JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya uji materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Rabu (20/7/2022). Permohonan tersebut diajukan sebanyak 29 orang pencipta konten (content creator), di antaranya Eriko Fahri Ginting, Leon Maulana Mirza Pasha, Aryadi Kristanto Simanjuntak, dan Faransiska Naomi Sitanggang. “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan Amar Putusan Nomor 36/PUU-XX/2022 tersebut.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang membacakan pertimbangan hukum bahwa para Pemohon pada intinya memohonkan akan adanya ketidakjelasan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga tidak memberikan perlindungan hukum atas hak kebebasan menyatakan pendapat. Selain itu, dalam penegakan norma tersebut dinilai tidak pula sejalan dengan Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008. Akhirnya para Pemohon dalam petitum yang bersifat alternatif meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah, lanjut Wahiduddin, berpegang pada Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008. MK menegaskan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan penegasan atas norma hukum pidana penghinaan yang terdapat dalam KUHP ke dalam norma hukum baru sesuai dengan perkembangan di dunia siber. Sebab, dalam KUHP belum mampu menjangkau delik penghinaan dan pencemaran yang dilakukan secara online karena adanya unsur “di muka umum“. Oleh karena itu, sambung Wahiduddin, penerapan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dilepaskan dari norma penghinaan dalam KUHP yang ada pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Berkaitan dengan hal ini pun telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 yang intinya menyebut Pasal 27 ayat (3) UU ITE memperlihatkan ketidakjelasan ukuran dan makna serta tumpang tindih, yang berarti mengandung ketidakpastian hukum tersebut tidak tepat menurut hukum.
Baca juga: Sejumlah Pencipta Konten Persoalkan Unsur Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE
SKB 3 Menteri
Terlepas dari kekhawatiran para Pemohon atas penerapan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pemerintah telah menindaklanjuti Putusan MK tersebut dengan menerbitkan Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Keputusan Bersama tersebut, jelas Wahiduddin, telah pula dirumuskan pedoman untuk pelaksanaan pasal-pasal tertentu dari UU ITE, di antaranya Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36 UU ITE.
“Tanpa bermaksud menilai legalitas dari Keputusan Bersama tersebut, maka Keputusan Bersama dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pasal-pasal tertentu UU ITE tidak lagi menimbulkan multitafsir dan kontroversi di masyarakat. Oleh karenanya disusun pedoman implementasi bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya,” papar Wahiduddin.
Wahiduddin melanjutkan dengan adanya pedoman tersebut, maka aparat penegak hukum telah mendapatkan panduan agar dalam mengimplementasikan ketentuan norma pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut tidak bersifat represif namun secara hati-hati. Dengan demikian implementasinya dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana telah ditentukan dalam Keputusan Bersama, khususnya dalam memberikan pedoman implementasi Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada perkara ini.
“Oleh karena itu, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma, maka terhadap permohonan para Pemohon yang memohon agar pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dinyatakan dalam amar putusan adalah tidak beralasan menurut hukum. Sementara itu, berkenaan dengan petitum para Pemohon yang memohon agar segera merevisi UU ITE bukan merupakan kewenangan Mahkamah, tetapi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang,” tandas Wahiduddin terhadap para Pemohon yang menilai Pasal 27 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3) serta Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Baca juga: Sejumlah Pencipta Konten Perkuat Kedudukan Hukum dalam Uji UU ITE
Pada sidang terdahulu, para Pemohon sebagai pencipta konten yang aktif mengemukakan pendapat dalam webinar dan publikasi di bidang hukum, para Pemohon merasa terancam untuk menyatakan pikiran dan sikap yang sesuai dengan hati nurani. Mengenai unsur pencemaran nama baik, para Pemohon berpendapat hal demikian telah diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yang pada intinya menyatakan unsur penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut hanya diucapkan secara lisan. Namun jika dilakukan dengan cara menyiarkan, menunjukkan, dan/atau menempelkan, maka rujukannya ada pada Pasal 310 ayat (2) KUHP. Sehingga, apabila pencemaran nama baik dilakukan di media sosial, para Pemohon menilai baik UU ITE maupun KUHP tidak memiliki definisi, karakteristik, atau parameter yang jelas atas hal tersebut.
Kemudian, para Pemohon juga mencermati adanya muatan pasal karet pada UU ITE tersebut dengan adanya frasa “tanpa hak”, “mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan “membuat dapat diaksesnya”. Hal ini dinilai menimbulkan multitafsir yang berpotensi melanggar hak kebebasan berpendapat para Pemohon. Untuk itu, dalam petitum para Pemohon menyatakan Pasal 27 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3) serta Pasal 28 ayat (2) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita