JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan Putusan Nomor 51/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) pada Senin (31/10/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Muhammad Hasan Basri yang merupakan pedagang lalapan/pecel lele.
Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Muhammad Hasan Basri (Pemohon). “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi saat membacakan amar putusan.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, Mahkamah mengatakan, dalam konteks perdagangan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting terdapat perbedaan mendasar atas tindakan penyimpanan dan tindakan penimbunan. Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting oleh pelaku usaha yang akan digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau juga bahan persediaan untuk didistribusikan. Adapun penimbunan adalah kegiatan menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dengan maksud spekulasi untuk memperoleh keuntungan yang melebihi kewajaran terutama pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Penimbunan dilakukan dengan melebih stok atau persediaan selama 3 bulan berdasarkan rata-rata kebutuhan atau penjualan dalam kondisi normal dengan berbagai cara termasuk dengan melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting.
Berdasarkan pemaknaan kata “menyimpan” dan kata “menimbun” di atas, dapat dipahami bahwa diperlukan adanya batasan kualifikasi terkait kapan pelaku usaha dapat dikatakan menyimpan barang dan dapat dikatakan menimbun barang. Menurut Mahkamah, kualifikasi yang tepat untuk membedakan dua kegiatan ini adalah melalui perbedaan dari segi jumlah barang serta pemberian batasan waktu. Ditinjau dari segi barang, diperlukan adanya pembatasan berapa banyak jumlah barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting yang dapat dikategorikan merupakan batasan yang wajar untuk dilakukan penyimpanan dengan tujuan untuk memperlancar kegiatan perdagangan sehari-hari maupun sebagai bahan penolong kelanjutan proses produksi, sehingga jika jumlah barang ini telah melebihi batas yang ditentukan maka dapat dikategorikan telah terjadi penimbunan. Sementara ditinjau dari segi batasan waktu, diperlukan pembatasan berapa lama suatu barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dapat disimpan oleh para pelaku usaha sehingga batasan waktu tersebut tidak mengganggu jumlah peredaran barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting tersebut di pasar dan tidak mengganggu kesinambungan proses produksi.
Selanjutnya terkait dengan berapa banyak jumlah barang serta berapa lama suatu barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dapat disimpan sehingga tidak dikategorikan sebagai bentuk penimbunan yang merupakan tindakan kejahatan ekonomi dan terancam pidana. Mahkamah menilai, hal ini harus diserahkan pengaturannya secara teknis kepada lembaga terkait yang membidangi masing-masing komoditas yang termasuk dalam kriteria barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting. Hal ini dikarenakan daya tahan khususnya dari segi penyimpanan masing-masing komoditas barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting adalah berbeda-beda, dan instansi terkaitlah yang paling memahami keadaan ini.
“Mahkamah dapat memahami permasalahan yang dialami Pemohon, sehingga Pemohon berkesimpulan bahwa frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” telah menyebabkan para pelaku usaha dapat melakukan penimbunan, khususnya penimbunan minyak goreng dalam keadaan tidak normal yang berakibat mengganggu usaha Pemohon,” kata Manahan membacakan pertimbangan hukum.
Pengaturan Umum
Mahkamah menegaskan bahwa UU Perdagangan dibentuk untuk mengakomodir cakupan yang luas, karena terdapat berbagai varian komoditas dalam perdagangan. Oleh karena itu, UU Perdagangan tidak dapat mengatur segala sesuatunya dengan sangat rinci dan mendetail karena jika 81 diatur secara detail hal tersebut justru akan mengurangi fleksibilitas varian komoditas yang diatur. Dengan maksud untuk dapat menjangkau banyak hal maka pengaturan norma dalam UU Perdagangan harus dibuat lebih umum sedangkan pelaksanaannya diatur dalam produk hukum di bawahnya.
Demikian pula dengan ketentuan frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” dalam Pasal 29 ayat (1) harus dipandang sebagai pengaturan secara umum terhadap berbagai jenis barang yang ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting, yang mana masing-masing komoditas barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting memiliki karakteristik berbeda satu dan lainnya. Oleh karena itu, pengertian “jumlah dan waktu tertentu” bagi penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting menjadi substansi yang harus diatur dalam peraturan pelaksana UU 7/2014; Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, apabila Mahkamah mengakomodir permohonan Pemohon untuk menghilangkan frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan maka segala bentuk penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam situasi kelangkaan, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas menjadi dilarang tanpa pengecualian apapun.
Hal demikian justru akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat serta menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak terdapatnya kriteria yang jelas kapan suatu penyimpanan itu dapat dikatakan sebagai suatu penimbunan dan hal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Namun demikian, terhadap pelaksanaan norma tersebut berpotensi menimbulkan persoalan di lapangan, oleh karena itu perlu Mahkamah tegaskan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap penyimpanan dan pendistribusian khususnya terhadap barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam kondisi terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Pengawasan demikian diperlukan karena secara umum masih terdapat celah bagi pelaku usaha maupun oknum penegak hukum untuk menyalahgunakan ketentuan Pasal a quo. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengawasan oleh penegak hukum yang berintegritas dengan melibatkan peran serta masyarakat, khususnya dalam hal ini adalah satuan tugas sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU a quo.
Sehingga, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, norma Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 telah ternyata memberikan jaminan atas pekerjaan yang layak dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
Baca juga:
Minyak Goreng Langka, Pedagang Pecel Lele Uji UU Perdagangan
Pedagang Pecel Lele Perbaiki Permohonan Uji UU Perdagangan
Pemerintah Jelaskan Program Minyak Goreng Curah Rakyat
Keterangan Ahli Terlambat, MK Tunda Sidang Uji UU Perdagangan
Respons DPR Soal Kelangkaan Barang yang Dikeluhkan Pedagang Pecel Lele
Ditha Wiradiputra Paparkan Soal Penimbunan dan Penyimpanan Barang
Sebagai informasi, permohonan Nomor 51/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Perdagangan diajukan oleh Muhammad Hasan Basri yang merupakan pedagang lalapan/pecel lele. Pemohon mengujikan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang menyatakan, “Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.”
Dalam persidangan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (26/4/2022), Pemohon menyatakan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan merugikan hak konstitusional Pemohon karena adanya praktik distribusi dan penyimpanan minyak goreng sehingga terjadilah fenomena kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. “Berdasarkan norma tersebut meskipun norma itu mengandung larangan tetapi distributor tetap masih bisa menyimpan minyak goreng dalam jumlah dan waktu tertentu. Itulah yang sedang kami uji, Yang Mulia, terkait dengan inti normanya dalam jumlah dan waktu tertentu,” kata Ahmad Irawan selaku kuasa hukum Pemohon.
Lebih lanjut Irawan mengatakan, apabila minyak goreng tidak terdapat di pasaran maka Pemohon tidak dapat bekerja. Namun, Jika harganya tinggi hal tersebut akan berpengaruh kepada daya beli Pemohon dan harga jual beli barang dagangan yang diusahakan. Hal ini menghambat Pemohon dalam bekerja dan berdagang.
“Minyak goreng yang tidak tersedia atau minyak goreng yang mahal menurut batas penalaran yang wajar dapat membuat Pemohon tidak dapat bekerja. Jika Pemohon tidak dapat bekerja maka Pemohon dan keluarga tidak dapat hidup layak. Padahal Pemohon sebagai warga negara sesuai Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan,” tegas Irawan.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.