JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemindahan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan telah terencana dan terstruktur sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku karena telah pula melalui rapat-rapat yang dilakukan oleh DPR hingga persetujuan Presiden. Oleh karenanya, Wali Kota Banjarbaru dalam tugasnya bersiap melaksanakan amanah undang-undang tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai sumpah dan janji jabatannya. Bahkan hal ini juga telah selaras dengan visi Kota Banjarbaru, yakni Banjarbaru sebagai kota yang maju, agamis, dan sejahtera.
Keterangan tersebut disampaikan oleh Hendra Fernadi selaku salah satu kuasa hukum dari Walikota Banjarbaru Aditya Mufti Arifin (Pihak Terkait) dalam sidang keempat dari pengujian Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (UU Kalsel) pada Rabu (3/8/2022). Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang untuk tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 dan Nomor 59/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Banjarmasin (Pemohon I) dan sejumlah Pemohon perseorangan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kota Banjarmasin (Pemohon II, III, IV,V) serta Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina dan Ketua DPRD Kalimantan Selatan Harry Wijaya.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Perpindahan Ibu Kota Kalimantan Selatan
Lebih lanjut Hendra menyebutkan secara yuridis, pembentukan UU Kalsel menjadi semangat pembaruan yang diharapkan dapat mempercepat pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga pembangunan di Provinsi Kalimantan Selatan dapat terpola secara menyeluruh.
“Oleh karenanya, Pihak Terkait menilai dalil hukum Pemohon tentang kerugian yang di alaminya hanya bersifat imajiner. Sebab, perkembangan setiap usaha daerah berkembang sesuai dengan kultur dan keadaan daerahnya. Maka dalil Pemohon tersebut tidak berhubungan langsung karena setiap daerah di Indonesia memiliki kebijakan berdasarkan otonomi daerahnya masing-masing,” kata Hendra.
Baca juga: Pemohon Uji Konstitusionalitas Perpindahan Ibu Kota Kalsel Perbaiki Kedudukan Hukum
Sinergi Antarwilayah
Berikutnya Hendra menjawab mengenai dalil kerugian jangka panjang yang dialami oleh Pemohon atas pemindahan ibu kota yang dikatakan mempengaruhi kebijakan dalam kesejahteraan masyarakat. Menurut Pihak Terkait, dalil tersebut tidaklah relevan karena program Pemerintah Pusat terutama terkait pembangunan infratruktur bersifat merata di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga Provinsi Kalimantan Selatanpun termasuk ke dalam wilayah yang akan mendapat hak yang sama untuk pengembangan infrasrukturnya. Selain itu, Pihak Terkait juga berpendapat setiap wilayah dalam satu provinsi yang terdiri atas kabupaten/kota diharuskan saling bersinergi guna kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya. Kemudian mengenai dalil para Pemohon bahwa pemindahan ibu kota provinsi berdampak pada sejarah dan hilangnya identitas masyarakat, Hendra menyampaikan keterangan jika pemindahan dilakukan hanyalah memindahkan administratif pemerintahan daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Sehingga tidak bermuatan menghilangkan sejarah dan identitas masyarakat Provinsi Kaliamntan Selatan.
Baca juga: Pemerintah Sebut Banjarbaru Dirancang sebagai Kota Penyangga Pembangunan IKN
Pada sidang terdahulu, para Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 menjabarkan telah dirugikan atas keberadaan UU Provinsi Kalsel karena dalam proses pembuatan norma tersebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat sehubungan dengan pemindahan ibu kota Kalimantan Selatan. Menurut para Pemohon, UU Provinsi Kalsel dinilai merugikan para pengusaha yang tergabung dalam Kadin Kota Banjarmasiin (Pemohon I) karena dengan rencana pemindahan ibu kota provinsi ke Kota Banjarbaru akan berdampak pada sektor ekonomi, terutama bagi penyedia akomodasi dan usaha kuliner serta sektor konstruksi dalam penyediaan pembangunan fisik yang akan mengurangi kemajuan infrastruktur pendukung di Kota Banjarmasin.
Sementara bagi Pemohon II, III, IV, dan V, menyatakan ketidakjelasan faktor mendasar dari pemindahan ibu kota provinsi ini dapat merugikan para Pemohon karena gejolak ekonomi akibat Covid-19, harga kebutuhan yang naik, dan alokasi APBD provinsi yang akan beralih untuk ibu kota baru sehingga kesejahteraan masyarakat tidak lagi menjadi hal yang prioritas. Menurut para Pemohon, pendanaan besar untuk pemindahan ibu kota tersebut dapat digunakan untuk pemulihan Covid-19, bantuan-bantuan untuk masyarakat, dan dana pendidikan.
Berikutnya dalam Perkara Nomor 59/PUU-XX/2022, para Pemohon dalam dalilnya menyatakan Pasal 4 UU Kalsel bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28D, Pasal 28F, Pasal 28H ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Secara historis para Pemohon melihat, Kota Banjarmasin memiliki peran penting dalam perkembangan Provinsi Kalimantan Selatan sejak masa 1500-an yang dijadikan pusat pemerintahan. Dengan mengubah kedudukan Kota Banjarmasin sama dengan melakukan pembelokan sejarah. Sehingga pasal Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak adanya keadilan dalam menghargai historis Banjarmasin sebagai daerah yang masih kental dengan hak-hak tradisional Banjarmasin yang masih berkembang hingga saat ini sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Selatan. Untuk itu para Pemohon memohon pada Mahkamah agar mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dan menyatakan UU Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarmasin dan pusat pemerintahan di Kota Banjarbaru”.
Sementara para Pemohon Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 menyatakan dalam proses pembentukan UU a quo tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara umum dan secara khusus DPR RI tidak ke Banjarmasin untuk datang langsung menampung aspirasi masyarakat. Selain itu, pembentukan UU Provinsi Kalsel juga tidak memperhatikan keserasian hubungan pemerintah pusat daerah. Hal ini terbukti dengan tidak adanya penetapan DPRD Provinsi Kalimantan Selatan dalam rapat paripurna untuk memutuskan ibu kota provinsi berpindah dari Banjarmasin ke Banjarbaru dan sebagai pemangku kepentingan pemerintah daerah Kota Banjarmasin pun tidak pernah dilibatkan, mulai dari tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi hukum dan menjadi rancangan yang diajukan dalam penetapan rancangan undang-undang.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Tiara Agustina