JAKARTA, HUMAS MKRI – Kisruh masa jabatan ketua umum organisasi advokat selama tiga periode akhirnya bermuara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Zico Leonard Djagardo Simajuntak yang berprofesi sebagai advokat menguji ketentuan mengenai rangkap jabatan pimpinan organisasi advokat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Sidang perdana Perkara Nomor 91/PUU-XX/2022 tersebut digelar pada Selasa (27/9/2022) di Ruang Sidang Pleno MK secara virtual.
Zico dalam permohonannya mendalilkan adanya kerugian faktual dan potensial. Secara faktual, Pemohon menilai tidak adanya kepastian hukum terkait masa jabatan dan regenerasi kepemimpinan pada pimpinan organisasi advokat. Hal ini juga menjadi perhatian dari para advokat senior, seperti Hotman Paris Hutapea, yang menyatakan bahwa tidak setuju dengan masa jabatan tiga periode untuk pimpinan organisasi advokat seperti kepemimpinan tiga periode PERADI Otto Hasibuan. Selain itu, Pemohon yang mengutip Hotman Paris Hutapea, juga mempermasalahkan organisasi advokat PERADI pimpinan Otto Hasibuan yang mengubah AD/ART hanya untuk memberikan legitimasi atas kepemimpinan tiga periode.
“Kerugian yang potensial menurut penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi karena dirampas haknya sebagai advokat termasuk untuk menjadi pimpinan organisasi di masa yang akan datang atas dasar kekuasaan pemimpin organisasi advokat yang sewenang-wenang akibat otoritarianisme kekuasaan mutlak yang tidak dibatasi oleh UU a quo. Oleh karena itu, sudah sepatut dan sepantasnya Pemohon sebagai penegak hukum melakukan upaya-upaya hukum dalam menata kembali tata kelola organisasi advokat yang ideal,” ujar Fepti Yolanda yang merupakan kuasa hukum Pemohon.
Menyambung hal tersebut, Saut Hamonangan Turnip menyebut tidak adanya mekanisme check and balances dalam Pasal 28 UU Advokat, dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dalam internal kepengurusan organisasi advokat. Oleh karena itu, lanjutnya, pentingnya pembatasan masa jabatan pimpinan atau ketua umum organisasi advokat dalam periode waktu tertentu dan batasan maksimum masa jabatan sebagai bentuk mekanisme check and balances serta bentuk pencegahan terhadap potensi penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Kesewenang-wenangan yang terjadi secara internal akibat semata-mata ambisi kekuasaan orang atau kelompok orang tertentu akan berimbas dan merugikan para anggota organisasi advokat karena hanya akan memicu terjadinya perpecahan di dalam organisasi advokat dan menghilangkan kesempatan bagi para advokat yang memiliki integritas, kapabilitas, dan profesionalisme untuk memajukan organisasi advokat sebagaimana halnya aparat penegak hukum lainnya.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 28 ayat (2) UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pimpinan organisasi advokat memegang jabatan paling lama hanya untuk 2 (dua) kali masa jabatan dan sesudahnya tidak dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah”.
Saran Perbaikan
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim memberikan sejumlah saran perbaikan kepada Pemohon. Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta agar Pemohon memperbaiki sistematika permohonan. Menurutnya, permohonan Pemohon belum proporsional.
“Dalam menjelaskan Kewenangan MK terlalu panjang. Cukup lima poin saja. Cukup undang-undang yang menegaskan kekuasaan MK, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, kemudian Undang-Undang MK sendiri,” saran Suhartoyo.
Kemudian, Suhartoyo meminta agar Pemohon berhati-hati untuk membedakan antara persoalan konstitusionalitas norma dengan persoalan implementasi norma. Ia mengingatkan bahwa PERADI terbagi ke dalam beberapa kubu.
“Kalau Anda menjelaskan tentang PERADI, maka ada PERADI yang dipimpin oleh Otto Hasibuan, PERADI yang dipimpin oleh Juniver Girsang, PERADI yang dipimpin oleh Luhut Pangaribuan dan lainnya. Bagaimana kemudian yang ada persoalan yang ada di organisasi yang dipimpin oleh Otto Hasibuan, kemudian bisa ditarik menjadi sesuatu yang general seolah yang PERADI yang lain juga seperti itu? Hati-hati di sini. Nanti Pemohon akan terbentur ini ada persoalan norma atau implementasi?” lanjut Suhartoyo.
Sementara Ketua Panel Hakim Saldi Isra menjelaskan bahwa Pemohon mempermasalahkan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) UU Advokat dalam posita permohonan, namun dalam petitumnya, Pemohon meminta pembatalan Pasal 28 ayat (2) UU Advokat. Saldi mengingatkan hal tersebut dapat menyebabkan permohonan Pemohon kabur. Kemudian, ia meminta agar Pemohon mengonstruksikan kembali norma untuk dicantumkan di dalam petitum.
“Kalau dia mau dinyatakan inkonstitusional, itu artinya hilang keseluruhannya. Kalau mau dinyatakan diberi pemaknaan konstitusional bersyarat, maka norma itu secara utuh disebutkan dulu. Lalu bersyarat yang bagaimana yang Anda inginkan?” jelas Saldi.
Untuk itu, Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. Selambatnya Pemohon harus menyerahkan perbaikan permohonan pada Senin, 10 Oktober 2022. (*)
Penulis: Lulu Anjarsari P.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.