JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (UU Kalsel) pada Kamis (25/8/2022). Adapun agenda sidang kelima atas tiga perkara, yakni Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022, Nomor 59/PUU-XX/2022, dan Nomor 60/PUU-XX/2022 ini adalah mendengarkan keterangan dari Ahli dan Saksi para Pemohon. Namun atas perkara yang dimohonkan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Banjarmasin (Pemohon I) dan sejumlah Pemohon perseorangan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kota Banjarmasin (Pemohon II, III, IV,V) serta Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina dan Ketua DPRD Kalimantan Selatan Harry Wijaya ini, Mahkamah menunda akibat keterlambatan keterangan tertulis para pihak yang diterima Majelis sebagaimana ketentuan hukum acara MK.
“Sedianya untuk mendengar keterangan Ahli dan Saksi dari Pemohon, tetapi karena satu dan lain hal sidang tidak bisa dilanjutkan. Bahwa keterangan tertulis Ahli diterima tidak sesuai dengan jadwal minimal yang telah diberitahukan Kepaniteraan MK. Maka, untuk mendengarkan keterangan dari Ahli dan Saksi sidang ini harus ditunda dan sebelum sidang ditutup, Majelis akan mengesahkan bukti dari Pihak Terkait. Untuk sidang selanjutnya atas tiga perkara ini akan diagendakan pada Selasa, 13 September 2022 pukul 11.00 WIB,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang diikuti oleh delapan hakim konstitusi lainnya dari Ruang Sidang Pleno MK.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Perpindahan Ibu Kota Kalimantan Selatan
Pemohon Uji Konstitusionalitas Perpindahan Ibu Kota Kalsel Perbaiki Kedudukan Hukum
Pemerintah Sebut Banjarbaru Dirancang sebagai Kota Penyangga Pembangunan IKN
Pada sidang terdahulu, para Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 menjabarkan telah dirugikan atas keberadaan UU Provinsi Kalsel karena dalam proses pembuatan norma tersebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat sehubungan dengan pemindahan ibu kota Kalimantan Selatan. Menurut para Pemohon, UU Provinsi Kalsel dinilai merugikan para pengusaha yang tergabung dalam Kadin Kota Banjarmasiin (Pemohon I) karena dengan rencana pemindahan ibu kota provinsi ke Kota Banjarbaru akan berdampak pada sektor ekonomi, terutama bagi penyedia akomodasi dan usaha kuliner serta sektor konstruksi dalam penyediaan pembangunan fisik yang akan mengurangi kemajuan infrastruktur pendukung di Kota Banjarmasin.
Sementara bagi Pemohon II, III, IV, dan V, menyatakan ketidakjelasan faktor mendasar dari pemindahan ibu kota provinsi ini dapat merugikan para Pemohon karena gejolak ekonomi akibat Covid-19, harga kebutuhan yang naik, dan alokasi APBD provinsi yang akan beralih untuk ibu kota baru sehingga kesejahteraan masyarakat tidak lagi menjadi hal yang prioritas. Menurut para Pemohon, pendanaan besar untuk pemindahan ibu kota tersebut dapat digunakan untuk pemulihan Covid-19, bantuan-bantuan untuk masyarakat, dan dana pendidikan.
Berikutnya dalam Perkara Nomor 59/PUU-XX/2022, para Pemohon dalam dalilnya menyatakan Pasal 4 UU Kalsel bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28D, Pasal 28F, Pasal 28H ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Secara historis para Pemohon melihat, Kota Banjarmasin memiliki peran penting dalam perkembangan Provinsi Kalimantan Selatan sejak masa 1500-an yang dijadikan pusat pemerintahan. Dengan mengubah kedudukan Kota Banjarmasin sama dengan melakukan pembelokan sejarah. Sehingga pasal Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak adanya keadilan dalam menghargai historis Banjarmasin sebagai daerah yang masih kental dengan hak-hak tradisional Banjarmasin yang masih berkembang hingga saat ini sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Selatan. Untuk itu para Pemohon memohon pada Mahkamah agar mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dan menyatakan UU Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarmasin dan pusat pemerintahan di Kota Banjarbaru”.
Sementara para Pemohon Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 menyatakan dalam proses pembentukan UU a quo tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara umum dan secara khusus DPR RI tidak ke Banjarmasin untuk datang langsung menampung aspirasi masyarakat. Selain itu, pembentukan UU Provinsi Kalsel juga tidak memperhatikan keserasian hubungan pemerintah pusat daerah. Hal ini terbukti dengan tidak adanya penetapan DPRD Provinsi Kalimantan Selatan dalam rapat paripurna untuk memutuskan ibu kota provinsi berpindah dari Banjarmasin ke Banjarbaru dan sebagai pemangku kepentingan pemerintah daerah Kota Banjarmasin pun tidak pernah dilibatkan, mulai dari tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi hukum dan menjadi rancangan yang diajukan dalam penetapan rancangan undang-undang.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Andhini S.F.