JAKARTA, HUMAS MKRI – Perpindahan ibu kota Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (UU Kalsel) merupakan bagian dari rancangan agar Banjarbaru sebagai kota penyangga rencana pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Demikian keterangan yang disampaikan Tumpak Haposan Simanjuntak selaku Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik yang dihadirkan Pemerintah dalam sidang ketiga uji UU Kalsel pada Selasa (19/7/2022).
“Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 bertujuan untuk percepatan pemerataan pembangunan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan, guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat Provinsi Kalimantan Selatan secara adil dan merata, serta Provinsi Kalimantan Selatan merupakan penyangga rencana pembangunan ibu kota negara yang baru, sehingga secara tidak langsung akan membantu percepatan ibu kota negara baru apabila daerah penyangga telah stabil pemisahannya,” papar Tumpak dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Lebih lanjut Tumpak menyebutkan, berdasarkan RPJP Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2005‑2025, melalui Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 17 Tahun 2009 tentang RPJP Provinsi Kalimantan Selatan 2005‑2025 ditetapkan visi dan misi Provinsi Kalimantan Selatan maju dan sejahtera sebagai wilayah perdagangan dan jasa berbasis pabrik industri. Sebagai salah satu bentuk perwujudannya, pemerintah daerah mengatur tahapan persiapan pemindahan Ibu Kota Provinsi (IKP) Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru dalam dokumen RPJP 2005‑2025 tersebut.
“Sehingga dapat dikatakan Pasal 4 UU Kalsel yang didalilkan para Pemohon tidak bertentangan dengan Pasal 18A UUD 1945 dan Ayat (2). Sebab, ketentuan tersebut dibuat untuk melakukan penataan latar hukum sesuai dengan kondisi dan perkembangan ketatanegaraan Indonesia agar sesuai dengan UUD 1945 serta menyesuaikan konsep otonomi daerah berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945,” jelas Tumpak terhadap permohonan Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 dan Nomor 59/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Banjarmasin (Pemohon I) dan sejumlah Pemohon perseorangan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kota Banjarmasin (Pemohon II, III, IV,V) serta Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina dan Ketua DPRD Kalimantan Selatan Harry Wijaya.
Menanggapi keterangan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta agar Pemerintah juga menyertakan RPJP Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2005‑2025 sebagai alat bukti. Ia menyebut Pemerintah belum menyertakannya sebagai alat bukti.
“Pemerintah sudah menyampaikan keterangan di sini. Tetapi, memang tidak ditunjukkan bukti‑buktinya juga di situ, ya? Jadi, nanti tolong disebutkan bukti‑buktinya. Salah satu bukti yang nanti tolong dilengkapi adalah Perda tentang RPJP daerah yang 2005‑2025 tadi yang mengatakan, ‘Sudah ada kajian sejak lama itu terkait dengan perpindahan ibukota tersebut’,” ujar Enny.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Perpindahan Ibu Kota Kalimantan Selatan
Kota Administratif Terlama
Sementara itu terkait dengan status Kota Banjarbaru, Tumpak menyebutkan Banjarbaru telah memperoleh status kota setelah menjadi kota administratif terlama di Indonesia yakni selama 23 tahun. Dalam rekaman sejarah serta pengembangan dan perjuangan, status Banjarbaru bukan sekadar menjadi kotamadya atau ibu kota Kalimantan Selatan, tetapi juga sebagai Ibu Kota Kalimantan sebagaimana kondisi objektif pada 1950-an, ketika Kalimantan belum terbagi menjadi empat provinsi.
“Kota Banjarbaru dibentuk pada 19 April 1999, berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Banjarbaru. Kemudian sejak 14 Agustus 2011, sebagian aktivitas pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan berpindah ke Kota Banjarbaru. Dengan demikian, tidak relevan apabila Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 yang menentukan Kota Banjarbaru menjadi Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan oleh Para Pemohon dipertentangkan dengan Ketentuan Pasal 1 UUD 1945,” sebut Tumpak.
Kajian Kelayakan
Selanjutnya sehubungan dengan rencana pemindahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan sebenarnya telah dimulai sejak masa Gubernur Murdjani Periode 1950- 1953. Pada saat itu wilayah Banjarmasin yang berawa dan bernyamuk banyak kemudian memunculkan gagasan untuk memindahkan ibu kota ke tempat yang ideal. Sebagai ahli kesehatan masyarakat, Gubernur Murdjani berkesimpulan Banjarmasin kurang ideal sebagai pusat pemerintahan. Sebab, tanah yang berawa-rawa mengakibatkan air menggenang sepanjang musim yang memungkinkan timbulnya berbagai penyakit. Untuk merealisasikan gagasan tersebut, sambung Tumpak, mulai dicari tempat yang ideal. Gubernur Murdjani melakukan survei ke daerah-daerah di luar Kota Banjarmasin. Berbagai lokasi dikunjungi dan diamati sehingga akhirnya ditemukan daerah bertanah padat yang berlokasi di Kota Banjarbaru sekarang.
Melalui sidang staf dan pimpinan, lanjut Tumpak, dibentuk tim kajian kelayakan yang dipimpin D.A.W. Van der Peijl yang kemudian melakukan kajian awal. Dalam perancangannya, planologi Banjarbaru digarap dengan para pakar dari Institut Teknologi Bandung. Kemudian Gubernur Murdjani secara resmi melalui surat bertangga 9 Juli 1954, mengusulkan kepada Mendagri untuk menyetujui pemindahan ibu kota ini.
“Dengan demikian, secara formil nama Banjarbaru “telah resmi” dan “baku” serta masyarakat tidak mempersoalkannya dan digunakan pula untuk alamat yang ditulis dalam surat-menyurat. Kemudian DPRD Tingkat I Kalimantan Selatan, melalui resolusi 10 Desember 1958 Nomor 26a/DPRD-58, mendesak pada Pemerintah Pusat dalam waktu singkat untuk segera menetapkan Kota Banjarbaru sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan,” terang Tumpak.
Baca juga: Pemohon Uji Konstitusionalitas Perpindahan Ibu Kota Kalsel Perbaiki Kedudukan Hukum
Libatkan Masyarakat
Sementara itu, pada kesempatan yang sama Arteria Dahlan mewakili Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membantah dalil Pemohon bahwa penyusunan rancangan UU Provinsi Kalsel tidak melibatkan masyarakat. Ia menjelaskan bahwa pembentuk undang-undang telah melibatkan partisipasi publik sesuai dengan pembentukan peraturan perundang-undangan.
“RUU Provinsi Kalimantan Selatan dengan melibatkan Pemprov Kalsel, DPR Kalsel, LSM, di Banjarmasin. Berdasarkan uraian tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 2022 telah memenuhi asas keterbukaan sesuai konstitusional sesuai dengan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan Peraturan DPR Pembentukan Undang-Undang,” ujar Arteria.
Terkait keterangan DPR mengenai aspirasi masyarakat, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta agar DPR menyertakan alat bukti mengenai telah menampung aspirasi masyarakat. Hal ini agar Majelis Hakim melihat tindakan yang telah dilakukan DPR.
“Di dalam keterangannya, DPR itu sudah diuraikan upaya‑upaya yang dilakukan oleh DPR untuk menyerap aspirasi masyarakat di Kalimantan Selatan. Nah, tolong yang disampaikan Pak Arteria tadi, itu bukti-buktinya disampaikan ke Mahkamah segera. Supaya kami bisa melihat tindakan atau upaya‑upaya yang dilakukan yang tadi dijelaskan sebagai bagian dari menjemput aspirasi atau penyerapan aspirasi yang dilakukan oleh DPR kepada masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu di Kalimantan Selatan?” ujar Saldi.
Tak Miliki Kedudukan Hukum
Selain itu, dalam keterangannya, Arteria menanggapi terkait kedudukan hukum Pemohon. Menurutnya, pemindahan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan, hal tersebut tidak menyebabkan para Pemohon terhalang dalam melaksanakan profesinya, baik sebagai suatu badan hukum privat, karyawan swasta, pedagang, buruh harian lepas. Apabila tidak merasa dilibatkan dalam pembentukan undang-undang ini, sambung Arteria, maka perlu dipahami bahwa dalam pembentukan suatu undang-undang melibatkan sekelompok orang yang memiliki kepentingan atas substansi dari RUU yang relevan. Selain itu, DPR mendapati bahwa dalam permohonan para Pemohon tidak menjelaskan kepentingan dan pertautan langsung dalam pembuatan undang-undang.
“Sebab, pembentuk undang-undang telah mengakomodir partisipasi publik dengan melakukan berbagai rangkaian kegiatan, mencari masukan dalam pembentukan undang-undang a quo melalui pertemuan, rapat-rapat dengan berbagai unsur masyarakat, akademisi dan lainnya, mulai dari proses perencanaan, penyusunan sampai dengan pembahasan,” sebut Arteria yang mengikuti persidangan secara daring dari Gedung DPR RI, Jakarta.
Pada sidang terdahulu, para Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 menjabarkan telah dirugikan atas keberadaan UU Provinsi Kalsel karena dalam proses pembuatan norma tersebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat sehubungan dengan pemindahan ibu kota Kalimantan Selatan. Menurut para Pemohon, UU Provinsi Kalsel dinilai merugikan para pengusaha yang tergabung dalam Kadin Kota Banjarmasiin (Pemohon I) karena dengan rencana pemindahan ibu kota provinsi ke Kota Banjarbaru akan berdampak pada sektor ekonomi, terutama bagi penyedia akomodasi dan usaha kuliner serta sektor konstruksi dalam penyediaan pembangunan fisik yang akan mengurangi kemajuan infrastruktur pendukung di Kota Banjarmasin.
Sementara bagi Pemohon II, III, IV, dan V, menyatakan ketidakjelasan faktor mendasar dari pemindahan ibu kota provinsi ini dapat merugikan para Pemohon karena gejolak ekonomi akibat Covid-19, harga kebutuhan yang naik, dan alokasi APBD provinsi yang akan beralih untuk ibu kota baru sehingga kesejahteraan masyarakat tidak lagi menjadi hal yang prioritas. Menurut para Pemohon, pendanaan besar untuk pemindahan ibu kota tersebut dapat digunakan untuk pemulihan Covid-19, bantuan-bantuan untuk masyarakat, dan dana pendidikan.
Berikutnya dalam Perkara Nomor 59/PUU-XX/2022, para Pemohon dalam dalilnya menyatakan Pasal 4 UU Kalsel bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28D, Pasal 28F, Pasal 28H ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Secara historis para Pemohon melihat, Kota Banjarmasin memiliki peran penting dalam perkembangan Provinsi Kalimantan Selatan sejak masa 1500-an yang dijadikan pusat pemerintahan. Dengan mengubah kedudukan Kota Banjarmasin sama dengan melakukan pembelokan sejarah. Sehingga pasal Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak adanya keadilan dalam menghargai historis Banjarmasin sebagai daerah yang masih kental dengan hak-hak tradisional Banjarmasin yang masih berkembang hingga saat ini sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Selatan.untuk itu para Pemohon memohon pada Mahkamah agar mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dan menyatakan UU Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarmasin dan pusat pemerintahan di Kota Banjarbaru”.
Sementara para Pemohon Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 menyatakan dalam proses pembentukan UU a quo tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara umum dan secara khusus DPR RI tidak ke Banjarmasin untuk datang langsung menampung aspirasi masyarakat. Selain itu, pembentukan UU Provinsi Kalsel juga tidak memperhatikan keserasian hubungan pemerintah pusat daerah. Hal ini terbukti dengan tidak adanya penetapan DPRD Provinsi Kalimantan Selatan dalam rapat paripurna untuk memutuskan ibu kota provinsi berpindah dari Banjarmasin ke Banjarbaru dan sebagai pemangku kepentingan pemerintah daerah Kota Banjarmasin pun tidak pernah dilibatkan, mulai dari tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi hukum dan menjadi rancangan yang diajukan dalam penetapan rancangan undang-undang.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Tiara Agustina