JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang diajukan oleh Rini Wulandari, Herman Saleh, Budiman Widyatmoko dan Kristyawan Dwibhakti, pada Senin (31/10/2022) di Ruang Sidang Pleno MK.
MK menjelaskan pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Sehingga MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Pengucapan putusan tesebut disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman. “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,”ucap Anwar membacakan Putusan Nomor 62/PUU-XX/2022 tersebut.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menilai seiring dengan dinamika masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan, ternyata semakin menunjukkan adanya peningkatan laju urbanisasi dan industrialisasi sehingga menyebabkan kepadatan penduduk karena ketersediaan tanah untuk permukiman semakin terbatas.
“Rumah susun yang dalam UU 16/1985 didesain untuk mengatasi hal tersebut ternyata belum efektif dan malah salah sasaran. Penerima manfaat (beneficiary) dari keberlakuan UU 16/1985 ternyata lebih didominasi oleh kalangan masyarakat berpenghasilan menengahatas. Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan UU 16/1985 karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang dalam penghunian, kepemilikan, dan pemanfaatan rumah susun,”ujar Wahiduddin Adams saat membacakan pertimbangan hukum.
Wahiduddin saat membacakan pertimbangan hukum juga menerangkan, pengaruh globalisasi, budaya, dan dinamika kehidupan masyarakat menjadikan undang-undang tersebut tidak memadai lagi sebagai pedoman dalam pengaturan penyelenggaraan rumah susun. Salah satu perubahan dalam UU 20/2011 adalah berkaitan dengan fungsi rumah susun yang tidak lagi terbagi dalam hunian atau bukan hunian, melainkan hunian atau campuran sebagaimana norma Pasal 50 UU 20/2011 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon. Fungsi bukan hunian dalam UU 20/2011 sebenarnya bukan tidak diakomodir, tetapi diletakkan sebagai fungsi pendukung (supporting) dari fungsi rumah susun yang utama yaitu sebagai hunian. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 50 huruf b menyatakan, “Yang dimaksud dengan “fungsi campuran” adalah campuran antara fungsi hunian dan bukan hunian.” Bagi rumah susun dengan fungsi campuran, maka ia merupakan hunian (fungsi utama) dan sekaligus memiliki fungsi lain (mix used) dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat di rumah susun. Pemanfaatan fungsi rumah susun yang hanya terbagi atas hunian atau campuran tersebut bersandar pada pengertian rumah susun sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 UU 20/2011 yang utamanya difungsikan sebagai hunian.
Oleh karena itu, Wahiduddin melanjutkan, telah jelas bahwa fungsi bukan hunian bagi rumah susun yang dikonstruksikan dalam UU 20/2011 tidak berdiri sendiri sebagaimana dikotomi pemanfaatan rumah susun yang dianut dalam rezim pengaturan UU 16/1985 dan PP 4/1988. Perubahan pemanfaatan rumah susun menjadi fungsi campuran dalam UU 20/2011 adalah untuk mengatasi kurangnya ketersediaan rumah susun umum bagi masyarakat berpenghasilan menengah-rendah serta untuk menghilangkan “rumah tidak berpenghuni” yang banyak ditemui bangunan gedung atau rumah susun yang tidak terdapat aktivitas pada malam hari dikarenakan tidak memiliki fungsi sebagai hunian. Dalam kaitan ini, penting Mahkamah tegaskan, rumah susun dengan fungsi bukan hunian tidak menghilangkan fungsi utama rumah susun sebagai fungsi hunian dan tidak boleh menghilangkan sifat komplementer dari rumah susun tersebut.
Baca juga:
Pemilik Kondotel Uji Ketiadaan Frasa “Bukan Hunian” dalam UU Rusun
Pemilik Kondotel Perbaiki Permohonan Uji Materiil UU Rusun
Pemerintah: Pengurus PPPSRS Harus Tinggal dalam Bangunan Rusun
Rezim Pengaturan Rusun
Berikutnya, Wahiduddin menjelaskan, menurut Mahkamah, tidak diakomodirnya fungsi “bukan hunian” dalam norma Pasal 50 UU 20/2011 adalah tidak bertentangan dengan norma Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan uraian mengenai desain pemanfaatan rumah susun dalam UU 20/2011 di atas, pertanyaan selanjutnya adalah apakah kondotel dapat dimasukkan dalam rezim pengaturan rumah susun berdasarkan UU 20/2011. Menurut Mahkamah, pengertian rumah susun sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 UU 20/2011 harus diartikan secara keseluruhan, mulai dari struktur bangunan, kepemilikan hingga pemanfaatannya yaitu terutama sebagai fungsi hunian.
Dikatakan Wahiduddin, UU 20/2011 memang mengkonstruksikan pengertian rumah susun yang mensyaratkan dominasi fungsi hunian, sedangkan fungsi lainnya adalah sebagai pendukung. Pemahaman demikian juga telah sesuai dengan pengertian bangunan Gedung sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung sebagaimana sebagiannya telah diubah dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang pada pokoknya menentukan bangunan gedung memiliki fungsi yaitu sebagai hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
Dalam kaitan ini, keberadaan kondotel sebagai bangunan Gedung yang memiliki fungsi usaha ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas PP dimaksud) yang menyatakan, “Yang dimaksud fungsi usaha meliputi: e. Bangunan Gedung perhotelan, seperti wisma, losmen, hostel, motel, rumah kos, hotel, dan kondotel.”
Sehingga, kondotel yang lebih memiliki fungsi kegiatan usaha memang tidak sesuai dengan pengertian rumah susun berdasarkan UU 20/2011 dan apabila dengan menambahkan fungsi bukan hunian dalam norma Pasal 50 UU 20/2011 sebagaimana permohonan para Pemohon, hal demikian justru akan menyebabkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 20/2011 serta dengan peraturan perundang-undangan lain yang dapat berujung pada ketidakpastian hukum karena desain UU 20/2011 menempatkan fungsi utama rumah susun adalah sebagai tempat tinggal. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
Wahiduddin juga menyebutkan, Mahkamah memahami keberadaan kondotel sebagai jenis usaha atau bentuk investasi baru yang terus akan berkembang seiring dengan peningkatan kebutuhan akan layanan jasa perhotelan di Indonesia menjadikan kondotel harus memiliki payung hukum tersendiri sesuai dengan karakteristiknya. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan di atas, telah nampak bahwa kondotel memiliki struktur bangunan dan model kepemilikan yang sama dengan rumah susun. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada fungsi kondotel yaitu sebagai salah satu kegiatan usaha. Keberadaan karakteristik yang demikian ternyata secara spesifik tidak terakomodir dalam hukum positif sehingga terdapat 92 kekosongan hukum dalam pengaturannya. Oleh karena itu, Mahkamah mendorong pembentuk undang-undang untuk dapat segera menyusun undang-undang maupun peraturan pelaksana yang dapat dijadikan dasar hukum bagi penyelenggaraan rumah susun yang memiliki fungsi bukan hunian di Indonesia.
Sebelumnya, Perkara Nomor 62/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh para pemilik kondominium dan hotel (kondotel), yakni Rini Wulandari sebagai Pemohon I, Hesti Br Ginting sebagai Pemohon II, Ir Budiman Widyatmoko sebagai Pemohon III dan Kristyawan Dwibhakti sebagai Pemohon IV. Para Pemohon mendalilkan Pasal 50 UU Rusun yang berbunyi, “Pemanfaatan rumah susun dilaksanakan sesuai dengan fungsi; a. Hunian; atau b. campuran” bertentangan dengan UUD 1945.
Para Pemohon merupakan para pemilik satuan unit rumah susun yang berbentuk satuan unit kondotel. Dengan adanya UU Rusun, kondotel tidak difungsikan sebagai hunian maupun campuran, sehingga para Pemohon tidak dapat membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) untuk mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan, kepemilikan dan penghunian. Hal tersebut berakibat ¨kebendaan yang di bawah kekuasaannya (satuan rumah susun yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama) tidak di bawah penguasaan para Pemohon, melainkan berada di bawah penguasaan developer. Selain itu, Pemohon mendalilkan kondotel yang tidak difungsikan sebagai hunian maupun campuran, berakibat pada satuan unit kondotel yang dimiliki para Pemohon tidak dapat diterbitkan bukti kepemilikan Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun). Sehingga, berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 50 UU Rusun bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk “Bukan Hunian”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.