JAKARTA, HUMAS MKRI – Fungsi bukan hunian dapat pula berada dalam bangunan yang berbeda sepanjang bangunan dengan fungsi hunian dan bangunan dengan fungsi bukan hunian berada dalam satu tanah bersama. Latar belakang ini yang mendasari Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rusun menyatakan bahwa pengurus PPPSRS harus berdomisili atau bertempat tinggal dalam rusun.
Demikian disampaikan oleh Direktur Prasarana Strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Iwan Suprijanto dalam sidang lanjutan pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (9/8/2022) dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah.
“Fungsi hunian dan campuran atau campuran antara hunian dan bukan hunian menurut pemahaman pemerintah dapat berada dalam satu bangunan yang sama dimana pada lantai dasar difungsikan sebagai sarana bukan hunian. Maka terhadap hal ini pengurus PPPSRS bertempat tinggal di bangunan dengan fungsi hunian sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 94 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rusun tidak pada bangunan dengan fungsi bukan hunian,” ujar Iwan.
Iwan Suprijanto mengatakan, dalam konteks rusun dengan fungsi hunian dan campuran dimana dua fungsi tersebut dikandung maksud penyediaan hunian rusun dengan fungsi hunian akan lebih banyak mengingat pada setiap rusun dengan fungsi bukan hunian akan terdapat satuan rusun dengan fungsi hunian.
“Sehingga berdasarkan UU Rusun akan ada pengurus PPPSRS dan pengawas PPPSRS yang bertempat tinggal atau berdomisili dalam bangunan rusun dengan fungsi campuran sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rusun,”ujar Iwan secara daring.
Baca juga: Pemilik Kondotel Uji Ketiadaan Frasa “Bukan Hunian” dalam UU Rusun
Pengaturan Pengelolaan Rusun
Lebih lanjut Iwan menyebutkan, pada pengaturan pengelolaan rusun dengan fungsi hunian atau bukan hunian sebagaimana diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rusun atau UU Rusun yang lama, pengelolaan rusun hanya dilakukan oleh penghuni rusun dengan pertimbangan bahwa penghunilah yang sehari-sehari mengetahui kehidupan dan penghidupan dalam rusun berkepentingan dengan kondisi dan kualitas huniannya termasuk kehidupan bertetangga di rusun baik diantara satuan rusun dimiliki atau disewa maupun diantara bangunan-bangunan yang saling bertetangga.
UU Rusun lama, sambung Iwan, dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi pembangunan rusun dan hak kepemilikan satuan rusun dalam skala kawasan rusun di Tanah Abang dan Kebon Kacang yang tadinya merupakan salah satu pemukiman kumuh di Jakarta. Satuan-satuan rusun milik ditujukan bagi masyarakat yang menghuni rusun dan dapat dibeli sehingga diterbitkan alas hak berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) Rusun. Namun, kapasitas rusun yang dibangun ternyata melebihi jumlah penghuni pemukiman kumuh sehingga masih terdapat satuan-satuan rusun yang dapat dimiliki oleh masyarakat di luar pemukiman kumuh yang tidak ingin tinggal di pemukiman tersebut baik karena sudah memiliki rumah maupun tujuan disewakan kepada masyarakat yang tidak mampu membeli satuan rusun. “Pengelolaan rusun cukup dilakukan oleh penghuni tidak perlu oleh pemilik meskipun selalu besar kemungkinan saat ini pemilik juga merupakan penghuni satuan rusun,” tegas Iwan.
Selain itu, pemerintah menegaskan para pemohon tidak kehilangan hak memperoleh hak milik pribadi yang diatur dalam Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945. Selain itu, para pemohon dapat masuk dalam ranah pengaturan UU Rusun sepanjang fungsi bangun gedung yang dimiliki oleh para pemohon ditetapkan pemerintah daerah sebagai bangunan gedung campuran (dengan fungsi utamanya sebagai hunian dan fungsi tambahannya sebagai tempat usaha yang dicantumkan dalam bentuk persetujuan bangunan gedung sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 24 angka 2 dan angka 3 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 5 dan 6 UU Bangunan Gedung).
Baca juga: Pemilik Kondotel Perbaiki Permohonan Uji Materiil UU Rusun
Tunduk Pengaturan UU Rusun
Menurut Iwan, apabila para pemohon ingin membentuk PPPSRS pada kondotelnya, maka para pemohon harus siap menundukkan diri pada pengaturan UU Rusun dan pengaturan pelaksanaannya. “Berdasarkan UU Rusun, untuk membentuk PPPSRS harus terbentuk pengurusnya terlebih dahulu yang mana sebagai syarat sebagai pengurus PPPSRS atau pemilik satuan rusun yang bertempat tinggal pada unit rusunnya. Dalam permohonan ini maka harus ada pemilik satuan rusun yang bertempat tinggal di kondotel para pemohon untuk menjadi pengurus PPPSRS,” tegas Iwan.
Dengan demikian, Iwan melanjutkan, sesungguhnya SHM Sarusun dan perjanjian pengikatan jual beli yang dimiliki para pemohon tetap dapat digunakan sebagai tanda kepemilikan para pemohon atas unit kondotelnya sepanjang para pemohon mematuhi ketentuan terkait rusun.
Sehingga dalil para pemohon merupakan dalil yang tidak mendasar dan beralasan. Sesungguhnya para pemohon dapat menggunakan seluruh hak yang timbul dari kepemilikan SHM Sarusun selama para pemohon mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan rusun. Namun pada saat pemohon melakukan perbuatan perjanjian pengelolaan rusun menjadi unit kondotel dengan pihak lain yang kemudian secara factual tidak benar-benar ditinggali atau didiami maka jelas terjadi peralihan fungsi bangunan gedung yang semula rusun untuk hunian menjadi bangunan gedung dengan fungsi usaha (persoalan implementasi fungsi).
“Jadi jelas keberadaan PPPSRS tidak dibutuhkan dalam hal bangunan gedung berfungsi usaha, karena pemilik tidak mumpuni sehingga dalam hal pemohon mewakili kepentingan para pemilik melalui PPPSRS tersebut,” jelas Iwan.
Sebelumnya, Perkara Nomor 62/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh para pemilik kondominium dan hotel (kondotel), yakni Rini Wulandari sebagai Pemohon I, Hesti Br Ginting sebagai Pemohon II, Ir Budiman Widyatmoko sebagai Pemohon III dan Kristyawan Dwibhakti sebagai Pemohon IV. Para Pemohon mendalilkan Pasal 50 UU Rusun yang berbunyi, “Pemanfaatan rumah susun dilaksanakan sesuai dengan fungsi; a. Hunian; atau b. campuran” bertentangan dengan UUD 1945.
Para Pemohon merupakan para pemilik satuan unit rumah susun yang berbentuk satuan unit kondotel. Dengan adanya UU Rusun, kondotel tidak difungsikan sebagai hunian maupun campuran, sehingga para Pemohon tidak dapat membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) untuk mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan, kepemilikan dan penghunian. Hal tersebut berakibat ¨kebendaan yang di bawah kekuasaannya (satuan rumah susun yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama) tidak di bawah penguasaan para Pemohon, melainkan berada di bawah penguasaan developer. Selain itu, Pemohon mendalilkan kondotel yang tidak difungsikan sebagai hunian maupun campuran, berakibat pada satuan unit kondotel yang dimiliki para Pemohon tidak dapat diterbitkan bukti kepemilikan Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun). Sehingga, berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 50 UU Rusun bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk “Bukan Hunian”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.