JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) pada Kamis (21/7/2022) secara daring di Ruang Sidang Pleno MK. Agenda sidang Perkara Nomor 71/PUU-XX/2022 adalah pemeriksaan pendahuluan. Sidang dilaksanakan oleh panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Permohonan pengujian UU Adminduk ini diajukan oleh Emir Dhia Isad, Syukrian Rahmatul’ula, dan Rahmat Ramdani. Norma yang diajukan untuk diuji adalah Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk yang menyatakan, “Yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama”.
Para Pemohon sebagai sarjana hukum di bidang hukum keluarga yang belajar dan memahami UU Perkawinan tidak sepakat dengan adanya ketentuan Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk yang memperbolehkan suatu perkawinan tanpa didahului dengan ritual agama sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam persidangan, Emir Dhia Isad mengatakan para Pemohon melakukan pengujian UU Adminduk didasarkan pada perlindungan terhadap nilai-nilai agama di Indonesia, prinsip perkawinan, dan ketahanan keluarga.
“Penjelasan dari Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan jelas bertentangan dengan nilai-nilai filosofi konstitusional yang secara tersirat pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dan sila pertama Pancasila yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan juga dimaknai sebagai negara didasarkan pada nilai-nilai agama sebagai salah satu landasan konstitusional dalam mendirikan negara dan menyelenggarakan pemerintahan,” kata Emir yang hadir secara daring.
Menurut Emir, pasal tersebut mengandung makna negara berkewajiban untuk membuat segala bentuk peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan YME. UUD 1945 tidak memisahkan agama dengan negara dan kebebasan beragama dijamin oleh negara.
“Nilai-nilai agama merupakan sumber dari kebijakan-kebijakan negara. Maka segala kebijakan yang bertentangan dengan nilai agama bertentangan pula dengan konstitusi,” tegas Emir.
Lebih lanjut Emir mengatakan, dalam bagian “Pendapat Mahkamah” Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 disebutkan bahwasanya Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah domain forum internum yang merupakan konsekuensi penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Setiap propaganda yang semakin menjauhkan warga negara dari Pancasila tidak dapat diterima oleh warga negara yang baik.
Selain itu, sambungnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan “Prinsip negara hukum Indonesia harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945, yaitu negara hukum yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Masa Esa sebagai prinsip utama, serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara (separation of state and religion), serta tidak semata-mata berpegang pada prinsip individualisme maupun prinsip komunalisme”.
Berdasarkan filosofi sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka para Pemohon yakin bahwa kebutuhan untuk mendasarkan seluruh perundang-undangan dalam konsep dasar moral yang berlandaskan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebuah keniscayaan dalam tatanan Negara Republik Indonesia yang tidak dapat ditawar-tawar atas dasar apa pun. Oleh karena itu, tidak ada kebutuhan lain untuk mempertahankan Penjelasan Pasal a quo selain dari pada harus ditegaskannya kembali nilai-nilai agama sebagai salah satu pedoman hidup bermasyarakat yang tertuang dalam hukum positif negara.
“Berdasarkan alasan utama sebagai framework permohonan judicial review inilah, maka kemudian para Pemohon untuk bersama-sama membangun masyarakat, bangsa dan negaranya sebagaimana diberikan dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 untuk melakukan uji materiil atas Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Dengan adanya Penjelasan Pasal 35 huruf a UU 24/2013 menimbulkan pertentangan antara peraturan perundangan-undangan yang setingkat di mana dalam hal ini undang-undang yang pengaturannya lebih khusus terkait perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan,” tegasnya.
Sementara Syukrian selaku Pemohon II dalam persidangan daring menyatakan kata “keluarga” sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 tidak dapat semata-mata dimaknai sebagai bentuk hubungan lahiriah/biologis antara seorang ibu-bapak dan anak-anak, melainkan pula terkandung unsur-unsur psikologis, keagamaan, keamanan dan pendidikan yang terkandung dalam hubungan keluarga sebagai sebuah institusi konstitusional yang diakui oleh Negara karena ketahanan keluarga berpengaruh langsung terhadap Ketahanan Nasional (jika keluarga tidak kuat, maka bangsa dan negara berada dalam ancaman kehancuran yang bisa berujung pada perpecahan bangsa atau mudahnya negara dikuasai oleh pihak asing.
“Berdasarkan uraian di atas, perkawinan beda agama menimbulkan akibat hukum dikarenakan perkawinan berbeda agama tersebut tidak sah menurut masing-masing agama sehingga tidak sah juga menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Bahwa dengan adanya perkawinan yang tidak sah tersebut dapat membawa akibat terhadap status dan kedudukan anak. Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang a quo, bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Karena perkawinan kedua orang tuanya tidak sah menurut hukum agama atau hukum perkawinan maka anak yang dilahirkan dari perkawinan berbeda agama adalah anak tidak sah atau anak luar kawin,” urai Syukrian.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon dalam petitum meminta MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 35 UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyarankan para Pemohon untuk memisahkan dasar konstitusional untuk menjelaskan kerugian hak konstitusional. Mengapa pasal yang berlaku itu menurut para Pemohon dianggap merugikan hak konstitusional .
“Jadi harus dijelaskan kerugian atau potensi kerugian apa yang saudara alami, potensi alami. Jadi itu lebih kepada diri saudara sebagai pemohon. Tetapi kalau pasal yang dijadikan dasar pengujian yang anda sebut batu uji itu kadang-kadang bisa bersamaan dengan pasal-pasal yang ada di penjelasan kerugian hak konstitusional itu bisa juga berbeda. Tetapi secara mendasar yang membedakannya adalah mengapa pasal-pasal yang dijadikan alasan atau batu uji itu harus dibuktikan bahwa pasal yang saudara uji penjelasan dari undang-undang diuji itu bertentangan dengan pasal-pasal itu dalam konstitusi. Itu yang harus dijelaskan supaya nanti permohonan saudara tidak kabur. Kalau kabur kan sudah tau ada konsekuensinya,” kata Saldi.
Saldi mengatakan, jangan mencampur penjelasan kerugian hak konstitusional dengan menjelaskan alasan-alasan pertentangan norma yang diuji dengan konstitusi. Saldi juga meminta para Pemohon untuk mempelajari permohonan-permohonan sebelumnya.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan para Pemohon untuk mempelajari hukum acara MK. Kemudian, Enny juga meminta para pemohon untuk menguraikan kerugian hak konstitusional yang dirugikan.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.