JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Permohonan diajukan oleh Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Pemohon I, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) sebagai Pemohon II, kemudian Nurul Aini, sebagai Pemohon III, dan Yaman sebagai Pemohon IV, yang keduanya berprofesi sebagai petani.
Sidang pengucapan Putusan Nomor 37/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian UU Minerba sebagaimana diubah oleh UU Cipta Kerja tersebut digelar di MK pada Kamis (29/9/2022). Persidangan secara daring dan terbuka untuk umum ini dipimpin Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan Hakim Konstitusi.
Para Pemohon mendalilkan norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU Minerba, khususnya terkait dengan jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut para pemohon, dengan adanya kata “menjamin” seolah-olah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan jaminan tidak akan melakukan perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada wilayah yang sudah berstatus Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Pemanfaatan Ruang dan Kawasan Pertambangan
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, dengan mendasarkan pada Pasal 17A ayat (1) UU Minerba pada pokoknya telah ditegaskan bahwa penetapan WIUP mineral logam dan WIUP batubara hanya dapat dilakukan setelah memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan. Setelah pemenuhan tersebut diperoleh maka baru Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP mineral logam dan WIUP batubara yang telah ditetapkan tersebut.
“Adanya pengaturan mengenai keterpenuhan kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari desain besar Rencana Pengelolaan Mineral dan Batubara Nasional yang berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun di mana dalam menyusun Rencana tersebut dipertimbangkan: daya dukung sumber daya alam dan lingkungan menurut data dan informasi geospasial dasar dan tematik; pelestarian lingkungan hidup; rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana zonasi; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; tingkat pertumbuhan ekonomi; prioritas pemberian komoditas tambang; jumlah dan 324 luas WP; ketersediaan lahan Pertambangan; jumlah sumber daya dan/atau cadangan Mineral atau Batubara; dan ketersediaan sarana dan prasarana. Rencana pengelolaan inilah yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pengelolaan mineral dan batubara,”ujar Wahiduddin.
Lebih lanjut MK mengatakan, dalam hal ini perlu dipahami terlebih dahulu kaitan persoalan yang didalilkan para Pemohon dengan pengertian Wilayah Pertambangan (WP) yang pada pokoknya merupakan bagian dari tata ruang nasional. Oleh karena itu, tentu tidak dapat dilepaskan dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana zonasi. Dalam konteks inilah sesungguhnya pengaturan penentuan jangka waktu peninjauan kembali setiap 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi dan Kabupaten/kota yang telah ditetapkan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam UU 26/2007, Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) UU 26/2007], berkorelasi dengan Rencana Pengelolaan Mineral Dan Batubara Nasional mengingat salah satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan Rencana tersebut adalah rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana zonasi. Sebab, WP merupakan bagian dari tata ruang nasional. Terlebih lagi, UU 26/2007 telah menegaskan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi salah satu pedoman perencanaan pembangunan jangka panjang nasional dan pembangunan jangka menengah nasional serta pedoman dalam penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.
Menurut MK, hal yang demikian juga berlaku bagi perencanaan jangka panjang tata ruang wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang memedomani perencanaan pembangunan di daerah termasuk penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi. Oleh karena itu, dalam hal suatu WP akan ditetapkan sebagai kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilepaskan dari Rencana Tata Ruang (RTR) sebagai sebuah instrumen yang mengatur alokasi sumber daya dalam suatu ruang di mana pengaturan ruang dalam RTR diwujudkan dalam zona-zona peruntukannya, misalnya untuk pertambangan. Sebagaimana hal tersebut juga telah ditegaskan dalam Rencana Pengelolaan Mineral Dan Batubara Nasional.
MK juga mengatakan, berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 yang menentukan adanya jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya karena dianggap menghilangkan aspek peninjauan berkala sebagaimana dimaksud dalam UU Penataan Ruang serta tidak sejalan pula dengan pemenuhan aspek substantif hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berkaitan dengan dalil tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan Pasal 172B ayat (2) UU 327 3/2020 tidaklah dibaca berdiri sendiri tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan norma ayat (1) yang menentukan pada pokoknya WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya dalam bentuk IUP, IUPK, atau IPR wajib didelineasi sesuai dengan pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karenanya tidak mungkin Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR apabila persyaratan dalam ketentuan ayat (1) belum terpenuhi. Terlebih lagi, ketentuan norma Pasal 172B UU 3/2020 merupakan bagian dari “Ketentuan Peralihan” yang menegaskan status dan kedudukan pemegang izin berupa IUP, IUPK, atau IPR setelah berlakunya UU a quo. Hal ini mengingat ketentuan UU a quo telah mengubah UU sebelumnya (UU 4/2009) berkenaan dengan izin usaha pertambangan termasuk di dalamnya perubahan terhadap proses, prosedur, kegiatan, kewajiban, jangka waktu bagi pemegang IUP, IUPK, atau IPR. Dalam rangka penyesuaian terhadap norma baru dalam UU 3/2020 maka sesuai dengan maksud fungsi “Ketentuan Peralihan” berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 [UU 12/2011], di antaranya adalah untuk menjamin kepastian hukum; memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara [vide angka 127 Lampiran II UU 12/2011], maka Pasal 172B UU 3/2020 dimaksudkan untuk menjalankan fungsi ketentuan peralihan dimaksud.
Sebab, sebelum UU 3/2020 diberlakukan telah ada wilayah-wilayah yang sudah mendapatkan izin pertambangan berupa IUP, IUPK, atau IPR. Dalam rangka penyesuaian dengan norma baru UU 3/2020 maka terhadap kegiatan usaha pertambangan yang telah mendapatkan izin sebelumnya berupa IUP, IUPK, atau IPR wajib dilakukan delineasi sesuai dengan pemanfaatan ruang dan kawasan, karena ada kemungkinan misalnya terjadinya penciutan atau perluasan dari izin yang telah diberikan sehingga tidak sesuai lagi dengan pemanfaatan ruang dan kawasan.
Berdasarkan Pasal 172B ayat (1) UU Minerba, hal tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. UU Minerba tidak menyebutkan peraturan perundang-undangan apa yang dimaksud namun dengan mencermati esensi izin usaha pertambangan maka ketentuan yang dimaksud di antaranya adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penataan ruang. Berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan dengan adanya jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan menyebabkan ketidakterpenuhan aspek substantif hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat karena dikhawatirkan di wilayah tersebut akan terus dijadikan sebagai wilayah untuk aktivitas pertambangan sementara daya dukung dan daya tampung lingkungan di wilayah tersebut sudah tidak mampu menampung aktivitas pembangunan. Dalam kaitan ini penting untuk dipahami bahwa salah satu pemanfaatan ruang yang dapat diakomodasi dalam zonasi RTR adalah kegiatan yang telah mendapatkan izin. Izin tersebut hanya dapat dikeluarkan apabila telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan telah mengantisipasi pengendalian dampak yang akan ditimbulkan. Hal ini sejalan dengan doktrin hukum perizinan bahwa izin merupakan instrumen yuridis preventif dan juga represif yang berfungsi sebagai pengendalian sehingga izin hanya dapat dikeluarkan apabila telah dipenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan. Oleh karena itulah kegiatan yang telah memiliki izin perlu dijamin kelangsungan usahanya oleh RTR melalui zonasi yang bersesuaian.
Apabila kegiatan yang telah memiliki izin tersebut di kemudian hari mengganggu keseimbangan lingkungan dan sosial, maka perlu ada mekanisme evaluasi izin yang telah diberikan, namun bukan evaluasi pada zonasi RTR-nya. Sebab, zonasi peruntukan dalam RTR telah disusun dengan mempertimbangkan berbagai faktor termasuk kebutuhan, daya dukung, kesesuaian ruang, dan aspirasi pemangku kepentingan. Bahwa terkait dengan keinginan para Pemohon agar ada peninjauan atau evaluasi kembali RTR untuk melihat kesesuaian RTR dengan kebutuhan pembangunan serta pemanfaatan ruang, Mahkamah dapat memahami keinginan tersebut karena WIUP, WIUPK, dan WPR pada pokoknya adalah wilayah untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan yang telah mendapatkan izin yang merupakan bagian dari WP yang tidak lain adalah bagian dari tata ruang nasional maka dengan sendirinya RTR dapat dilakukan peninjauan kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal hasil peninjauan kembali merekomendasikan adanya revisi RTR maka hal tersebut dapat dilakukan namun jika dalam proses revisi RTR terdapat kegiatan usaha pertambangan yang telah 329 memiliki izin maka peninjauan kembali tersebut dilakukan terhadap mekanisme evaluasi atau pengawasan izinnya, misalnya jika terbukti terdapat kesalahan dari pihak pelaksana izin tersebut maka izin tersebut dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan zona dalam RTR di wilayah tersebut dapat disesuaikan dengan peruntukkan atau izin yang baru. Bertalian dengan pencabutan izin ini, telah ditentukan dalam UU 3/2020 sanksi administratif kepada pemegang IUP, IUPK, atau IPR untuk penjualan jika terjadi pelanggaran atas ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam UU tersebut.
Dengan demikian, adanya ketentuan mengenai jaminan pemanfaatan ruang dan kawasan dalam Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU Minerba hanya dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, termasuk yang mengatur penataan ruang. Meskipun untuk mendapatkan kepastian berusaha atas wilayah yang telah ditetapkan dan telah dikeluarkan izinnya tersebut telah melewati seluruh proses dan prosedur, namun, untuk memberikan kepastian bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memberikan jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan yang telah diberikan izinnya tetap dapat dilakukan evaluasi dan sepanjang dalam pelaksanaan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, sambung Wahiduddin, untuk tidak menimbulkan persoalan konstitusional dalam penerapan norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU Minerba, Mahkamah memandang perlu untuk menegaskan dalam amar putusan ini mengenai keharusan selalu adanya konsistensi untuk tidak menyalahi keterpenuhan syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dalam menjamin pemanfaatan ruang dan kawasan sehingga hal ini memberikan kejelasan dalam memaknai kata “menjamin” dalam Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU Minerba. Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU Minerba adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. Artinya, norma Pasal 17A ayat (2). Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 jika norma tersebut tidak dilekati makna “sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Amar Putusan
Dalam amar Putusan Nomor 37/PUU-XIX/2021, Mahkamah menyatakan Pasal 17A ayat (2) UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara yang telah ditetapkan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. Menyatakan Pasal 22A UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WPR yang telah ditetapkan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Menyatakan Pasal 31A ayat (2) UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUPK yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
Menyatakan Pasal 172B ayat (2) UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Baca juga:
Menyoal Hilangnya Peran Pemerintah Daerah dalam UU Minerba
Pemohon Uji UU Minerba dan UU Cipta Kerja Perbaiki Permohonan
DPR Bantah Adanya Pengurangan Kewenangan Pemda Terkait Izin Usaha Pertambangan
Pemerintah: Perubahan UU Minerba untuk Perbaiki Sektor Pertambangan
Ahli: UU Minerba Kriminalisasi Pembela HAM
Ahli: Pengelolaan Pertambangan oleh Pemerintah Pusat adalah Kemunduran
Saksi Terangkan Dampak Hilangnya Kewenangan Pemda dalam UU Minerba
Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Kewenangan Minerba Tetap Terbuka
Pemerintah Hadirkan Ahli dan Saksi dalam Sidang Uji UU Minerba
Putu Gde Ariastita: Rencana Tata Ruang Dapat Ditinjau Kembali
Untuk diketahui, permohonan Nomor 37/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian materi UU Minerba dan UU Cipta Kerja tersebut diajukan oleh 4 (empat) Pemohon, yaitu Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Pemohon I, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) sebagai Pemohon II, Nurul Aini, sebagai Pemohon III, dan Yaman sebagai Pemohon IV yang merupakan seorang Petani.
Para Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), Pasal 169A ayat (1), Pasal 169B ayat (3), Pasal 172B ayat (2), dan Pasal 162 UU Minerba sebagaimana telah diubah dengan Pasal 39 angka 2 UU Cipta Kerja. Para Pemohon menilai Pasal-pasal tersebut multitafsir sehingga merugikan hak konstitusional para Pemohon. Untuk itu, Pemohon meminta Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.