JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (13/9/2022) siang. Permohonan Nomor 78/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Partai Buruh.
Muhammad Imam Nasef selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan. Di antaranya, perbaikan pada bagian Kewenangan Mahkamah. Kemudian Nasef menguraikan bunyi pasal-pasal yang diujikan mulai dari Pasal 173 ayat (1), Pasal 177 huruf f, Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4) dan Pasal 161 ayat (2) UU Pemilu.
“Terkait kerugian konstitusional Pemohon, bahwa Pemohon mengalami kerugian konstitusional atau setidak-tidaknya potensial akan mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 55 (Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020) tanggal 4 Mei 2001, Pasal 177 huruf f UU Pemilu sepanjang frasa penduduk di kabupaten/kota, serta mempertegas kerugian konstitusional Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4) dan Pasal 161 ayat (2) UU Pemilu. Menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena multitafsir,” jelas Nasef secara daring kepada panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Kemudian pada bagian pokok permohonan, selain menampilkan pasal-pasal yang diuji melalui tabel, Pemohon juga secara detail menguraikan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji. Selain itu, Pemohon menambahkan beberapa putusan MK yang baru terkait verifikasi partai politik.
Baca juga:
Partai Buruh Persoalkan Syarat Verifikasi Faktual
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 78/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Partai Buruh yang diwakili oleh Said Iqbal (Presiden Partai Buruh) dan Ferri Nuzarli (Sekretaris Jenderal Partai Buruh). Partai Buruh (Pemohon) merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 177 huruf f UU Pemilu sepanjang frasa “penduduk pada setiap kabupaten/kota” serta Pasal Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), Pasal 161 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “wajib berkonsultasi dengan DPR”.
“Dalam permohonan ini terdapat dua isu utama yakni isu verifikasi calon parpol sebagai peserta pemilu dan pembentukan peraturan oleh lembaga pemilu, dalam hal ini KPU, Bawaslu dan DKPP,” kata Said Salahudin selaku kuasa hukum Partai Buruh dalam persidangan secara daring di MK pada Senin (29/8/2022).
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu sepanjang kata “verifikasi” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “verifikasi secara administrasi”. Kemudian meminta MK menyatakan Pasal 177 huruf f UU Pemilu sepanjang frasa “..Penduduk pada setiap kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “Penduduk yang beralamat di satu Kabupaten/Kota sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) atau Kartu Keluarga (KK) atau Penduduk yang berdomisili di satu Kabupaten/kota sesuai dengan surat keterangan kependudukan dari instansi yang berwenang di bidang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”.
Selain itu, meminta MK menyatakan Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “.. wajib berkonsultasi dengan DPR...” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya tidak bersifat mengikat”.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.