JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar kembali sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) pada Senin (22/08/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan perkara pengujian UU Perdagangan perkara Nomor 51/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Muhammad Hasan Basri yang merupakan pedagang lalapan/pecel lele. Sidang digelar di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin ketua MK Anwar Usman beserta delapan hakim konstitusi lainnya. Adapun agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Presiden.
Ditha Wiradiputra selaku Ahli Presiden dalam persidangan mengatakan dalam rangka mengendalikan penjualan minyak goreng di dalam negeri, Pemerintah sempat melakukan kebijakan melarang ekspor produk Crude Palm Oil (CPO) yang merupakan bahan baku produk minyak goreng agar membuat pelaku usaha mau memasok produknya ke pasar dalam negeri. Karena salah satu penyebab kelangkaan minyak goreng di dalam negeri pada beberapa waktu lalu disebabkan pelaku usaha minyak goreng lebih memilih untuk menjual produknya ke luar negeri dibandingkan menjual produknya di dalam negeri. Hal itu disebabkan karena harga pasaran minyak goreng di dunia sedang tinggi dibandingkan dengan harga di dalam negeri.
“Tingginya harga komoditas minyak goreng di pasaran dunia, mendorong pelaku usaha minyak goreng di dalam negeri menaikkan harga penjualan minyak goreng di dalam negeri yang kemudian menyebabkan terjadi kenaikan harga produk minyak goreng yang cukup tinggi,” ujar Wiradiputra yang juga merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Menurut Wiradiputra, tingginya harga minyak goreng di dalam negeri mengakibatkan keresahan di masyarakat karena sebagian besar masyarakat bergantung terhadap bahan baku minyak goreng dalam kegiatan konsumsi dan usahanya. Hal tersebutlah yang kemudian mendorong Pemerintah melakukan intervensi ke dalam pasar untuk mendorong harga minyak goreng menjadi turun, yaitu antara lain dengan memberlakukannya Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk penjualan minyak goreng. Namun berhubung HET yang ditentukan oleh Pemerintah tersebut terlalu rendah dan dapat merugikan pelaku usaha, maka kemudian membuat pelaku usaha minyak goreng menahan pasokan minyak goreng di pasaran dalam negeri.
“Akibat dari tindakan pelaku usaha minyak goreng yang menahan pasokannya ke pasar-pasar berakibat kepada terjadinya kelangkaan produk minyak goreng, yang hal itu merupakan suatu ironi di negara yang merupakan penghasil minyak goreng terbesar di dunia,” terang Ditha.
Penyimpanan dalam Jumlah dan Waktu Tertentu
Wiradiputra menegaskan, apabila keinginan Pemohon dikabulkan MK, justru hal itu dapat bertentangan dengan konstitusi yaitu Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Apabila pelaku usaha tidak diperbolehkan melakukan penyimpanan minyak goreng dalam jumlah tertentu dan waktu tertentu di tengah terjadinya kelangkaan dan gejolak harga maka hal tersebut dapat menyebabkan terganggunya kegiatan produksi dari pelaku usaha yang juga akan berakibat kepada terganggunya hidup dan kehidupan pelaku usaha serta pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan usaha pelaku usaha,” tegasnya secara daring.
Menurut Wiradiputra, penafsiran dari Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan pengecualian terhadap larangan menyimpan barang kebutuhan pokok dalam jumlah dan waktu tertentu meskipun dalam hal terjadi kelangkaan adalah kurang tepat. Kata “dalam jumlah dan waktu tertentu” bukanlah kata pengecualian dari pengaturan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan, tetapi merupakan penjelasan lebih lanjut untuk membuat ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan dapat berjalan secara efektif dan tidak bertentangan dengan norma hukum yang lain.
Tanggung Jawab Pemerintah
Wiradiputra juga menerangkan, Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam kegiatan perdagangan melalui kebijakan dan pengendalian. Pengaturan kegiatan perdagangan bertujuan di antaranya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan pekerjaan, kelancaran distribusi dan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting, serta perlindungan konsumen.
Dikatakan Wiradiputra, keinginan untuk melakukan perubahan terhadap bunyi Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang berbunyi “Pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang” menjadi “penyimpanan barang oleh pelaku usaha dilarang dalam hal terjadi kelangkaan barang, terjadi gejolak harga dan/atau tidak terdapat hambatan” dapat diartikan hal tersebut mengalihkan tanggung jawab dari Pemerintah dalam kegiatan perdagangan menjadi tanggung jawab atau beban bagi pelaku usaha.
Tidak ada ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang melarang penyimpanan minyak goreng sebagai kebutuhan pokok. Dalam Pasal 29 ayat (2) UU Perdagangan disebutkan, “Pelaku usaha dapat melakukan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan barang untuk didistribusikan.” Selanjutnya Pasal 29 ayat (3) UU Perdagangan berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting diatur berdasarkan Peraturan Presiden.
Pasal 29 ayat (2) UU Perdagangan merupakan pengaturan lebih lanjut dari Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang menegaskan bahwa sesungguhnya menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan barang untuk didistribusikan.
“Sehingga pembuat Undang-Undang No.7 Tahun 2014 membuat pengaturan mengenai Pasal 29 ayat (1) tersebut memang tidak bertujuan untuk melarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, karena yang dipermasalahkan oleh pembuat undang-undang adalah tindakan dari pelaku usaha yang melakukan kegiatan penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting,” ujarnya.
Larangan Penimbunan Barang
Wiradiputra selanjutnya mengungkapkan adanya pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan dalam pengaturannya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dengan adanya frasa “jumlah dan waktu tertentu”. Menurutnya, memang apabila membaca hanya Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan hal tersebut dapat terjadi, tetapi apabila membaca bagian penjelasan dari Pasal 29 ayat (1) serta membaca Pasal 29 ayat (2) dan (3) UU Perdagangan maka akan tergambar jelas bagaimana konstruksi hukum yang dikehendaki oleh pembuat Undang-Undang ketika membuat ketentuan tersebut.
“Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 memang jika dibaca tidak bertujuan untuk melarang tindakan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadinya kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, karena yang dilarang oleh ketentuan Pasal 29 ayat (1) adalah tindakan penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting. Pengaturan mengenai penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting bersifat teknis, karena kebutuhan pokok dan/atau barang penting bukan hanya untuk seperti komoditas minyak goreng saja tetapi barang kebutuhan pokok dan/atau penting lainnya,” imbunya.
Kekhawatiran Pemohon
Wiradiputra menegaskan, Pemohon seharusnya tidak perlu khawatir Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan menjadi dasar bagi pelaku usaha untuk melakukan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting pada saat terjadinya kelangkaan barang, gejolak harga, dan atau hambatan lalu lintas perdagangan. Karena ada ketentuan lain yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dapat melindungi Pemohon dari tindakan penyimpanan barang yang dilakukan oleh pelaku usaha, bahkan tidak hanya terhadap barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting saja, tetapi terhadap setiap barang atau bahkan jasa yang dapat diperdagangkan oleh pelaku usaha. Adanya kekhawatiran dari pengaturan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan dapat membuat pelaku usaha melakukan tindakan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadinya kelangkaan barang, gejolak harga, dan/ atau hambatan lalu lintas perdagangan barang kurang cukup beralasan.
Oleh karena itu, menurut Wiradiputra, ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. “Sehingga tidak perlu juga dilakukan perubahan terhadap bunyi dari Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan,” tandasnya.
Baca juga:
Minyak Goreng Langka, Pedagang Pecel Lele Uji UU Perdagangan
Pedagang Pecel Lele Perbaiki Permohonan Uji UU Perdagangan
Pemerintah Jelaskan Program Minyak Goreng Curah Rakyat
Keterangan Ahli Terlambat, MK Tunda Sidang Uji UU Perdagangan
Respons DPR Soal Kelangkaan Barang yang Dikeluhkan Pedagang Pecel Lele
Sebagai informasi, permohonan Nomor 51/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Perdagangan diajukan oleh Muhammad Hasan Basri yang merupakan pedagang lalapan/pecel lele. Pemohon mengujikan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang menyatakan, “Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.”
Dalam persidangan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (26/4/2022), Pemohon menyatakan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan merugikan hak konstitusional Pemohon karena adanya praktik distribusi dan penyimpanan minyak goreng sehingga terjadilah fenomena kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. “Berdasarkan norma tersebut meskipun norma itu mengandung larangan tetapi distributor tetap masih bisa menyimpan minyak goreng dalam jumlah dan waktu tertentu. Itulah yang sedang kami uji, Yang Mulia, terkait dengan inti normanya dalam jumlah dan waktu tertentu,” kata Ahmad Irawan selaku kuasa hukum Pemohon.
Lebih lanjut Irawan mengatakan, apabila minyak goreng tidak terdapat di pasaran maka Pemohon tidak dapat bekerja. Namun, Jika harganya tinggi hal tersebut akan berpengaruh kepada daya beli Pemohon dan harga jual beli barang dagangan yang diusahakan. Hal ini menghambat Pemohon dalam bekerja dan berdagang.
“Minyak goreng yang tidak tersedia atau minyak goreng yang mahal menurut batas penalaran yang wajar dapat membuat Pemohon tidak dapat bekerja. Jika Pemohon tidak dapat bekerja maka Pemohon dan keluarga tidak dapat hidup layak. Padahal Pemohon sebagai warga negara sesuai Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan,” tegas Irawan.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.