ACEH, HUMAS MKRI - Pada pokoknya konsep desentralisasi dimaksudkan memberikan kesempatan lebih luas kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dibandingkan pemerintah pusat. Tidak semua negara menggunakan penamaan yang sama, yaitu desentralisasi. Di Inggris, konsep yang serupa dengan desentralisasi disebut dengan devolution.
Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam Pembukaan Seminar Nasional “Konsep Desentralisasi Asimetris dalam Negara Hukum Pancasila” dan Penandatanganan Nota Kesepahaman yang diiselenggarakan oleh Prodi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Teuku Umar (UTU) di Meulaboh, Aceh, pada Sabtu (22/10/2022).
Wahiduddin menerangkan, konsep desentralisasi diterapkan pada negara-negara berbentuk kesatuan (unitary state) dan bukan negara-negara Federasi (federation). “Konsep negara berbentuk kesatuan adalah adanya satu kekuasaan yang dibagi-bagi kepada pemerintahan di daerah atau untuk dapat memahaminya secara sederhana adalah bayangkan hubungan top-down, dari atas ke bawah. Ada satu-kesatuan kekuasaan kemudian dibagi-bagi kepada daerah-daerah di bawahnya. Kebalikannya, dalam negara federal, maka ada daerah-daerah yang berdaulat kemudian menggabungkan diri. Bentuk penggabungan itu disebut pemerintahan federal," ujarnya dalam acara yang dihadiri oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Sekjen MK M. Guntur Hamzah dan Rektor Universitas Teuku Umar Ishak.
Oleh karena itu, sambung Wahiduddin, awal mula pemerintahan federal adalah justru dari adanya daerah-daerah yang bersatu. "Karena daerah itu sendiri berdaulat maka lebih cenderung disebut sebagai negara bagian dibandingkan pemerintahan daerah," jelasnya.
Tafsir Putusan MK
Lebih lanjut Wahiduddin menjelaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memberikan tafsir atas Pasal 18 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) berbunyi, “Negara kesatuan republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota…”. Para penyusun UUD 1945 sengaja menggunakan diksi “dibagi” dan bukan “terdiri dari” atau “terdiri atas”.
Menurut pertimbangan MK, jelas Wahiduddin, pilihan kata “dibagi” mengindikasikan bahwa wilayah Negara Kesatuan terlebih dahulu ada, kemudian dibagi-bagi dalam bentuk daerah-daerah. Sementara, bila menggunakan diksi “terdiri atas” atau “terdiri dari” maka konstruksi hukumnya terbalik yaitu daerah-daerah itu terlebih dahulu ada kemudian bersatu untuk membentuk pemerintahan. Dengan demikian, tidak dapat disebut negara kesatuan melainkan negara federal.
“Pertimbangan ini ada pada Putusan Nomor 32/PUU-X/2012 yang menguji UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Lingga di Provinsi Kepulauan Riau, “ucap Wahiduddin.
Saat ini, kajian mengenai konsep “desentalisasi asimetris” berkutat pada hal yang berkenaan dengan pemberian otonomi kepada suatu daerah melalui kewenangan yang dimandatkan secara konstitusional untuk menyelenggarakan pemerintahannya secara mandiri, tergantung pada seberapa besar kewenangan yang diberikan kepada daerah tersebut. Pasal 18A ayat (1) UUD 1945 membuka kemungkinan akan desentralisasi asimetris. Secara keseluruhan ketentuan tersebut menyatakan “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antara propinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Wahiduddin menegaskan, frasa “dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah” menjadi dasar konstitusional bahwa setiap daerah yang memiliki keunikan dapat diberikan kewenangan secara asimetris dari daerah lainnya.
Selain itu, bila diperhatikan susunan norma dalam Pasal 18A ayat (1) maka terdapat lapisan-lapisan pengaturan hubungan pemerintahan, yaitu (1) antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yaitu provinsi, kabupaten dan kota, dan (2) antara pemerintah provinsi dengan kabupaten dan kota. Penjenjangan ini menyiratkan bahwa desentralisasi asimetris dimungkinkan untuk tidak hanya terjadi pada tingkatan provinsi.
“Kebijakan untuk menerapkan desentralisasi asimetris membuka ruang untuk mengakomodasi keberagaman. Setiap daerah memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dengan memberikan ruang kepada daerah untuk mengatur strategi menyesuaikan dengan kelebihan dan kekurangannya maka besar kemungkinan daerah itu akan lebih berkembang,” ujarnya.
Dengan demikian, kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat untuk mengatasi persoalan yang terjadi di daerah tidak dengan menerapkan pendekatan one size fits all, yaitu adanya satu kebijakan yang dianggap cocok untuk seluruh daerah. Begitu juga, mungkin pendekatan yang sama dapat dilakukan pemerintah daerah untuk mengakomodasi perbedaan dalam komunitas masyarakat dalam bentuk pemerintahan yang lebih kecil. Akan tetapi, kebijakan desentralisasi asimetris tidak selalu mengisahkan cerita indah dan kesuksesan. Ada tantangan yang harus dihadapi bila kita menerapkan kebijakan yang sangat beragam bagi masing-masing daerah. Bentuk tantangan itu adalah keruwetan atau kompleksitas.
Setiap daerah yang menyajikan persoalannya masing-masing tentu akan menjadi persoalan bagi pihak yang berwenang atau pemerintahan yang lebih tinggi untuk turun tangan memberikan bantuan penyelesaian masalah. Dalam kompleksitas persoalan-persoalan yang dihadapi dibutuhkan mekanisme koordinasi yang tangguh, baik secara vertikal maupun horizontal. Artinya, ada koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta koordinasi ditingkat pemerintahan daerah antar lembaga-lembaga pemerntahan daerah terkait. Koordinasi itu barang yang mudah diucap tapi tidak mudah dilakukan.
Selain itu, beragamnya kebijakan di satu daerah dengan daerah yang lain juga berpotensi untuk menimbulkan kebingungan bagi warganya. Terlebih bagi warga yang terbiasa dengan mobilitas tinggi yang berpindah antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pertanyaan yang mungkin akan muncul adalah “kenapa di daerah ini bisa, tetapi di daerah itu tidak bisa?”. Ikutan dari pertanyaan tersebut adalah muncul adanya “kecemburuan”, sebab merasa diperlakukan secara berbeda.
Tantangan Desentralisasi
Pada kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan ketika berbicara desentralisasi asimetris dalam konteks apapun tidak boleh melupakan desain konstitusionalnya terlebih dahulu. “Kita sangat bersyukur sekali dalam keanekaragaman sebagai suatu bangsa dengan penduduk yang banyak dengan keanekaragaman bahasa, budaya, etnis, agama dan kepercayaannya kita masih bisa disatukan dalam wadah negara kesatuan. Saya kira tidak ada negara satu pun di dunia yang diberikan keberkahan seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi alhamdulillah kita masih bersatu, mudah-mudahan akan terus begitu tinggal kita mewarnai kesatuan dalam mewujudkan tujuan kita bernegara," imbuh Enny.
Otonomi Sebagai Asas
Untuk membahas lebih jauh kekhususan dan keistimewaan daerah dimaksud khususnya untuk otonomi khusus Aceh, terlebih dahulu penting untuk dipahami mengenai otonomi yang menjadi asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan desentralisasi sebagai proses yang menentukan bekerjanya asas tersebut. Kebijakan otonomi daerah hanya dapat terealisasi jika ada kebebasan bagi daerah dalam mengatur dan mengurus urusan daerahnya sendiri.
Sejalan dengan ciri yang melekat pada negara kesatuan, kedaulatan dalam negara tidak terbagi tetapi hanya diberikan kepada pemerintah pusat yang dapat dipencarkan sebagian kepada pemerintah daerah. Pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan dalam satuan-satuan teritorial yang lebih kecil dapat terwujud dalam bentuk satuan otonomi teritorial atau dekonsentrasi territorial. Satuan otonomi teritorial merupakan satuan mandiri dalam lingkungan negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai subyek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan (administrasi negara) yang menjadi urusan daerahnya sendiri. Implementasi cara pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah inilah yang dapat menentukan luas sempitnya urusan yang akan diatur oleh satuan otonomi.
Adanya pemencaran kekuasaan dengan berbagai macam cara di atas tetap menempatkan kekuasaan pemerintah pusat pada posisi tidak sederajat dengan pemerintah daerah. Kekuasaan pemerintah pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara kesatuan, tidak ada saingan dari badan legislatif pusat dalam membentuk UU. Dalam hal ini pemerintah pusat mempunyai wewenang tertinggi terhadap segala lapangan pemerintahan, yang pada tingkat terakhir wewenang memutuskan segala sesuatu di dalam negara tersebut
Pembagian kekuasaan dalam negara merupakan salah satu prinsip mendasar dalam bangunan negara yang demokratis. Namun demikian, tidak ada suatu konsep yang bersifat universal dalam sistem ketatanegaraan mengenai sistem pembagian kekuasaan suatu negara. Konsep-konsep yang pada saat ini dikenal luas pun, tidak dapat dipahami sebagai sistem yang harus diterapkan, karena sesuai dengan sifatnya sistem penyelenggaraan negara adalah suatu proses yang lahir dari berbagai kondisi pada masing-masing negara. Negara-negara demokrasi dapat menjalankan berbagai variasi pembagian kekuasaan.
Dalam konteks hukum kenegaraan, Enny melanjutkan, otonomi daerah bukan sekadar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk) yang berkaitan dengan dasar-dasar negara dan susunan organisasi negara, yaitu demokrasi dan negara berdasarkan atas hukum. Tanpa adanya pemberian otonomi sebagai asas dalam penyelenggaraan pemerintahan tidaklah mungkin negara dapat dikatakan sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Ada dua unsur yang terkandung dalam pemberian otonomi, yaitu: (1) pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh daerah, (2) pemberian kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri cara penyelesaian pekerjaan tersebut.
Dengan adanya pemberian pekerjaan sekaligus penyelesaian tugas/pekerjaan oleh daerah akan dapat mengurangi beban pemerintah dan memberikan rasa tanggung jawab daerah untuk turut serta mewujudkan tujuan bernegara. Berbagai masalah sosial, ekonomi dan politik di suatu wilayah mengharuskan pemerintah daerah dapat berupaya mengambil keputusan politik dan ekonomi sendiri. Sangat tidak efektif jika penyelesaian setiap masalah harus menunggu instruksi pusat. Artinya, sifat segera pelayanan sosial-publik menjadi dasar perlunya desentralisasi dalam penyelenggaraan urusan tersebut kepada pemerintah daerah yang otonom. Implikasi pengambilan keputusan untuk pelaksanaan urusan yang langsung ditangani oleh pemerintah daerah ini, pada akhirnya mendorong terciptanya sistem pemerintahan yang demokratis, karena ada pembagian kewenangan antarpemerintahan. Dalam konteks inilah pembentukan pemerintahan daerah secara otonom penting untuk diwujudkan.
Eksistensi Partai Politik Lokal
Dalam makalahnya Enny juga menyebutkan, di Provinsi Aceh, bentuk desentralisasi asimetris telah ditentukan dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Merujuk pada ketentuan UU 11/2006 diatur berbagai bentuk desentraliasi asimetris pemerintahan Aceh yang salah satunya adalah keberadaan partai politik lokal yang secara tegas diatur dalam Pasal 75 UU 11/2006, di mana berdasarkan undang-undang tersebut Pemerintah kemudian menerbitkan peraturan pelaksana yaitu PP Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.
Desain kekhususan inilah yang harus dioptimalkan sehingga tujuan otonomi khusus dapat dicapai. Perlu dikuatkan koordinasi, pembinaan dan pengawasan agar berbagai kebijakan dalam rangka otonomi khusus Aceh dapat mengakselerasi tujuan dibentuknnya kekhususan tersebut. Di luar kekhususan yang telah ditentukan tersebut, sesungguhnya Aceh masih dapat melaksanakan otonomi seluas-luasnya sesuai dengan kebutuhan daerah sebagaimana hakikat otonomi riil dianut dalam UU 23 Tahun 2014, sepanjang hal tersebut tidak dikecualikan.
Bentuk Afiliasi Partai Politik Lokal dengan Partai Politik Nasional
Menurut Enny, dengan hadirnya partai politik lokal di Aceh, maka terdapat dua bentuk partai politik yaitu partai politik nasional dan partai politik lokal. Oleh karena itu, PP 20/2007 memberikan kewenangan bagi Partai politik lokal untuk melakukan afiliasi atau kerja sama dalam bentuk lain sesama partai politik lokal atau dengan partai politik nasional yang dilakukan untuk mengusulkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh. Selain itu, afiliasi atau kerja sama dalam bentuk lain sesama partai politik lokal atau dengan partai politik nasional dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kinerja partai politik lokal dalam rangka keikutsertaan partai politik lokal pada pemilihan umum untuk memilih anggota DPRA dan DPRK di Aceh. Pelaksanaan afiliasi atau kerja sama tersebut harus didasarkan pada kesepakatan bersama sesama partai politik lokal atau dengan partai politik nasional.
Ruang partisipasi anggota partai politik lokal dalam pemilihan umum nasional salah satunya diwujudkan dengan adanya ketentuan bagi anggota partai politik lokal secara perseorangan dapat merangkap keanggotaan 1 (satu) partai politik nasional. Ruang partisipasi anggota partai politik lokal dimaksudkan dalam rangka anggota partai lokal dapat menggunakan hak dipilih pada pemilihan umum nasional. Tentu, keanggotaan rangkap dilakukan setelah mendapat izin tertulis dari pimpinan partai politik lokal.
Dengan dibukanya pintu afiliasi atau kerja sama sesama partai politik lokal atau dengan partai politik nasional dalam rangka keikutsertaan pada pemilihan umum, maka dibutuhkan suatu hubungan yang harmonis antara para partai lokal dan partai nasional.
Penandatanganan Nota Kesepahaman
Dalam kesempatan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih juga menyaksikan prosesi penandatangan nota kesepahaman antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan UTU. Penandatanganan nota kesepahaman dilakukan oleh Rektor UTU Ishak dengan Sekjen MK M. Guntur Hamzah yang hadir secara luring. Nota kesepahaman tersebut bertujuan untuk dan demi tercapainya peningkatan pemahaman hak konstitusional warga negara dan mutu pendidikan tinggi hukum. Guntur dalam sambutannya mengatakan MK dengan Universitas Teuku Umar telah terhubung secara resmi melalui penandatanganan yang telah dilakukan secara elektronik.
“Ini merupakan penandatanganan yang ke-269 yang dilakukan oleh MK yang telah mencapai 100 perguruan tinggi dan merupakan tanda tangan ke-30 secara elektronik," ujar Guntur.
Menurut Guntur, penandatanganan dilakukan secara elektronik karena merupakan program pemerintah dalam rangka transformasi digital. Negara mendorong yang namanya sistem pemerintahan berbasis elektronik begitu juga dengan lembaga peradilan.
Transformasi digital membuat dokumen-dokumen yang ditandatangani secara elektronik. Sehingga bentuk yang dihasilkan ada pada elektroniknya. Ini juga akan membuat transformasi atau distribusi dokumen elektronik semakin banyak.
“Pentingnya dokumen-dokumen elektronik ini adalah supaya memiliki nilai otentik, valid dan original. Jadi dia otentik, tidak bisa dipalsukan. Karena apa? Karena dia punya kode-kode ada di server. Ketika akan memalsukan akan ketahuan. Valid, sah karena telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Putusan MA secara tegas menyatakan bahwa dokumen yang ditanda tangani secara elektronik dan dilengkapi sertifikat elektronik itu memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan basah. Tanda tangan elektronik di MK telah memiliki sertifikat dari BSSN. Sedangkan otentik, Guntur menegaskan, dokumen tersebut dapat ditelusuri," jelas Guntur.
Rektor UTU Ishak dalam sambutannya, menyambut baik kedatangan para hakim Konstitusi. “Hari ini adalah momen yang sangat penting bagi kita. Kita sangat jarang bisa dikunjungi oleh Hakim Konstitusi. Jadi Alhamdulillah kita disini sebagai tuan rumah pasti nanti akan banyak sekali pencerahan yang diberikan terutama untuk mahasiswa hukum," ujar Ishak. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.