JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan pengujian materiil Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Demikian Putusan Nomor 72/PUU-XX/2022 atas perkara yang dimohonkan oleh Zainal Arifin Hoesein (Pemohon I), Fardiaz Muhammad (Pemohon II) dan Resti Fujianti Paujiah (Pemohon III). Putusan tersebut dibacakan dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Ruang Sidang Pleno MK, pada Kamis (29/9/2022).
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, MK mengatakan para Pemohon memang benar adalah perorangan warga negara Indonesia. Pemohon I adalah benar sebagai mantan Panitera MK Tahun 2009 - 2011 yang telah pensiun pada usia 56 tahun tanggal 18 Januari 2011, namun tidak dapat menerangkan anggapan kerugian hak konstitusional yang secara aktual, spesifik atau setidak-tidaknya potensial dialami dengan berlakunya norma Pasal 7A UU MK.
Baca juga: Menguji Konstitusionalitas Usia Pensiun Panitera dan Panitera Muda MK
Mahkamah menilai Pemohon I hanya menguraikan anggapan kerugian hak konstitusionalnya secara umum atas keberlakuan Pasal 7A UU MK namun tidak secara jelas kerugian apa sesungguhnya yang diderita oleh Pemohon I sebagai mantan Panitera Mahkamah Konstitusi Tahun 2009 - 2011 yang 34 telah pensiun, dengan berlakunya norma pasal yang dimohonkan pengujiannya.
“Oleh karenanya tidak tampak adanya hubungan sebab akibat (causal verband) dari keberlakuan Pasal 7A UU MK dengan anggapan kerugian yang diderita oleh Pemohon I berkaitan dengan hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Sehingga, Mahkamah tidak menemukan kerugian hak konstitusional Pemohon I baik secara langsung maupun tidak langsung oleh berlakunya norma Pasal 7A UU MK. Oleh karenanya Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Sementara itu, Pemohon II yang baru lulus sebagai sarjana hukum dan bekerja di kantor pengacara dan Pemohon III sebagai lulusan Sekolah Tinggi Hukum Litigasi Indonesia juga tidak dapat menerangkan kerugian hak konstitusional yang dialaminya,” ujar Saldi.
MK menegaskan, Para Pemohon hanya menerangkan minatnya untuk menjadi ASN di kepaniteraan Mahkamah dan Pemohon II menjelaskan kepentingan atas penyelenggaraan layanan peradilan Mahkamah melalui Kepaniteraan Mahkamah dengan konsep layanan cepat, transparan dan akuntabel, namun para Pemohon tidak menjelaskan apa korelasi atau koherensinya yang menunjukkan adanya hubungan sebab akibat dengan berlakunya norma Pasal 7A UU MK. Dengan demikian, Mahkamah tidak menemukan kerugian hak konstitusional Pemohon baik secara langsung maupun tidak langsung oleh berlakunya norma Pasal a quo.
“Dengan demikian menurut Mahkamah, Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III (para Pemohon) tidak memenuhi syarat kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon,” tandas Saldi.
Baca juga: Mantan Panitera Perbaiki Uji Permohonan UU MK
Sebelumnya, para Pemohon merasa dirugikan dan atau pasti dirugikan secara potensial hak kontitusionalnya atas pasal yang diuji dengan alasan Pemohon I adalah mantan panitera yang diangkat berdasarkan keputusan Presiden Nomor 143 dan seterusnya. Oleh karena ketidakjelasan ketentuan mengenai batas usia pension pada jabatan panitera di lingkungan MK yang diatur dalam Pasal 7 UU 24/2003 juncto Pasal 7A ayat (1) UU 8/2011 Pemohon I mengalami kerugian atas hak konstitusionalnya.
Menurut para pemohon, hal ini disebabkan bahwa pada tanggal 3 September 2010 Pemohon I genap berusia 56 (lima puluh enam) tahun sehingga dengan sendirinya harus pensiun sebagai pegawai negeri dan secara serta merta juga harus berhenti dari jabatan Panitera Mahkamah Konstitusi. Apabila merujuk pada jabatan Kepaniteraan (Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti) pada badan peradilan yang berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung (MA) yang secara jelas menetapkan batas usia pensiun yaitu 60 tahun bagi jabatan panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pada badan peradilan tingkat pertama dan 62 tahun bagi jabatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada badan peradilan tingkat banding, maka Pemohon I seharusnya belum pensiun dari pegawai negeri dan berhenti dari jabatannya sebagai Panitera MK.
Lebih lanjut pemohon menyebut, Pemohon II dan Pemohon III juga berkeinginan untuk bekerja di MK melalui proses rekrutmen yang terbuka karena usia relatif muda dan masih memungkinkan untuk membina karir dalam dunia peradilan khususnya di Mahkamah Konstitusi. Tidak tertutup kemungkinan juga Pemohon II dan Pemohon III menjalani pekerjaan sebagai Panitera di MK. Potensi kerugian tersebut dapat dihindari dengan memohonkan pengujian kepada MK. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim