JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Selasa (11/10/2022). Permohonan perkara Nomor 87/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Leonardo Siahaan, lulusan sarjana hukum. Sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam permohonan, Pemohon mengujikan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu yang berbunyi, “Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 terutama mengenai frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” yang mengindikasikan bentuk pengecualian dari narapidana yang dipidana 5 tahun atau lebih yang dapat mencalonkan diri sebagai persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota. Sehingga menurut Pemohon, ketentuan tersebut berpotensi memberi celah bagi mantan koruptor yang sedang menjalani pencabutan hak politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif yang mewakili kepentingan masyarakat. Padahal Pemohon melihat caleg yang tidak berintegritas tersebut akan menambah masalah di parlemen, baik di pusat maupun daerah. Sebab, mereka hanya akan menularkan bibit korupsi pada anggota legislatif lainnya atau dapat saja mereka mengulang praktik berkorupsi yang pernah dilakukan sebelumnya.
“Dalam pasal ini memberikan pengecualian pada koruptor sebagai caleg, sehingga ini semacam kesempatan bagi mantan koruptor ini jadi caleg. Ini potensial merugikan Pemohon yang berakibat domino effect. Korupsi ini sangat berdampak luas pada masyarakat termasuk Pemohon. Jadi pasal ini, menjadikan indikasi bagi narapidana yang telah bebas untuk memanfaatkan pasal-pasal ini, meski ada hak politiknya yang telah diatur pada beberapa aturan,” jelas Leonardo yang menyampaikan permohonan sendiri secara langsung.
Untuk itu, Pemohon dalam petitumnya, meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa ‘kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana’ Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang[1]undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” tandas Leonard.
Kerugian Konstitusional
Hakim Konstitusi Wahiduddin dalam nasihat Majelis memberikan catatan tentang kerugian konstitusional Pemohon yang belum terukur dengan penerapan dari ketentuan yang berlaku, misalnya takaran dari ketakutan atas berlakunya UU yang diujikan. Selain itu, Pemohon juga diminta memperhatikan UU 12/2011 yang telah mengalami perubahan agar dapat disempurnakan dengan UU terbarunya, berikutnya putusan-putusan terdahulu yang telah disampaikan MK atas permohonan sejenis.
“Hal ini tercatat bahwa Pasal a quo pernah dibacakan amar putusannya oleh MK. Perhatikan dasar pengujiannya apakah sama atau tidak dengan yang diajukan oleh Pemohon pada perkara ini. Kemudian perlu juga Pemohon memperhatikan uraian yang menyebutkan pertentangan norma dengan dasar pengujiannya,” terang Wahiduddin.
Sementara Hakim Konstitusi Enny memberikan nasihat atas permohonan Pemohon mengenai identitas yang masih belum sesuai dengan ketentuan permohonan MK, kedudukan hukum Pemohon juga sebaiknya memperkuat kedudukannya dengan mempedomani Putusan MK Nomor 81/PUU-XVI/2018 yang dapat dijadikan bentuk kerugian konstitusional yang menjadi pintu masuk pokok permomohonan.
“Berikutnya disebutkan ada permohonan sebelumnya, jadi silakan lihat putusan-putusan tersebut yang sama butir pengujiannya dan pendirian Mahkamah pun telah jelas. Lalu bagaimana nanti Saudara mempertautkan dengan permohonan yang diujikan ini agar tidak nebis in idem sebelum masuk ke posita. Uraikan secara komprehensif,” jelas Enny.
Berikutnya Hakim Konstitusi Suhartoyo menambahkan soal kerugian konstitusional Pemohon yang dialami masih cukup umum sehingga diharapkan pada permohonan ini dapat diuraikan secara lebih spesifik. Sehingga kerugian konstitusionalnya lebih konkret, seperti hak untuk memilih, hak untuk dipilih dan lainnya.
Sebelum menutup persidangan Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebutkan Pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari setelah persidangan hari ini. Selanjutnya Pemohon dapat menyerahkan naskah perbaikan tersebut selambat-lambatnya pada Senin, 24 Oktober 2022 pukul 15.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita