JAKARTA, HUMAS MKRI - Dalam pengujian undang-undang di MK terdapat dua model yakni pengujian secara formil materil. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo saat memberikan materi pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan ke-11 yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas As-Syafi’iyah bekerja sama dengan DPC Peradi Jakarta Barat, pada Sabtu (10/9/2022).
Dikatakan Suhartoyo, pengujian secara formil adalah pengujian yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materil.
“Tata cara pembentukan undang-undangnya. Jadi, yang dipersoalkan oleh pemohon adalah ada prosedur pembentukan UU yang menurut pemohon tidak sesuai dengan tata caranya, tidak sesuai dengan proses pembentukannya, tidak sesuai dengan prosedur pembentukannya. Sedangkan pengujian materil, pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Jadi berkaitan pasal demi pasal atau ayat dengan ayat atau bahkan bagian dari pasal dan bagian dari ayat,” terang Suhartoyo.
Lebih lanjut Suhartoyo menjelaskan, pengujian formil diajukan berdasarkan putusan MK dan dibatasi selama 45 hari sejak UU itu diundangkan dalam Lembaran Negara. “UU kalau diundangkan hari ini maka untuk dapat diajukan di MK, sejak hari ini sampai 45 hari kedepan tenggang waktunya bisa diajukan pengujian. Kalau pengujian materil tidak dibatasi tenggang waktu. Jadi UU yang sudah berpuluh-puluh tahun berlaku pun sampai sekarang ada saja yang mengajukan pengujian berkaitan dengan substansinya,”urai Suhartoyo.
Dalam pengujian formil apabila dikabulkan, sambung Suhartoyo, maka seluruh undang-undang akan dinyatakan MK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945. Sementara pada pengujian materil, hanya pada bagian yang diuji saja yang dinyatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Suhartoyo juga menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa.
Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya adalah memberi kemudahan pada access to justice kepada masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Suhartoyo juga menjelaskan, beracara di Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda dengan beracara di peradilan umum atau peradilan lainnya. “Mengapa saya katakan demikian, hal tersebut karena beracara di MK ada perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki MK,” kata Suhartoyo kepada para peserta PKPA.
Suhartoyo menegaskan, seorang advokat harus paham dengan hukum acara khususnya ketika akan mengajukan permohonan pengujian untuk mewakili prinsipal. Kemudian, untuk dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) harus memiliki syarat kerugian konstitusional yang didalilkan. Kerugian konstitusional merupakan hak yang diberikan oleh UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya suatu UU.
Mengenai sistematika permohonan, ungkap Suhartoyo, terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara offline maupun secara online.
Berikutnya, Suhartoyo menyinggung tahap persidangan di MK, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Kemudian sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK. Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi.
Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan. Putusan MK, kata Suhartoyo, bersifat erga omnes. Meskipun permohonan dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan mempengaruhi hukum di Indonesia. Putusan MK juga bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada upaya hukum lagi setelah adanya Putusan MK.
Selain itu, Putusan MK dapat bersifat pemberlakuan secara konstitusional bersyarat. Artinya, norma yang diuji menjadi tidak bertentangan dengan konstitusi apabila dimaknai sebagaimana dirumuskan MK. Sebaliknya, ketika norma pasal, ayat dalam UU yang diputus inkonstitusional bersyarat yakni norma yang diuji menjadi bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai sebagaimana dirumuskan MK.
Dalam sesi diskusi terdapat mahasiswa yang menanyakan terkait apakah dalam pengujian UU di MK dapat menguji UU yang lain sekaligus. Menanggapi hal tersebut, Suhartoyo mengatakan untuk mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan terdapat persyaratan, yakni permohonan yang diajukan bersifat khusus dan ada hubungan causa verband. Khusus disini bermaksud permohonan tidak universal.
“Sebagai contoh Kalau Pak Sartono kerja di sebuah perusahaan kemudian di perusahaan itu mengikuti peraturan dari UU Ketenagakerjaan. Dalam UU yang berkaitan dengan tenaga kerja itu membolehkan perusahaan untuk melakukan PHK apabila dalam satu perusahaan ada karyawan menikah satu kantor dan UU itu membolehkan PHK kalau ada pegawai ada hubungan keluarga dengan pegawai lainnya. Itu yang saya contohkan adalah kekhususannya disitu. Jadi kalau mengajukan permohonan ke MK sifatnya khusus UU tentang Ketenagakerjaan, pasal yang dimohonkan adalah pasal khusus yang diperbolehkannya perusahaan melakukan hubungan kerja karena ada karyawannya menikah satu kantor. Waktu itu MK sudah memutus dan kemudian mengabulkan. Nah maksud saya seperti itu, Pak. Kalau bapak mengajukan permohonan UU Tenaga Kerja dan UU lainnya sekaligus itu tidak boleh karena sifatnya tidak khusus, tidak spesifik,” jelas Suhartoyo.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.