JAKARTA, HUMAS MKRI – Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menunda sidang ketiga uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Hal ini disampaikan oleh Anwar dalam sidang Perkara Nomor 68/PUU-XX/2022 yang digelar pada Selasa (30/8/2022) secara daring di Ruang Sidang Pleno MK. Semestinya, sidang tersebut diagendakan untuk mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. Akan tetapi, baik DPR maupun Presiden meminta penundaan dalam menanggapi permohonan diajukan oleh Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal Partai Garuda, Yohanna Murtika.
“Agenda hari ini mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. Berdasarkan surat yang dikirim, DPR berhalangan hadir karena ada agenda lain dan minta untuk dijadwalkan kembali. Kemudian dari Presiden juga meminta untuk ditunda,” ucap Anwar.
Atas permintaan penundaan tersebut, Anwar mengatakan sidang tersebut akan ditunda dengan waktu yang akan diberitahukan kemudian. “Penundaannya menunggu pemberitahuan dari Kepaniteraan,” tandas Anwar.
Baca juga:
Partai Garuda Uji Soal Menteri Maju Capres
Partai Garuda Sampaikan Perbaikan Uji UU Pemilu
Sebelumnya, dalam permohonannya, para Pemohon menguji Pasal 170 ayat (1) frasa “pejabat negara” UU Pemilu. Menurut para Pemohon, menteri adalah pejabat negara yang tidak dikecualikan untuk mengundurkan diri dalam jabatannya apabila dicalonkan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden oleh Pemohon atau gabungan partai politik. Menteri yang saat ini tengah menjabat dalam Kabinet Indonesia Maju, potensial mengalami kerugian konstitusional menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Berbeda halnya dengan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, walikota atau wakil walikota, apabila dicalonkan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden hanya memerlukan izin kepada Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 171 ayat (1) UU Pemilu.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan bahwa frasa “pejabat negara” dalam Pasal 170 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Pejabat Negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, Menteri dan pejabat setingkat menteri, dan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati Walikota dan Wakil Walikota”. Serta menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan “pejabat negara” dalam ketentuan ini adalah: a. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung b. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua badan peradilan kecuali Hakim ad hoc c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi d. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan e. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial f. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi g. Kepala Perwakilan Republik Indonesia diluar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkauasa penuh; dan h. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.” (*)
Penulis: Nano Tresna A.
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina