JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), pada Rabu (21/9/2022). Agenda sidang perkara Nomor 85/PUU-XX/2022 ini adalah pemeriksaan perbaikan permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Ketua Pengurus Yayasan Perludem dan Irma Lidarti selaku Bendahara Yayasan Perludem.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Suhartoyo, Kuasa Pemohon yang diwakili oleh Fadil Ramadhanil mengatakan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim pada sidang sebelumnya.
“Adapun perbaikan yang dilakukan pada bagian pertama yakni kewenangan MK, kami telah membuatnya dengan memasukkan kewenangan MK mulai dari UUD 1945, UU MK, UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, termasuk juga UU Kekuasaan Kehakiman dan Peraturan MK. Kedua, pada kedudukan hukum atau legal standing Pemohon,” kata Fadil secara daring.
Fadil menjelaskan, kedudukan hukum Perludem (Pemohon) adalah organisasi berbadan hukum yang tercatat dan terdaftar secara legal berdasar ketentuan hukum di Indonesia. Perludem dalam anggaran dasarnya menjalankan kegiatan yang meliputi pengkajian mengenai pemilu dan demokrasi.
Berkaitan dengan argumentasi permohonan, sambung Fadil, Pemohon melakukan perbaikan sesuai arahan panel hakim dalam sidang sebelumnya. Pemohon memaparkan situasi aktual yang paling mutakhir di mana terdapat kebuntuan terkait dengan lembaga yang menyelesaikan hasil pilkada.
“Dalam UU a quo, masih menyebut adanya peradilan khusus. Tapi hingga saat ini badan peradilan khusus itu belum dapat disusun oleh pembentuk UU, baik bentuk lembaganya, kewenangannya, jenisnya dan hal-hal lain yang lebih penting dari satu lembaga yang akan menyelesaikan perselisihan hasil kepala daerah, sama sekali belum dibentuk oleh pembentuk UU. Pada bagian inilah kami ingin menyampaikan bahwa ini adalah suatu persoalan hukum yang sangat serius dan dihadapi di masa kini. Maka penting upaya pengajuan permohonan ini kami sampaikan ke Mahkamah. Dan kami berharap Mahkamah dapat menjawab kebutuhan untuk penyelesaian hasil pilkada,” ujarnya.
Baca juga:
Perludem Minta Sengketa Pilkada Diadili MK
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 85/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pilkada diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Ketua Pengurus Yayasan Perludem dan Irma Lidarti selaku Bendahara Yayasan Perludem. Adapun materi yang diujikan oleh Perludem yaitu Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Pilkada.
Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada menyatakan, “Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.” Pasal 157 ayat (2) UU Pilkada menyatakan, “Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.” Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada menyatakan, “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.”
Dalam persidangan yang digelar di MK pada Kamis (8/9/2022), Perludem melalui kuasa hukum Fadli Ramadhanil mengatakan penyelesaian perselisihan hasil pilkada merupakan bagian penting dari sistem penegakan hukum. Proses penyelesaian hasil pilkada adalah garda terakhir untuk melindungi dan memberikan proteksi terhadap proses dan hasil pilkada tetap sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan berintegritas.
“Ketentuan dalam UU a quo menurut kami akan berakibat pada kacaunya proses penyelesaian hasil pilkada karena tidak mungkin menyiapkan suatu lembaga peradilan khusus dalam waktu singkat menjelang dimulainya tahapan pelaksanaan pilkada serentak secara nasional hingga saat ini belum ada bentuk lembaga seperti apa dan kewenangannya apa, mekanismenya seperti apa dan eksistensi kelembagaannya belum ada. Dengan ketentuan dan situasi tersebut menurut kami sebagai Pemohon telah berakibat kepada terancamnya satu tahapan yang penting dari proses penyelenggaraan pilkada yaitu tahapan penyelesaian hasil pilkada,” kata Fadli Ramadhanil secara daring kepada panel hakim dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Fadli menjelaskan, UU Pilkada masih menyebutkan badan peradilan khusus sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan hasil pilkada. Menurut Perludem, hal ini secara terang membuat ketidakpastian hukum yang serius. Maka sudah seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam petitum, Perludem memohon kepada MK agar menyatakan Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perkara perselisihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi.” Kemudian Pasal 157 ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Perludem juga memohon MK menyatakan Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.