JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (29/8/2022). Permohonan perkara dengan registrasi Nomor 78/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Partai Buruh yang diwakili oleh Said Iqbal (Presiden Partai Buruh) dan Ferri Nuzarli (Sekretaris Jenderal Partai Buruh).
Said Salahudin selaku kuasa hukum Partai Buruh dalam persidangan secara daring memaparkan inti permohonan. Materi yang dimohonkan untuk diuji di MK yaitu Pasal 173 ayat (1), Pasal 177 huruf f, Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4) dan Pasal 161 ayat (2) UU Pemilu.
“Dalam permohonan ini terdapat dua isu utama yakni isu verifikasi calon parpol sebagai peserta pemilu dan pembentukan peraturan oleh lembaga pemilu, dalam hal ini KPU, Bawaslu dan DKPP,” jelas Salahudin kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Salahudin selanjutnya menerangkan dalil-dalil permohonan. Bermula dari Kewenangan Mahkamah, kemudian menguraikan kedudukan hukum Partai Buruh (Pemohon) sebagai badan hukum publik, kerugian konstitusional Pemohon dan sebagainya.
Terkait pokok permohonan, Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 177 huruf f UU Pemilu sepanjang frasa “penduduk pada setiap kabupaten/kota” serta Pasal Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), Pasal 161 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “wajib berkonsultasi dengan DPR”.
“Sebagai parpol calon peserta Pemilu 2024, Pemohon sudah tentu akan bersentuhan dengan norma-norma yang diuji dalam UU Pemilu tersebut. Oleh sebab itu Pemohon menyebutkan kerugian konstitusional, baik yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, adanya hubungan sebab akibat dan sebagainya,” urai Salahudin.
Dikatakan Salahudin, ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dalan UUD 1945. Konsekuensi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 terjadinya peralihan dari proses demokrasi inkonstitusional menjadi demokrasi konstitusional. Atas dasar itu kedaulatan rakyat tidak dapat dijalankan oleh subjektivitas institusi tertentu, melainkan dijalankan atas dasar Konstitusi.
Petitum
Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu sepanjang kata “verifikasi” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “verifikasi secara administrasi”. Kemudian meminta MK menyatakan Pasal 177 huruf f UU Pemilu sepanjang frasa “..Penduduk pada setiap kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “Penduduk yang beralamat di satu Kabupaten/Kota sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) atau Kartu Keluarga (KK) atau Penduduk yang berdomisili di satu Kabupaten/kota sesuai dengan surat keterangan kependudukan dari instansi yang berwenang di bidang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”.
Selain itu, meminta MK menyatakan Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “.. wajib berkonsultasi dengan DPR...” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya tidak bersifat mengikat”.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam nasihatnya mengingatkan bahwa Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu sudah tidak utuh lagi seperti yang ada di undang-undang. Sebab, Pasal 173 ayat (1) sudah diubah melalui putusan MK.
“Soal subtansinya, kami tidak akan mempermasalahkan, tapi karena Pasal 173 ayat (1) sudah berubah berdasarkan putusan MK. Yang Saudara persoalkan adalah bunyi baru dari hasil tafsir Mahkamah Konstitusi,” ucap Saldi yang juga meminta Pemohon mempertajam argumentasi terkait frasa “penduduk dalam kabupaten/kota” dan frasa “wajib konsultasi dengan DPR”.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menambahkan sejumlah nasihat. Di antaranya, terkait perihal permohonan yang menyebutkan pengujian materiil pasal-pasal yang diujikan Pemohon.
“Padahal Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu sudah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020 bertanggal 4 Mei 2021. Jadi kalau Saudara tetap menuliskan perihal permohonan seperti ini tanpa dimaknai oleh Mahkamah dalam putusannya, berarti Pasal 173 ayat (1) sudah tidak ada. Objeknya sudah hilang,” kata Arief.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mencermati sistematika permohonan. Menurut Manahan, sistematika permohonan sudah baik, mulai dari Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum, Posita, Petitum.
Kendati demikian, Manahan mencermati poin kedudukan hukum Pemohon sebagai badan hukum. “Di bagian kedudukan hukum, ada sub-sub yang saya baca, misalnya sub Pemohon sebagai badan hukum. Karena di Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 sudah tegas menyatakan pedoman menyusun permohonan pengujian undang-undang,” ujar Manahan.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa AM.