JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Forum Konstitusi (FK) dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara menggelar Diskusi Konstitusi Partai Politik menurut Sistem Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pada Selasa (30/8/2022) di Hotel Santika, Jakarta.
Dalam pembukaan, Sekjen MK M. Guntur Hamzah mengatakan, dalam UUD 1945 terdapat 6 (enam) kali penyebutan frasa “partai politik” yang tertuang di dalam empat ketentuan berbeda, yaitu Kesatu, pada Pasal 6A ayat (2) terkait dengan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik. Kedua, pada Pasal 8 ayat (3) terkait dengan pemilihan Presidan dan Wakil Presiden oleh MPR berdasarkan usulan partai politik atau gabungan partai politik jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketiga, pada Pasal 22E ayat (3) berkaitan dengan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD; serta Keempat, pada Pasal 24C ayat (1) yang berkaitan dengan pembubaran partai politik diputus oleh MK.
“Tujuan dan fungsi partai politik tentunya lebih luas dari apa yang disebutkan di dalam UUD NRI Tahun 1945. UU Partai Politik telah menentukan bahwa Partai Politik memiliki tujuan umum dan tujuan khusus,” ujar Guntur dalam kegiatan yang dihadiri oleh Anggota Forum Konstitusi, Ketua KPU periode 2004 – 2007 Ramlan Surbakti, Ahli Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar, anggota APHTN HAN, serta tamu undangan lainnya baik secara luring dan daring.
Guntur melanjutkan untuk tujuan umum, partai politik harus mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; partai politik juga harus turut menjaga dan memelihara keutuhan NKRI; dan partai politik ikut serta dalam mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; serta partai politik juga bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapun tujuan khusus Partai Politik, sambungnya, yaitu meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sementara itu, sambung Guntur, Partai Politik juga memiliki fungsi penting, antara lain, yaitu sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan.
Guntur menegaskan, tantangan yang dihadapi partai politik tentunya berpengaruh langsung terhadap pencapaian dan perwujudan dari tujuan dan fungsi dari partai politik itu sendiri. Untuk menyebut beberapa di antaranya, misalnya, masih terdapat problem rekrutmen dan kaderisasi Partai Politik. Kemudian, adanya faksi dan konflik internal Partai, hingga masalah pendanaan dan keterbukaan sumber pendanaan Partai Politik. Belum lagi misalnya, permasalahan pencalonan yang seringkali juga disebabkan karena unsur pertimbangan popularitas dibandingkan kapasitas dari calon yang bersangkutan.
Dikatakan Guntur, keberadaan partai politik mutlak diperlukan dalam konteks membangun Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional (Constitutional Democratic State). Partai politik merupakan ujung tombak dari proses-proses demokratisasi dan konsolidasi aspirasi politik dari warga negara. Partai politik yang sehat tentunya juga akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang kuat, amanah, dan juga merakyat.
Menurut Guntur, banyak permasalahan politik yang terjadi di masa sebelum reformasi konstitusi sulit diselesaikan hingga akhirnya dibentuk MK pada tahun 2003. Dua Minggu lalu, MK kehadiran seorang Professor Hukum dari Chicago Law School bernama Prof. Tom Ginsburg yang karyanya sering dikutip oleh para akademisi mancanegara, termasuk di Indonesia. Ginsburg juga memperkenalkan bahwa pembentukan MK sejatinya merupakan salah satu perwujudan dari “political insurance theory”. Artinya, para perumus perubahan UUD 1945 membentuk MK sebagai lembaga yang dapat memberikan garansi atau jaminan bahwa manakala terjadi konflik politik, maka akan terdapat lembaga yang dapat menyelesaikannya secara imparsial terlepas dari siapa pemerintahan yang sedang berkuasa pada saat itu.
Kewenangan MK Berkaitan Parpol
Dalam konteks ini, Guntur menjelaskan, kewenangan MK sangat berkaitan erat dengan partai politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kewenangan MK yang berkaitan langsung adalah penyelesaian sengketa hasil Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan Kepala Daerah serta pembubaran partai politik.
“Sesuai jaminan konstitusional hak berserikat dan berkumpul (freedom of assembly and association), berbeda dengan era sebelum reformasi, kini partai politik yang hendak dibubarkan oleh pemerintah kini memiliki ruang dan kesempatan untuk membela serta mempertahankan hak-haknya di hadapan MK,” terang Guntur.
Menurut Guntur, meskipun kewenangan MK memiliki kaitan erat dengan partai politik, baik itu didukung secara teori maupun praktik, namun ia menekankan untuk membangun dan memperkuat sistem agar MK tetap dapat terus bersikap independen, imparsial atau tidak memihak, serta profesional dalam memeriksa perkara-perkara yang berkaitan dengan permasalahan politik. Sebab, sambungnya, perkembangan dunia saat ini, MK kini juga diposisikan memiliki fungsi sebagai the arbitrator of political cases, yang tentunya sesuai dengan kewenangan yang diberikan di setiap negaranya masing-masing.
“Tentu tidak mudah untuk memuaskan seluruh pihak yang sedang berkonflik secara politik di MK. Namun setidaknya, proses yang ditempuh dapat memberikan rasa keadilan. Terkait hal ini, rasa keadilan yang dirasakan oleh para pencari keadilan di MK tentu tidak sekadar dari putusannya, namun juga dari proses dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkaranya. Karenanya, Lord Chief Justice Hewart pernah mengatakan, ‘Justice should not only be done but should manifestly and undoubtedly be seen to be done’. Keadilan tidak hanya harus dilakukan, tetapi harus secara nyata dan tidak diragukan lagi terlihat untuk dilakukan,” ungkap Guntur.
Peran Parpol
Sementara Pataniari Siahaan mewakili Forum Konstitusi menyebutkan partai politik harus dibebani kewajiban oleh negara yang diatur dalam UUD 1945 agar mampu memikul beban yang berat. Kewajiban negara tersebut berlandaskan asas perjuangan untuk kemajuan NKRI yang berdasarkan Pancasila yang cakupannya baik nasional maupun internasional. Selain itu, ia menyebut perlunya ada tata kelola partai yang demokratis. Artinya, tidak hanya lembaga negara tetapi partai politik juga harus mampu mengembangkan demokrasi.
“Partai Politik pun harus mengembangkan demokrasi internal di dalam dirinya sendiri agar menjadi instrumen konstitusi dalam rangka pengelolaan partai yang demokratis yang transparan dan akuntabel,” ucapnya.
Catatan tentang Parpol
Sedangkan Zainal Arifin Mochtar dalam paparannya memiliki empat catatan atas partai politik. Ia mengatakan, konsep publik memiliki turunan bahwa partai mempunyai keterkaitan langsung dengan publik, maka tanggung jawab kepada publik juga akan tinggi. “Sedangkan menjadi privat memberikan porsi yang terbatas atas relasi ke publik,” ucapnya.
Zainal juga menjelaskan, peran negara bisa lebih jamak, termasuk memaksakan demokratisasi internal partai politik meskipun pada saat yang sama sangat mungkin menjadi intervensi. “Peranan untuk membuat demokratisasi di internal partai itu bisa menjadi lebih tinggi proses terpilihnya ketua partai, proses musyawarah dan sebagian besar ada kacau dan berantakan,” ujarnya.
Selanjutnya, Zainal mengatakan, dalam mendorong kedewasaan internal partai politik dengan lebih mengurus dirinya dan menghindarkan dari hal yang tidak pas, semisal larangan politik dinasti yang diatur secara intenal. Mengenai pembiayaan partai, ia mengatakan, pembiayaan harus masuk dan menjadi porsi pembicaraan tersendiri. Sedangkan catatan keempat, ia menerangkan meningginya politik identitas dan meleburnya pembelahan nasionalis dan agamis. Menurutnya, pembelahan ini nyaris tidak memberikan sumbangsih apapun. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.