JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Senin (29/8/2022). Dalam sidang kesembilan Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022 yang dimohonkan Direktur PT Karya Jaya Satria Umar Husni (Pemohon) ini, MK mendengar keterangan dari Saksi yang dihadirkan oleh Kejaksaan Agung (Pihak Terkait). Tiga orang saksi dari Kejaksaan Agung, yakni Endeono Wahyudi, Ade Iva Kurniawan, dan Syarifah Nurdjuliana.
Ade Iva Kurniawan dalam kesaksiannya menjelaskan tentang proses penyidikan tindak pidana perpajakan melalui PT Karya Jaya Satria. Diawali dengan kunjungan kerja oleh KPP Pratama Purwokerto ke tempat usaha Pemohon yang dilaksanakan pada 27 Mei 2013 dalam rangka bimbingan pemenuhan kewajiban perpajakan. Hasilnya, dikirimkan Surat Himbauan kepada yang bersangkutan untuk melakukan penyetoran dan pelaporan PPh, namun tidak kunjung ada jawaban.
Singkatnya, perusahaan Pemohon dilakukan pemeriksaan pajak tahun 2012 guna menguji kepatuhan dan wajib pajak hanya memenuhi sebagian dari peminjaman buku, catatan, dan dokumen. Tim Pemeriksa pun menerbitkan Surat Peringatan 1 pada 15 Oktober 2014. Bahkan hingga Surat Peringatan II, wajib pajak belum melakukan pembayaran PPN masa pajak Januari – Desember 2012. Selain itu, Pemohon juga tidak mengungkapkan ketidakbenaran atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan 50% dari jumlah pajak yang kurang bayar.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan, ditemukan adanya indikasi tindak pidana bidang perpajakan yakni melaporkan SPT yang isinya tidak benar sehingga Tim Pemeriksa Pajak mengusulkan untuk dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Proses pemeriksaan kemudian cukup untuk dijadikan dasar sebagai dasar dilakukan penyidikan. Proses penyidikan dengan tersangka Umar Husni telah dinyatakan lengkap oleh jaksa peneliti pada Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Pada Januari 2020 telah pula dilakukan penyerahan tersangka beserta bukti kepada Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Purwokerto,” jelas Ade.
Baca juga:
Aturan Mengenai Surat Dakwaan dalam Uji KUHAP Digugat
Pemohon Uji KUHAP Mengenai Surat Dakwaan Perjelas Argumentasi Permohonan
Tahap Pra Peradilan
Berikutnya Endeono Wahyudi memberikan kesaksian terhadap proses penanganan perkara Pemohon pada tahap pra penuntutan. Bahwa surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) atas nama Umar Husni dari Penyidik Dirjen Pajak Kanwil D3P Jawa Tengah melalui Ditkrimsus Polda Jateng Nomor: B/SPDP/109/IX/20t7/Reskrimsus tanggal 5 September 2017 diterima oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah tanggal 11 September 2017. Kemudian diterbitkan diterbitkan surat perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara atas nama Umar Husni. Dalam penelitian berkas perkara atas nama tersangka tersebut dinyatakan belum lengkap sehingga terbit P-18 bertanggal 20 Agustus 2019.
“Hasil penelitian berkas perkara oleh Jaksa bahwa ia disangka melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf i, 3o Pasal 43 ayat (1) UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No.16 Tahun 2009 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP agar berkas untuk dilengkapi,” kata Endeono.
Baca juga:
Pemerintah: Penerapan Aturan Surat Dakwaan Merupakan Kewenangan Hakim
Kejagung Sebut Aturan Surat Dakwaan Menjaga Hak Terdakwa
Surat Tidak Lengkap
Kemudian, Syarifah Nurdjuliana selaku Saksi berikutnya menyampaikan kronologis penanganan perkara tindak pidana perpajakan atas nama Umar Husni. Bahwa pada 23 Desember 2021 telah dilaksanakan proses persidangan dengan agenda Pembacaan Pendapat Penuntut Umum, yang pada pokoknya menyatakan beberapa poin, di antaranya eksepsi kompetensi absolut Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang mengadili perkara dan eksepsi Surat Dakwaan Tidak Dapat Diterima Penasehat Hukum serta hal yang didakwakan pada Terdakwa (Pemohon) bukan merupakan Tindak Pidana. Bahwa Nota Keberatan (eksepsi) dari Penasihat Hukum Terdakwa (Pemohon) yang mengutarakan dalil-dalil ranah hukum administrasi hanya untuk melegitimasi perbuatan terdakwa (Pemohon).
Hal demikian, kata Syarifah, sangatlah berlebihan dan hanya ingin mengaburkan fakta, karena untuk menarik suatu kesimpulan dan memutuskan perkara tersebut belum seharusnya masuk ke ranah pidana melainkan masih ranah administrasi yang membutuhkan kajian-kajian mendalam disertai dengan bukti yang kuat dan sah. Sehingga untuk dapat mencapai hal tersebut haruslah sampai pada pemeriksaan materi pokok perkara dan tidak cukup hanya disampaikan dengan Nota Keberatan (Eksepsi) dari Penasehat Hukum terdakwa (Pemohon).
“Selain itu eksepsi Surat Dakwaan Batal Demi Hukum karena Tindak Pidana yang didakwakan tidak diuraikan secara cermat, lengkap, dan jelas karena belum dijalankannya arahan maupun pertimbangan dari Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto dan Pengadilan Tinggi Semarang,” kata Syarifah dalam Sidang Pleno MK yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Baca juga: Andi Hamzah : Dakwaan Batal Demi Hukum Jika Tak Memuat Waktu dan Tempat
Sebagai informasi, Pemohon menyatakan Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 143 ayat 3 (KUHAP) berbunyi, “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.” Berdasarkan dalil yang disebutkan di atas, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “harus dikembalikannya berkas perkara kepada penyidik dengan pembatasan perbaikan hanya 1 (satu) kali”.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana