JAKARTA, HUMAS MKRI – Definisi pengusaha dan pemberi kerja pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dalam konteks hubungan kerja memang mengatur hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah, sehingga pembentuk undang‑undang tidak mengatur hubungan kerja secara luas sebagaimana yang dimaksudkan oleh Para Pemohon sebagai pekerja rumahan.
Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi III DPR Supriansa dalam sidang lanjutan pengujian UU Ketenagakerjaan pada Rabu (21/9/2022). Keterangan tersebut menanggapi dalil Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XX/2022 yang menyampaikan mengenai kerancuan hukum dan tumpang‑tindih antara istilah atau definisi pengusaha dan pemberi kerja pada Undang-Undang Ketenagakerjaan dalam konteks hubungan kerja.
“Jika frasa pengusaha dalam definisi hubungan kerja diperluas, maka hal ini berdampak kepada perubahan yang masuk dari para pembentuk undang‑undang. Termasuk berdampak kepada keseluruhan materi muatan yang ada di dalam undang‑undang a quo, dan dapat mengakibatkan perubahan sistematika dalam undang‑undang a quo dan menjadi tidak sesuai dengan pedoman pembentukan peraturan perundang‑undangan. Dengan demikian tidak benar apabila terdapat kerancuan hukum dan tumpang tindih antara istilah atau definisi pemberi pemberi kerja sesuai Pasal 1 angka 4 Undang‑Undang Ketenagakerjaan dan pengusaha pada Pasal 1 angka 5 undang‑undang a quo,” jelas Supriansa kepada Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Baca juga: Lima Pekerja Rumahan Uji UU Ketenagakerjaan
Jaminan Tertatanya Sistem Pengaturan Ketenagakerjaan
Supriansa juga menanggapi dalil para Pemohon soal pembatasan hubungan kerja dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja rumahan dalam suatu hubungan kerja. Ia menyampaikan DPR berpandangan bahwa pembatasan hubungan kerja dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 Undang‑Undang Ketenagakerjaan memang membatasi ruang lingkup hubungan kerja yang terjadi antara pekerja atau buruh dengan pengusaha dengan tujuan untuk menjamin tertatanya sistem pengaturan ketenagakerjaan.
Dikatakan Supriansa yang menyampaikan keterangan DPR, bahwa politik hukum ketenagakerjaan pada saat penyusunan Undang-Undang Ketenagakerjaan diatur sedemikian rupa agar terpenuhinya hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja serta mewujudkan kondisi yang lebih kondusif bagi perkembangan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan memiliki keterkaitan yang tidak hanya kepada tenaga-tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja, tetapi juga keterkaitan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.
“Karena itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing Tenaga Kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial,” papar Supriansa.
Berikutnya, DPR menanggapi dalil para Pemohon bahwa tidak ada dasar hukum atau regulasi yang mengatur mengenai keberadaan pekerja rumahan dan para Pemohon tidak dapat pula dikategorikan sebagai pekerja yang berada dalam hubungan kerja menurut ketentuan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan bahwa pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan sektor-sektor usaha yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Kepentingan tenaga kerja selama, sebelum, dan sesudah masa kerja juga kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.
“Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas, dan daya saing tenaga kerja Indonesia upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial,” tandas Supriansa.
Baca juga: Pekerja Rumahan Penguji UU Tenaker Perbaiki Permohonan
Tidak Terdapat Kerancuan Hukum
Sementara itu, Pemerintah diwakili Indah Anggoro Putri, memberikan keterangan terkait definisi pengusaha dan pemberi kerja dalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 1 angka 5 Undang‑Undang Ketenagakerjaan.
“Para Pemohon keliru dan tidak cermat memahami antara definisi pengusaha dan pemberi kerja. Bahwa pemberi kerja yang dimaksud Undang‑Undang Ketenagakerjaan dapat dikelompokkan ke dalam dua klasifikasi yaitu pemberi kerja yang bukan pengusaha dan pemberi kerja sebagai pengusaha. Mengingat pemberi kerja yang bukan pengusaha, maka hubungan yang terbentuk bukan merupakan hubungan kerja, sehingga hak dan kewajiban tidak sepenuhnya tunduk pada pengaturan Undang‑Undang Ketenagakerjaan. Sementara untuk pemberi kerja sebagai pengusaha, maka hubungan hukum yang terbentuk merupakan hubungan kerja. Oleh karena itu, hak dan kewajiban para pihak tunduk pada pengaturan dalam Undang‑Undang Ketenagakerjaan. Dengan demikian, tidak terdapat kerancuan hukum dan tumpang tindih antara istilah atau definisi pengusaha dan pemberi kerja dalam Undang‑Undang Ketenagakerjaan dalam konteks hubungan kerja,” tegas Indah.
Kemudian terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 Undang‑Undang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang‑Undang Dasar Tahun 1945 adalah dalil yang tidak berdasar, menurut Pemerintah, justru ketentuan pasal a quo memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, bagi Para Pemohon selaku pekerja rumahan.
“Oleh karena itu, sama sekali tidak terdapat kerugian hak konstitusional dari Para Pemohon, sehingga menurut Pemerintah adalah tepat jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak Permohonan Para Pemohon,” ujar Indah selaku Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-JSK) Kementerian Ketenagakerjaan
Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XX/2022, yakni para ibu yang berprofesi sebagai pekerja rumahan. Pemohon sebelumnya mendalilkan sebagai pekerja rumahan yang secara individu bekerja di rumah atau tidak berada di lingkungan perusahaan. Namun mereka mendapat perintah pekerjaan dari seorang perantara selaku pemberi kerja untuk melakukan suatu pekerjaan berupa produk barang/jasa. Pada 2017, para Pemohon pernah melakukan audiensi ke Kementerian Ketenagakerjaan untuk mempertanyakan status perlindungan hukum pekerja rumahan sebagai pekerja dan status hubungan kerja berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Namun pihak Kementerian Ketenagakerjaan memberikan tanggapan bahwa tidak ada istilah pekerja rumahan dalam UU ketenagakerjaan. Jika merujuk definisi pekerja pada UU Ketenagakerjaan, pekerja rumahan dapat dikategorikan sebagai pekerja. Namun pekerja rumahan dianggap sebagai pekerja yang berada di luar hubungan kerja. Kementerian Ketenagakerjaan berpandangan bahwa karakteristik pekerja rumahan tidak memenuhi unsur-unsur persyaratan untuk menjadi pekerja yang berada dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu menurut kami, Undang-Undang Ketenagakerjaan belum dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja rumahan.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja adalah hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Serta menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja/buruh”. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim