JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) terhadap UUD 1945 pada Rabu (7/9/2022). Permohonan perkara Nomor 83/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Leonardo Siahaan. Adapun norma yang diujikan adalah Pasal 39 ayat (3) UU Perlindungan Anak yang menyatakan, “Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat”.
Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Dalam persidangan, Leonardo Siahaan (Pemohon) mengatakan ketentuan Pasal 39 ayat (3) UU Perlindungan Anak tersebut telah melanggar suatu kaidah “setiap orang berhak membentuk dan melanjutkan keturunan”.
Pemohon merasa hak konstitusionalnya potensial dirugikan oleh ketentuan tersebut apabila Pemohon sudah memiliki keluarga lalu berkeinginan mengadopsi anak. Pemohon tidak bisa melakukan adopsi anak karena terbentur permasalahan beda agama yang secara persyaratan formal dilarang. Menurutnya, Pasal 39 ayat (3) UU Perlindungan Anak bertentangan dengan Pasal 28B dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Frasa “calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat” di dalam Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 tidak memberikan suatu jaminan hukum yang sebagaimana bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,“ ujarnya.
Pengangkatan anak atau adopsi anak merupakan kebutuhan yang dimiliki beberapa pasangan suami istri yang belum mampu mempunyai anak. Cara seperti inilah alasan umum pasangan suami istri melakukan pengangkatan anak. Adapun alasan-alasan lainnya misalnya, mengadopsi dari keluarga yang tidak mampu, keprihatinan krisis penelantaran anak, adanya pertumbuhan pesat anak yatim piatu.
Menurut Pemohon, menjadi suatu permasalahan hukum atau dapat dikatakan menjadi suatu hal yang aneh apabila pengangkatan anak diutamakan melihat seagama dengan calon orang tua angkat. Hal ini dapat menjadi hambatan bagi siapa pun yang secara mulia peduli terhadap anak-anak terlantar, anak-anak yatim piatu. Sementara calon orang tua angkat tersebut tidak peduli apa agama yang dianut si anak.
Dalam permohonannya, Pemohon menyebutkan hal tersebut tidak sesuai terkait diterapkannya syarat “harus seagama” antara orang tua angkat dan anak angkat apabila diukur dengan parameter perlindungan anak. Perlindungan anak terkait pendidikan, perlu disesuaikan syarat “harus seagama” nya dengan materi pendidikan yang diberikan. Perlindungan anak terhadap kesehatan, hak sosial, perlindungan khusus, perlindungan atas sandang, pemukiman, dan hukum tidak sesuai jika terdapat syarat “harus seagama”.
Menurut Pemohon, pengaturan pengangkatan anak di masa mendatang perlu memberikan alasan pengangkatan anak mengutamakan syarat harus seagama dan solusi apabila tidak ada yang melakukan pengangkatan anak. Calon orang tua angkat berbeda agama dengan calon anak angkat seharusnya diperbolehkan mengangkat anak mengingat tujuan pengangkatan anak adalah untuk kepentingan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak angkat dan agar syarat tersebut tidak menghalangi terwujudnya tujuan pengangkatan anak
Oleh karena itulah, Pemohon dalam petitumnya memohon kepada MK agar menyatakan Pasal 39 ayat (3) UU Perlindungan Anak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan pemohon untuk memperbaiki kedudukan hukum pemohon dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai perorangan Warga Negara Indonesia. “Ini nanti bagian legal standing harus dinyatakan dengan jelas dan dibuktikan dengan buktinya. Jadi kalau begitu buktinya adalah KTP karena menyangkut legal standing. Kalau legal standingnya tidak jelas, MK tidak akan mempertimbangkan,” kata Arief.
Lebih lanjut Arief mengatakan, pemohon harus mampu membuktikan letak kerugian konstitusional dengan berlakunya Pasal 39 ayat (3) UU Perlindungan Anak. Hal ini pun harus dicantumkan di dalam legal standing.
“Karena kalau tidak ada hal-hal yang menunjukkan anda dirugikan, baik kerugian aktual atau potensial, ya anda tidak punya legal standing. Ini penting sekali. Kalau anda tidak punya legal standing ya otomatis MK tidak mempersoalkan atau tidak akan memeriksa kembali mengenai pokok permohonannya,” jelas Arief.
Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan belum menemukan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon atau potensial dialami. “Nah itu belum tergambar jelas apakah anda berkeinginan untuk mengadopsi anak?” tanya Saldi.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.