JAKARTA, HUMAS MKRI - Perubahan usia pensiun Jaksa semula 62 tahun menjadi 60 tahun yang peralihannya diatur dalam Pasal 40A UU Kejaksaan telah memperhatikan perbandingan-perbandingan usia Jaksa dan Jaksa Agung di beberapa negara lain. Misalnya Singapura yang memberlakukan Jaksa Agung dapat diangkat untuk jangka waktu tertentu dan maksimal sampai dengan mencapai usia 60 tahun. Hal ini sebagaimana termuat dalam Naskah Akademik Rancangan UU Kejaksaaan.
Demikian disampaikan oleh Kuasa Hukum Jaksa Agung Republik Indonesia Feri Wibisono dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (11/10/2022). Agenda sidang Perkara Nomor Nomor 70/PUU-XX/2022 adalah mendengar keterangan Kejaksaan Agung selaku Pihak Terkait, dan keterangan Ahli Pemohon.
Dikatakan Feri, tujuan pembentukan maupun perubahan suatu peraturan perundang-undangan adalah untuk memberikan rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Pergeseran luang lingkup, pergeseran usia Jaksa tidak hanya terjadi pada usia batas pensiun. Namun pergeseran usia Jaksa juga terjadi untuk pengangkatan Jaksa semula paling rendah 25 tahun menjadi 23 tahun dan paling tinggi 30.
“Pergeseran tersebut disebabkan pergeseran lulusan dunia pendidikan yang cenderung semakin cepat dan semakin muda dalam menyelesaikan pendidikan sarjana sekaligus memberikan kemungkinan kesempatan karier yang lebih Panjang dan usia pensiun Jaksa yang semula 62 tahun diubah, hal ini sebagaimana termuat dalam Naskah Naskah Akademik Rancangan UU Kejaksaaan,” ujarnya.
Sehingga, sambung Feri, untuk memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi Jaksa yang telah berusia 60 tahun ketika diberlakukannya UU Kejaksaan sejak tanggal 31 Desember 2021, perlu diatur peralihannya dalam Pasal 40A UU Kejaksaan.
Menurut Feri, terhadap pegawai berprofesi Jaksa usia 60 sampai dengan usia 62 tahun periode tahun 2017 sampai dengan tahun 2021 menunjukkan bahwa kurangnya produktivitas Jaksa yang telah berusia 60-62 tahun dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta melaksanakan fungsi lain yang diberikan oleh undang-undang. Sehingga memperhatikan data evaluasi kinerja tersebut kemanfaatan usia pensiun 62 tahun tidak cukup berkemampuan dan frekuensi usia jaksa berusia 60 tahun sampai dengan 62 tahun di bawah 10%, yang berdasarkan hasil evaluasi menyeluruh sulit ditingkatkan semangat kerja dan kinerjanya, sehingga telah tepat perumusan batas usia pensiun di atas 60 tahun sebagaimana termaktub dalam Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan yang kemudian pengalihan usia diatur dalam Pasal 40A UU Kejaksaan.
Ia menegaskan, adanya ketentuan Pasal 40A UU Kejaksaan tidaklah dapat dipandang sebagai suatu diskriminasi hukum dengan adanya reduksi masa pengabdian bagi Jaksa yang mendekati batas usia pensiun 60 tahun saat UU Kejaksaan ini berlaku karena secara faktual setiap Jaksa akan memiliki masa kerja dan pengabdian yang berbeda sesuai usia saat pengangkatannya, sehingga dampak pengurangan masa pemberlakuan perubahan batas usia pensiun Jaksa menjadi 60 tahun menjadi tidak relevan dikaitkan dengan diskriminasi hukum adanya karena perbedaan perlakuan terhadap Jaksa yang pengangkatannya sebelum berlakunya UU Kejaksaan ini.
“Berdasarkan seluruh data dan fakta yang telah disampaikan tersebut, pada prinsipnya perubahan batas usia pensiun di semula 62 tahun menjadi 60 tahun sebagaimana termuat dalam Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan dan yang peralihannya diatur dalam ketentuan Pasal 40A UU Kejaksaan, open legal policy yang didasari kebutuhan organisasi dan hasil evaluasi semangat kerja dan kinerja Jaksa yang berusia 60-62 tahun yang sudah kurang mumpuni sehingga tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Kesaturan Republik Indonesia 1945 dan telah memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi perubahan politik hukum, perbaikan sumber daya manusia di institusi Kejaksaan Rl,” imbuhnya.
Ketentuan Batas Peralihan Usia
Pada kesempatan yang sama, Pemohon menghadirkan dua ahli dalam sidang tersebut, yaitu Kasandra Putranto dan Bivitri Susanti. Kasandra Putranto yang merupakan Psikolog Klinis Utama dengan kompetensi Forensik pada Kantor Kasandra & Associates mengatakan pada dasarnya tentu sebuah kebijakan yang baru pasti terdapat tujuannya. Tetapi tentu saja harus ada proses peralihan yang sesuai dengan ketentuan yang ada tidak hanya dari sisi hukum tetapi juga dari sisi kesehatan fisik dan mental.
Ia menegaskan, di beberapa negara misalnya di Filipina dan lain-lainnya juga sesuai dengan himbauan dari World Health Organization (WHO) yang mana usia produktif itu sampai dengan usia 65 tahun tetapi dari beberapa negara tersebut sampai 62 tahun. Apabila di Indonesia ingin membuat kebijakan yang berbeda tentu harus ada proses peralihan yang lancar. Dari peralihan tersebut memang hanya meletakkan satu kebijakan untuk ketentuan peralihan itu dibatasi di usia 60 tahun atau lebih masih bisa mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam UU a quo. Karena cutting point nya ada di tanggal 1 Januari 1962 dengan demikian masih ada bagian yang tidak mendapatkan ketentuan tersebut.
Kasandra menegaskan ketentuan peralihan (Transitional Provision-Overgangs Bepalingen) dalam suatu Peraturan Perundang-undangan merupakan suatu ketentuan hukum yang berfungsi untuk menjaga jangan sampai terdapat pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya perubahan ketentuan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan.
Dengan diberlakukannya ketentuan peralihan dari Pasal 40A tersebut pada tanggal 31 Desember 2021, ternyata terdapat perbedaan yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi sekelompok usia tertentu, karena bagi yang berusia 60 tahun atau lebih, tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang artinya mereka lahir antara tanggal 1 Januari 1959 - tanggal 1 Januari 1961.
Selain itu, Kasandra melanjutkan, yang berusia kurang dari 60 tahun akan mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang artinya bagi mereka yang berusia tepat dan kurang dari 59 tahun, yang lahir sebelum dan pada tanggal 1 Januari 1962, masih memiliki masa 1 tahun untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan baru. Namun bagi yang berusia lebih dari 59 dan kurang dari 60, yang lahir pada tanggal 2 Januari 1961 – 31 Desember 1961, tidak memiliki masa 1 tahun untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan baru, sehingga mereka mengalami kerugian moril dan materiil karena tidak siap mengadapi pensiun.
Menggali Kembali Aturan Peralihan
Bivitri Susanti yang merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia Jentera, pada kesempatan ini memandang persoalan perancangan peraturan itu sebagai perincian teknis yang sifatnya prosedural dan demokratis. Sehingga kita cenderung memberlakukan proses pembentukan undang-undang sebagai mekanisme belaka. Kita cenderung teknokratis dalam membuat dan mengkaji undang-undang sehingga cenderung melupakan dampak yang mungkin timbul dari sebuah teknik perancangan.
Menurutnya, para pemohon ini merupakan orang-orang yang terkena dampak dari UU Kejaksaan terutama pada bagian usia pensiun kerap diasosiasikan dengan angka-angka yang menggambarkan usia, anggaran negara, jumlah pegawai, dan sebagainya. Padahal ada nilai-nilai keadilan yang harus dipertanyakan dan digali.
“Jadi, bagi orang-orang yang terkena dampak ini bukan hanya sekedar dampak bukan soalnya jumlah ada berapa, apakah negara akan diuntungkan atau dirugikan mendahulukan usia pensiun jaksa atau tidak tetapi soal keadilan,” terang Bivitri secara daring.
Bivitri menegaskan, secara teoritik, aturan peralihan (transitional provision atau overgangs bepalingen) dalam suatu peraturan perundang-undangan berfungsi menjaga agar perubahan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun yang menjadi pelaku peran (role occupant) dari peraturan itu. Tekanannya tak hanya kepastian hukum (dengan adanya pengaturan yang jelas), tetapi juga keadilan. Aturan peralihan penting justru karena ada potensi dampak negatif yang timbul dari suatu masa transisi dari situasi lama ke situasi baru yang disebabkan oleh keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan.
“Begitu pentingnya sehingga beberapa panduan teknik perancangan negara lain yang sempat saya baca untuk tujuan membuat Pendapat Keahlian ini membuat pendekatan dan semacam peringatan atau “wanti-wanti” kepada perancang agar tak melupakan aspek keadilan dalam mengatur masa peralihan,”jelasnya.
Dikatakannya, dalam Dokumen NSW Parliamentary Counsel’s Office Drafting Practice Document dari Negara Bagian New South Wales di Australia menyebutkan bahwa aturan peralihan mengatur datangnya suatu masa keberlakuan suatu undang-undang dan, jika dibutuhkan, mengubah dampak keberlakuannya selama masa transisi. Dokumen ini menjelaskan dengan cukup rinci, dalam kaitannya dengan common law dan metode interpretasi.
Menurut Bivitri, aturan peralihan bukan hanya soal kepastian hukum dengan adanya pengaturan yang jelas, tetapi juga keadilan bagi pihak-pihak yang terkena dampak perubahan peraturan. Ada dua kelompok pihak terdampak UU Kejaksaan yang diberi perlakuan berbeda karena dianggap perlunya ada kepastian hukum, sementara ada ketidakadilan karena ada diskriminasi terhadap kelompok jaksa yang belum berusia 60 tahun pada 30 Desember 2021.
Ia menilai, ada harapan-harapan yang tercederai, yang justru seharusnya dikelola oleh pembuat undang-undang melalui aturan peralihan. Lantas, ketidakadilan muncul semakin kuat saat perlakuan yang secara esensi diskriminatif inipun ternyata tidak dikomunikasikan. Ini artinya, aturan peralihan itu dimuat semata-mata untuk kepastian hukum bagi pemerintah dalam mengelola pengupahan bagi jaksa-jaksa yang akan diberhentikan dengan hormat karena undang-undang a quo. Tujuan norma Pasal 40A UU Kejaksaan sebagai aturan peralihan harus dikembalikan pada tujuan sebenarnya, yaitu keadilan bagi pihak-pihak yang terdampak UU Kejaksaan. Bukan sekadar memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan bagi negara.
Baca juga:
Para Jaksa Persoalkan Batas Usia Pensiun
Para Jaksa Perbaiki Permohonan Soal Batas Usia Pensiun
Perubahan Batas Usia Pensiun Jaksa Berdasarkan Evaluasi Kinerja
MK Jatuhkan Putusan Sela Soal Batas Usia Pensiun Jaksa
Sebagai informasi, permohonan Nomor 70/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil UU Kejaksaan diajukan oleh enam orang jaksa. Mereka adalah Irnensif (Pemohon I), Zulhadi Savitri Noor (Pemohon II), Wilmar Ambarita (Pemohon III), Renny Ariyanny (Pemohon IV), Indrayati Siagian (Pemohon V), dan Fahriani Suyuthi (Pemohon VI). Adapun materi yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 40A UU Kejaksaan.
Pasal 40A UU Kejaksaan menyatakan, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemberhentian Jaksa yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lernbaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401).”
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (19/7/2022), Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum para Pemohon mengatakan berlakunya UU Kejaksaan mengakibatkan kerugian pada para Pemohon. Pemohon I genap berusia 60 tahun pada 1 Maret 2022. Pemohon II genap berusia 60 tahun pada 3 Maret 2022. Pemohon III genap berusia 60 tahun pada 16 April 2022. Berdasarkan norma tersebut, Pemohon I-III terkena dampak langsung memasuki masa pensiun.
“Selain itu, berlakunya norma a quo telah menghambat karir dan prestasi kenaikan jabatan bagi Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III,” kata Viktor.
Begitu pula Pemohon IV dan Pemohon V yang mempunyai kepentingan yang sama sebagai jaksa. Pemohon IV akan genap berusia 60 tahun pada 24 November 2022. Pemohon V akan genap berusia 60 tahun pada 24 Oktober 2022.
Berdasarkan ketentuan UU Kejaksaan tersebut, lanjut Viktor, Pemohon IV dan Pemohon V akan dipaksa berhenti dengan hormat. Ketentuan tersebut menghambat karir dan prestasi kenaikan jabatan Pemohon IV dan V .
“Dengan ketentuan tersebut, para Pemohon tidak mendapat jaminan dan perlindungan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, sebagai warga negara juga tidak memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945,” tandas Viktor.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.