JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar kembali sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) pada Senin (01/08/2022). Permohonan perkara pengujian UU Perdagangan perkara Nomor 51/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Muhammad Hasan Basri yang merupakan pedagang lalapan/pecel lele. Sidang digelar di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin ketua MK Anwar Usman beserta enam hakim konstitusi lainnya. Adapun agenda sidang tersebut adalah mendengarkan keterangan DPR dan Ahli Pemohon.
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan dalam persidangan mengatakan sistem perdagangan pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar bebas menyebabkan harga produk pangan di dalam negeri terpengaruh situasi dan kondisi harga internasional. Kondisi tersebut dan berbagai masalah ketersediaan dan distribusi menyebabkan harga komoditas pangan, terutama pangan strategis seperti beras, kedelai, daging sapi, cabai, bawang merah menjadi berfluktuasi.
“Agar produksi pangan dapat berkelanjutan dan kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi, pemerintah harus melindungi masyarakat dan petani dari gejolak harga, seperti harga jagung pada saat panen raya, agak melambung pada saat di luar panen,” ujar Arteria secara daring.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan kebijakan stabilisasi harga pangan agar petani sebagai produsen mendapatkan hasil yang menguntungkan dan masyarakat sebagai konsumen mampu membeli bahan pangan dengan harga yang terjangkau. Selain itu, kebijakan stabilisasi harga pangan berperan dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahan ekonomi, ketahanan stabilitas politik nasional.
Lebih lanjut Arteria menegaskan, ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan merupakan upaya pencegahan pemuatan ekonomi oleh pelaku usaha, sehingga tidak membuka peluang pelaku usaha untuk berkontribusi dalam penetapan harga di pasar. Menetapkan jumlah barang pokok dalam pembayaran penting di pasar, melakukan diferensiasi harga, dan/atau menjual dengan harga yang sedemikian rendah pada kondisi krisis atau langka secara nasional, sehingga dapat mematikan bisnis pelaku usaha lainnya (predatory crisis).
Dikatakan Arteria, Pasal 29 ayat (3) UU Perdagangan telah mengamatkan ketentuan teknis diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden (Perpres). Berdasarkan amanat UU Perdagangan tersebut, saat ini telah terbit Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting yang telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020. Dengan Perpres Nomor 71, barang dan kebutuhan pokok didefinisikan sebagai barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan syarat penuh kebutuhan yang tinggi, serta menjadi faktor bagi kesejahteraan masyarakat. Sedangkan barang penting didefinisikan sebagai barang strategis yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional.
Berdasarkan pengaturan tersebut, terang Arteria, maka kejelasan atas parameter jumlah dan waktu tertentu dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan adalah jumlah di bawah batas kewajaran yang melebihi stok atau kesediaan berjalan untuk memenuhi pasar dan menunggu waktu paling lama tiga bulan berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal.
“Dengan demikian, ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perdagangan memberikan perlindungan kepada konsumen mengingat pelarangan ditujukan untuk mengantisipasi pelaku usaha melakukan pelanggaran atas penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting melebihi jumlah dan waktu tertentu yang ditetapkan. Parameter jumlah dan waktu tertentu tersebut ditetapkan untuk memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum terhadap pengusaha dalam melakukan usahanya,” tegas Arteria.
Selain itu, Arteria juga menjelaskan, lemahnya pengawasan dan penyimpanan pendistribusian barang menjadi permasalahan, baik mencegah adanya kecurangan pelaku usaha yang mengakibatkan pelanggaran dan kenaikan harga barang. Oleh karenanya, idealnya, Satgas Pangan Polri maupun aparat penegak hukum harus melakukan tindakan tegas terhadap pelaku pelanggaran hukum. Pelanggaran atas ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU Perdagangan.
Arteria menegaskan, pelanggaran penyimpanan bahan pangan pokok dan barang penting dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan tidak hanya mengatur perdagangan minyak goreng saja, tetapi komoditas perdagangan secara umum. Pelanggaran penyimpanan di atas batas jumlah dan waktu yang ditentukan tersebut dikuatkan dalam peraturan dalam peraturan perundang-undangan lain dan mengatur secara spesifik komunitas perdagangan.
Peluang Penimbunan
Sementara Zainal Arifin Mochtar selaku ahli pemohon mengatakan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan selama tidak terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan atau hambatan lalu lintas perdagangan maka pelaku usaha dapat melakukan penimbunan. Secara spesifik sebenarnya pasal itu lebih ditujukan ke arah pada saat terjadinya kelangkaan barang.
Jadi, menurut Zainal, selama tidak terjadi kelangkaan barang, orang boleh melakukan penimbunan, padahal klausula ayat (1) itu yang menyebabkan orang seakan-akan boleh melakukan penimbunan. Apalagi untuk barang-barang yang sangat dekat dengan hajat hidup orang banyak itu sangat berbahaya. Orang kemudian menganggap karena spesifik pasal 29 itu dilarang adalah penimbunan di masa tertentu itu yang kemudian membuat orang merasa tidak apa-apa melakukan penimbunan.
“Klausula itu yang mengakibatkan pedagang pecel lele tidak memperoleh apa-apa lagi karena ketika ia membeli memang dia boleh melakukan penimbunan juga dengan alasan produksi tetapi ia sudah mendapatkan dengan harga yang sangat mahal. Dan kalaupun dia ingin melakukan penimbunan otomatis harga yang didapatkan juga sudah cukup tinggi. Dan itu yang mengakibatkan beberapa pedagang pecel lele tidak bisa melakukan penjualan karena harga minyak cukup tinggi,” ungkap Zainal.
Menurut Zainal, Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan itu membuka kesempatan penimbunan bahkan penimbunannya dibatasi dalam keadaan dan jangka waktu tertentu tetapi efeknya lebih kepada pengusaha besar dan distributor. Hal Itu malah menekan pedagang pecel lele atau rantai pasok paling terakhir dalam proses distribusi barang.
“Dua ayat tersebut harus diimbuhi dengan aturan yang lebih detil. Bahwa memang dilarang melakukan penimbunan pada saat keadaan tertentu maka yang paling dijaminkan duluan adalah kestabilan harga bukan memberikan kesempatan untuk melakukan penimbunan. Sehingga orang yang berproduksi semacam penjual pecel lele pun sebenarnya bisa melakukan penimbunan dalam jangka waktu tertentu tetapi tentu saja dengan harga yang sudah lebih dijaga,” lanjut Zainal.
Zainal menilai frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” dikaitkan dengan frasa “dilarang menyimpan” sebagaimana dirumuskan dalam norma Pasal 29 UU Perdagangan dapat ditafsirkan bahwa yang diatur dalam norma tersebut lebih cenderung kepada tindakan atau perbuatan menyimpannya. Artinya, tindakan atau perbuatan menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting lainnya merupakan suatu tindakan atau perbuatan melawan hukum apabila hal itu dilakukan dalam kondisi tertentu, baik untuk kepentingan produksi maupun untuk distribusi, walaupun hal tersebut masih dalam batas wajar. Justru karena kondisi tertentu atau tidak normal tersebut, seharusnya kebutuhan pokok atau barang penting lainnya didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
“Rumusan norma tersebut hanya akan lebih menguntungkan kepentingan dan kebutuhan pelaku pasar besar dan distributor, pembacaan pasal yang saya dilakukan di awal. Selain itu, rumusan norma tersebut membuka celah terjadinya penyimpangan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan alasan untuk kepentingan produksi dan menjaga ketersediaan barang.
Baca juga:
Minyak Goreng Langka, Pedagang Pecel Lele Uji UU Perdagangan
Pedagang Pecel Lele Perbaiki Permohonan Uji UU Perdagangan
Pemerintah Jelaskan Program Minyak Goreng Curah Rakyat
Keterangan Ahli Terlambat, MK Tunda Sidang Uji UU Perdagangan
Sebagai informasi, permohonan Nomor 51/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Perdagangan diajukan oleh Muhammad Hasan Basri yang merupakan pedagang lalapan/pecel lele. Pemohon mengujikan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang menyatakan, “Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.”
Dalam persidangan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (26/4/2022), Pemohon menyatakan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan merugikan hak konstitusional Pemohon karena adanya praktik distribusi dan penyimpanan minyak goreng sehingga terjadilah fenomena kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. “Berdasarkan norma tersebut meskipun norma itu mengandung larangan tetapi distributor tetap masih bisa menyimpan minyak goreng dalam jumlah dan waktu tertentu. Itulah yang sedang kami uji, Yang Mulia, terkait dengan inti normanya dalam jumlah dan waktu tertentu,” kata Ahmad Irawan selaku kuasa hukum Pemohon.
Lebih lanjut Irawan mengatakan, apabila minyak goreng tidak terdapat di pasaran maka Pemohon tidak dapat bekerja. Namun, Jika harganya tinggi hal tersebut akan berpengaruh kepada daya beli Pemohon dan harga jual beli barang dagangan yang diusahakan. Hal ini menghambat Pemohon dalam bekerja dan berdagang.
“Minyak goreng yang tidak tersedia atau minyak goreng yang mahal menurut batas penalaran yang wajar dapat membuat Pemohon tidak dapat bekerja. Jika Pemohon tidak dapat bekerja maka Pemohon dan keluarga tidak dapat hidup layak. Padahal Pemohon sebagai warga negara sesuai Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan,” tegas Irawan.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.