JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak untuk seluruhnya terhadap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Sidang pengucapan Putusan Nomor 64/PUU-XX/2022 tersebut digelar pada Rabu (31/8/2022) di Ruang Sidang Pleno MK dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi.
“Persoalan konstitusional dalam permohonan a quo adalah adanya pembedaan perlakuan terkait dengan verifikasi partai politik, khususnya verifikasi secara faktual yaitu antara partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 dengan Pemohon yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 namun tidak lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 ataupun dengan partai politik baru,” ujar Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul membacakan pertimbangan hukum MK.
Berkaitan dengan persoalan konstitusional dimaksud dalam permohonan a quo, kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya terkait verifikasi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020.
Lebih lanjut Arief Hidayat menjelaskan, terlepas dari adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 dan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan tersebut, Mahkamah berpendirian bahwa terhadap Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, ”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”.
Sehingga, dengan mengutip pertimbangan hukum di atas, Arief menegaskan, oleh karena substansi yang dipersoalkan oleh Pemohon pada hakikatnya sama dengan apa yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020, meskipun dengan dasar pengujian serta alasan konstitusional yang berbeda, namun esensi dan hakikat yang dimohonkan dalam perkara a quo adalah sama dengan perkara terdahulu yakni mempersoalkan mengenai verifikasi partai politik, baik secara administrasi maupun secara faktual. Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 tersebut mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum Putusan a quo.
Oleh karena itu, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Adapun terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon yang dipandang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah.
Pendapat Berbeda
Putusan Nomor 64/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion). Tiga Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Suhartoyo, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).
Dalam pendapatnya, ketiga hakim tersebut mengatakan oleh karena pertimbangan hukum yang digunakan untuk menolak permohonan a quo adalah mutatis mutandis pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020, terlebih dahulu ketiga hakim tersebut juga merujuk beberapa pokok pertimbangan hukum kami di dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020.
Berkenaan dengan pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 52/PUU-X/2012, tiga hakim tersebut tidak berubah dan yakin bahwa pertimbangan untuk mempertahankan mekanisme verifikasi partai politik peserta pemilu untuk tujuan penyederhanaan partai politik peserta pemilu tidak kehilangan relevansi. Meski diuji dengan realitas jumlah peserta Pemilu 2019, di mana jumlah partai politik peserta pemilu lebih banyak dibandingkan jumlah partai politik peserta pemilu 2014. Kondisi demikian justru semakin memperkuat kebenaran pendapat hukum Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017, yang antara lain menyatakan verifikasi dapat memperkuat kesiapan partai politik untuk menjadi peserta pemilu.
Sedangkan pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 53/PUUXV/2017, secara jelas dan tegas berangkat dari semangat: semua partai politik calon peserta pemilu mesti diperlakukan secara setara. Segala bentuk pembedaan yang menyebabkan unfairness penyelenggaraan pemilu mesti dieliminasi. Sekiranya, terhadap sejumlah partai politik diberlakukan secara berbeda, hal demikian justru bertolak belakang dengan kehendak konstitusi agar semua diperlakukan secara sama, termasuk partai politik dalam kaitan dengan kepesertaannya dalam pemilu.
Apabila ditelusuri secara saksama dan komprehensif dalil-dalil dan argumentasi hukum yang dikemukakan dalam permohonan a quo, untuk adanya perlakuan yang sama bagi semua partai politik calon peserta pemilu, selain verifikasi administratif, verfikasi faktual menjadi sebuah keniscayaan. Sebagaimana dalil-dalil Pemohon, verifikasi faktual diperlukan karena jikalau verifikasi faktual tidak dilakukan, KPU sebagai penyelenggara pemilu hanya mengandalkan kebenaran dan keakuratan dokumen yang diserahkan partai politik. Merujuk fakta empirik, misalnya dalam verifikasi 2019, masih terbuka kemungkinan perbedaan antara data administratif dengan hasil verifikasi faktual, baik soal keterpenuhan jumlah anggota maupun soal akurasi kepengurusan di setiap daerah. Selain itu, verifikasi faktual diperlukan karena adanya pemekaran dan pembentukan wilayah atau daerah baru. Dalam hal ini, kami sepakat dengan pandangan yang menyatakan bahwa verifikasi faktual merupakan jantung dari verifikasi partai politik peserta pemilu.
Bahwa apabila dibaca secara saksama substansi dan pesan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, sebagai salah satu infrastruktur politik yang diatur secara eksplisit dalam UUD 1945, meniadakan atau menghapus pembedaan perlakuan dalam verifikasi partai politik untuk menjadi peserta pemilu merupakan perwujudan pemenuhan dasar, yaitu “hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena, sebagian dari dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, yang intinya, menghendaki verifikasi, baik administratif maupun faktual harus diberlakukan sama terhadap semua partai politik yang akan menjadi peserta pemilu, memiliki tujuan yang nyaris sejalan dengan substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, serta dalil-dalil demikian memiliki kesamaan pandangan dengan posisi dissenting opinion kami dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, dan berpijak pada upaya pemenuhan hak dasar dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu “hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Oleh karena itu, kami tetap sama dengan pendirian sebelumnya, yaitu semua partai politik harus diverifikasi, baik secara administratif maupun faktual, untuk menjadi peserta pemilu. Dengan demikian, seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan a quo.
Baca juga:
PSI Persoalkan Pembedaan Verifikasi Parpol
PSI Perbaiki Permohonan Uji UU Pemilu
Sebagai informasi, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (20/6/2022), PSI mengujikan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.” Menurut PSI, Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Kuasa hukum PSI (Pemohon), Rian Ernest dalam persidangan secara daring menyebutkan, saat verifikasi partai politik (parpol) peserta pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan merujuk pada Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu. Norma tersebut mensyaratkan beberapa hal, di antaranya terpenuhinya kepengurusan parpol di tingkat provinsi hingga kecamatan, kantor tetap untuk kepengurusan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, hingga tahapan akhir pemilu, dan minimal keterwakilan perempuan 30% di kepengurusan pusat. Pada parpol parlemen, ketentuan ini hanya dilakukan pemeriksaan secara dokumen, sedangkan bagi parpol nonparlemen, dilakukan pemeriksaan dokumen yang dilanjutkan pula dengan verifikasi faktual. Dengan demikian, sambung Rian, telah terjadi pembedaan sekaligus diskriminasi terhadap parpol nonparlemen. Hal ini menurutnya tidak sejalan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
PSI menyebutkan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 menjadi dasar pemberlakuan verifikasi yang berbeda antara parpol parlemen dengan parpol nonparlemen. Verifikasi faktual membutuhkan biaya yang besar.
PSI meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 173 pasal (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Seluruh partai politik, yakni (i) partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan sudah lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019; (ii) partai politik yang telah lulus verifikasi pada Pemilu 2019 dan tidak lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019; dan (iii) partai politik baru wajib lulus verifikasi administrasi dan factual oleh Komisi Pemilihan Umum.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.