JEMBER, HUMAS MKRI - Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) M. Guntur Hamzah membuka secara resmi sekaligus menjadi pembicara kunci dalam kegiatan Seminar Nasional dan Refleksi Akhir Tahun 2022 yang dilaksanakan atas kerja sama Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jawa Timur dengan Fakultas Hukum Universitas Jember (FH UNEJ) pada Sabtu (19/11/2022). Dalam kegiatan yang digelar di Auditorium FH UNEJ bertajuk "Konstitusionalitas Pemilihan Kepala Daerah" ini, Guntur menyampaikan secara konstitusional norma dalam UUD 1945 mengamanatkan enam prinsip pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) yang demokratis, yakni prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Lebih lanjut Guntur mengatakan bahwa dalam norma tersebut juga dinyatakan sifat reguler dalam penyelenggaraan yang dilaksanakan secara berkala atau periodik. Prinsip tersebut dimandatkan secara konstitusional sehingga wajib dipegang dan dilaksanakan sebagai rujukan dalam kegiatan pesta demokrasi untuk pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Di samping itu, kedua jenis pemilihan tersebut harus diselenggarakan berlandaskan pada prinsip-prinsip pemilihan demokratis yang berlaku secara universal.
Terkait dengan pemilihan kepala daerah, Guntur mengingatkan bahwa secara khusus telah diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap daerah, sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat pun menjadi pilihan demi pelaksanaan sistem demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
“Demi efisiensi, proses pilkada langsung pun dilaksanakan secara serentak dan bertahap guna menyamakan masa jabatan kepala daerah pada masa mendatang,” terang Guntur.
Sejarah Penanganan Sengketa Pilkada
Berbicara kewenangan penanganan perselisihan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah, Guntur menjelaskan bahwa semula hal ini menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA). Kemudian dialihkan menjadi kewenangan MK melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Singkatnya, sesuai Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, kewenangan penyelesaian sengketa hasil pilkada dilakukan oleh badan peradilan khusus. Namun sebelum badan peradilan khusus tersebut terbentuk, kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan diserahkan kepada MK.
Kemudian terakhir melalui Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022, MK telah menafsirkan UUD 1945 tidak lagi membedakan antara pemilu nasional dengan pilkada. Secara sistematis, jelas Guntur, hal ini berakibat pada perubahan penafsiran atas kewenangan MK yang termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, sehubungan dengan konstitusionalitas lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada melalui badan peradilan khusus yang dimaksud, kemudian menempatkan kewenangan demikian langsung menjadi kewenangan MK.
“Jika dibaca undang-undang kesannya ada peradilan khusus, namun dengan adanya Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 maka peradilan khusus tersebut menjadi tidak relevan lagi. Sebab kewenangan tersebut menjadi kewenangan MK. Dengan demikian, kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sudah bersifat permanen,” jelas Guntur.
Melalui kegiatan seminar nasional ini, Guntur berharap para peserta diskusi dapat melakukan elaborasi terutama dalam memperjelas situasi pada tataran implementasi di kalangan akademisi, utamanya terhadap isu-isu yang terkait pelaksanaan pilkada. Sehingga, tema-tema tersebut dapat menjadi kajian yang semakin menarik dan komprehensif. Di samping itu, diskusi ini diharapkan dapat pula membawa manfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan para peserta diskusi yang dapat berimplikasi luas bagi kemajuan demokrasi di Indonesia.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.