilihan keserentakan tersebut adalah telah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan tentunya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, menurut mahkamah, Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, Pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Baca juga:
Pilkada Serentak 2024 Akibatkan Masa Jabatan Kepala Daerah Berkurang
Bupati Madina Tambahkan Wabup Sebagai Pemohon Uji UU Pilkada
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 95/PUU-XX/2022 dalam perkara perngujian UU Pilkada diajukan oleh Bupati Madina Muhammad Ja’far Sukhairi Nasution, dan Wakil Bupati Madina Madina Atika Azmi Utammi. Adapun materi yang dimohonkan pengujian yakni Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada terhadap UUD 1945.
Dalam persidangan perdana yang digelar di MK pada Kamis (13/10/2022) Adi Mansar selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan, Pemohon adalah Bupati Kepala Daerah Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara yang dilantik oleh Gubernur Sumatera Utara atas nama Menteri Dalam Negeri tanggal 22 Juli 2021 yang bersamaan dengan beberapa Bupati Kepala Daerah Kabupaten lainnya di Sumatera Utara hasil pemungutan suara tanggal 9 Desember 2020 yang berlangsung secara demokratis.
“Pemohon sejak dilantik pada tanggal 22 Juli 2021 berpandangan sesuai dengan UUD 1945 Pasal 22E akan menjabat selama 5 (lima) tahun. Tetapi berdasarkan UU 10/2016 khususnya Pasal 201 ayat (7) berbunyi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan Tahun 2024” dan ketentuan ayat (8) “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”,” ujar Adi.
Selain itu, ia juga mengatakan ketentuan Pasal 201 khususnya ayat (7) dan ayat (8) bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22E ayat (1) “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”, sepanjang dimaknai bahwa frasa pasal tersebut berlaku bagi seluruh daerah baik provinsi maupun kabupaten dan kota di seluruh Indonesia berjumlah 514 Daerah Pemilihan ditambah daerah pemekaran baru. Ketentuan tersebut Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) tidak akan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai tidak berlaku bagi Pemohon dan seluruh Kabupaten dan Kota yang melakukan pemungutan suara Tahun 2020.
Dikatakannya, Pemohon berkeyakinan pada Pilkada Tahun 2024 lebih tepat apabila 270 Daerah yang belum genap 5 (lima) tahun menjabat dilanjutkan hingga selesai waktu (masa) 5 (lima) tahun, baru kemudian untuk menunggu Pemilu Tahun 2029 seluruh kepala daerah yang habis masa baktinya dilanjutkan oleh Penjabat (PJ) hingga 2029.
Sehingga dalam petitumnya Pemohon meminta kepada MK agar menyatakan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan Tahun 2020 menjabat sampai dengan Tahun 2024” dan “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan batal serta tidak berlaku sepanjang dimaknai bagi Pemohon serta dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.