JAKARTA, HUMAS MKRI – Dalam sistem peradilan pidana, advokat berperan membantu tersangka dan terdakwa untuk memahami proses hukum yang dijalaninya, meliputi tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, dan purna-ajudikasi. Selain itu, advokat juga ikut mengawasi dan membantu penyidik serta penuntut umum untuk menjalani proses menjaga keseimbangan antara kepentingan publik dan semua hak serta jaminan yang diberikan hukum pada tersangka dan terdakwa.
Demikian keterangan yang disampaikan Ifdhal Kasim selaku Ahli yang dihadirkan oleh Octolin H. Hutagalung dan sebelas Pemohon lainnya (Pemohon) dalam sidang ketujuh pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Selasa (6/9/2022). Dalam sidang Perkara Nomor 61/PUU-XX/2022 tersebut, Wakil Ketua MK Aswanto menjadi Ketua Panel Hakim dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi lainnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), sambung Ifdhal, advokat memiliki posisi penting dalam sistem peradilan pidana. Salah satunya untuk menjaga keseimbangan antara besarnya peran penegak hukum seperti polisi dan jaksa dengan keadaan tersangka/terdakwa yang lemah. Oleh karena itu, dibutuhkan advokat yang bebas, kendati dalam praktik penegakan hukum, para advokat kurang mendapatkan tempat pada perannya tersebut.
“Padahal untuk mencari kebenaran atas bersalah atau tidaknya seorang tersangka atau terdakwa haruslah dilakukan dengan ‘dueprocess’. Dalam konteks ini, sistem peradilan pidana juga harus mempertimbangkan kedudukan saksi guna mendapat pendampingan dari advokat berdasarkan pilihannya sendiri,” jelas Ketua Komnas HAM periode 2007 – 2012 tersebut.
Baca juga:
Dianggap Halangi Profesi Advokat, KUHAP Diuji
Pandangan DPR, Polri dan KPK Soal Pendampingan Saksi Saat Pemeriksaan
Pendampingan Hukum terhadap Saksi
Berikutnya, Ifdhal juga menerangkan mengenai kedudukan saksi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Menurutnya, perlindungan terhadap saksi masih sangat minim. Hal yang sering dituntut pada saksi hanyalah kewajiban. Sehingga, kedudukan saksi dapat dikatakan rentan dihadapkan pada tindak pidana berupa membuat keterangan yang melawan dirinya sendiri. Oleh karena itu, pendampingan hukum oleh advokat pada saksi sangat penting. Sebagai ilustrasi, Ifdhal memberikan gambaran mengenai wajibnya saksi didampingi oleh advokat pada negara-negara anglo-saxon, utamanya terhadap pada kesaksian yang diberikan justru memberatkan saksi sendiri, yang nanti dapat saja digunakan untuk mendakwa saksi tersebut.
Untuk menghindari hal-hal tersebut, menurut Ifdhal, sudah saatnya sistem peradilan pidana memberikan perlindungan yang memadai pada saksi maupun korban, mulai dari saksi korban perkosaan, pelecehan seksual hingga pada saksi yang membuka rahasia organisasi kejahatan. Sistem peradilan pidana tidak lagi bertumpu pada pelaku kejahatan versus negara, tetapi setiap unit yang terlibat di dalamnya diberikan perlindungan yang sama.
“Saya melihat permohonan uji materiil atas Pasal 54 KUHAP terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memiliki alasan konstitusionalitas yang kuat. Maka permohonan Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 54 KUHAP konstitusional bersyarat berdasarkan sepanjang dimaknai termasuk Saksi dan Terperiksa sejalan dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’”, tandas Ifdhal.
Baca juga:
KUHAP Jamin Hak Tersangka dan Terdakwa
Peradi: Advokat Punya Hak Mendampingi Saksi dalam Proses Pemeriksaan
Perlindungan bagi Pencari Keadilan
Selanjutnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Lies Sulistiani memberikan keterangan terhadap posisi perlindungan bagi para pencari keadilan, khususnya untuk saksi dan korban dalam sistem hukum peradilan pidana di Indonesia. Menurutnya, seiring berjalannya waktu, KUHAP yang ada sejak 1981 telah jauh dari perhatian terhadap saksi dan/atau korban. Oleh karena itu, ia menilai KUHAP telah offender oriented dan memiliki perhatian yan jauh dari saksi, korban, atau subjek terperiksa lainnya. Terlebih lagi, saat masyarakat Indonesia mulai menyadari betapa pentingnya access to justice bagi pihak-pihak selain tersangka/terdakwa. Bahwa access to justice sesungguhnya menjadi hak yang harus dijamin pemenuhannya bukan hanya bagi tersangka/terdakwa tetapi juga bagi semua pihak yang berhadapan maupun berkonflik dengan hukum.
“Oleh karena itu, para pencari keadilan bukan saja seseorang dalam kedudukannya sebagai tersangka/terdakwa, melainkan juga mereka yang menjadi korban atau saksi yang terlibat dalam proses peradilan pidana,” kata Lies.
Lebih lanjut Lies menerangkan sebagai negara hukum, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara anggota di dalamnya telah terikat dengan berbagai kewajiban, di antaranya wajib untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia yang berada di wilayah yurisdiksinya, termasuk pula kewajiban untuk melakukan pemenuhan hak pada Pasal 14 ICCPR untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang layak. Dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana ini, ia menilai bahwa access to justice tersebut harus dimulai dengan memberikan jaminan atas keseimbangan pelaksanaan pendampingan, perlindungan maupun pembelaan terhadap semua pihak yang membutuhkan melalui pembelaan oleh advokat maupun dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan/atau korban oleh LPSK. Dalam hal ini, maka access to justice dan fair treatment tersebut menjadi penting dalam hukum acara pidana dan menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum secara bersama untuk kemudahan-kemudahan pelaksanaannya.
Baca juga: Jamin Ginting: Bantuan Penasihat Hukum juga Diperlukan Saksi dan Terperiksa
Sinergi Advokat dan LPSK
Selanjutnya, Lies juga memberikan pemahaman mengenai kinerja sistem peradilan dari hulu ke hilir yang dapat berjalan dengan baik ketika setiap subsistem yang berperan dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya masing-masing, termasuk antara advokat dam LPSK. Bahwa advokat dan LPSK dalam menjalankan fungsinya dapat terus mendampingi subjek pencari keadilan, baik tersangka/terdakwa, saksi maupun korban pada seluruh tahapan proses peradilan atau sepanjang proses peradilan pidana. Artinya, kerja keduanya tidak dapat dibatasi. Dengan kata lain, seorang advokat dapat memberikan pendampingan dalam setiap tahapan pemeriksaan dan sejalan dengan fungsinya maka LPSK dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak saksi dan/atau korban sejak tahap penyelidikan.
“Sehingga fungsi advokat dan LPSK dapat dilakukan sepanjang proses peradilan, karena karakter fungsi yang melekat secara subjektif pada situasi dan kondisi pihak yang didampinginya. Sementara itu, fungsi advokat dalam memberikan nasihat dan pendampingan terhadap saksi tidak akan meniadakan fungsi LPSK, sebab fungsi yang dijalankan oleh advokat yakni fungsi pembelaan yang berbeda dengan fungsi LPSK yang melaksanakan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana pada kasus-kasus yang mengakibatkan posisi saksi dan/atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Oleh karena itu, advokat dan LPSK dalam menjalankan fungsinya meski berpotensi saling bersinggungan namun sesungguhnya dapat saling men-support dan bersinergi,” jelas Lies.
Sebelum menutup persidangan Wakil Ketua MK Aswanto menyebutkan sidang berikutnya akan digelar pada Selasa, 20 September 2022 dengan agenda mendengarkan keterangan dari Saksi Pemohon. Sebagai informasi, dalam perkara pengujian materiil KUHAP ini para Pemohon mengujikan Pasal 54 KUHAP yang berbunyi, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. Para Pemohon beranggapan bahwa dalam proses perkara pidana, advokat sering dimintai jasa hukumnya untuk mendampingi seseorang, baik dalam kapasitasnya sebagai pelapor, terlapor, saksi, tersangka maupun terdakwa. Menurut para Pemohon, pemberlakuan Pasal 54 KUHAP telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi seorang advokat dalam menjalankan profesinya, mengingat tidak adanya ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang mengatur tentang hak seorang saksi dan terperiksa untuk mendapatkan bantuan hukum serta didampingi oleh penasihat hukum dalam memberikan keterangan di muka penyidik, baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 54 KUHAP Konstitusional bersyarat berdasarkan sepanjang dimaknai termasuk Saksi dan Terperiksa.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim