JAKARTA, HUMAS MKRI – Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) diuji secara formil dan materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (14/7/2022). Partai Buruh yang diwakili oleh Presiden Partai Buruh Said Iqbal dan Sekretaris Jenderal Partai Buruh Ferri Nurzali tercatat sebagai Pemohon dalam Perkara Nomor 69/PUU-XX/2022 tersebut. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 64 ayat (1b); Pasal 72 ayat (1a), ayat (1b), ayat (2), serta Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam sidang tersebut, Said Iqbal menyebut pengesahan UU P3 diinisiasi dapat ‘menghidupkan kembali’ Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang telah diputus cacat formil oleh MK. Oleh karena itu, ungkap Said Iqbal, Partai Buruh berkepentingan dan merupakan bagian dari Pemohon-Pemohon terdahulu terhadap uji formil maupun uji materiil Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu KSPI sendiri, KSPSI, FSPMI, KSBSI, KPBI, dan lain-lain.
“Undang‑Undang P3 dalam pandangan kami adalah pintu masuk untuk membahas kembali Undang‑Undang Cipta Kerja yang secara keputusan Mahkamah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan cacat formil. Oleh karena itu, kami berkepentingan untuk memastikan Undang‑Undang P3 yang akan dijadikan pintu masuk untuk membahas kembali Undang‑Undang Cipta Kerja tersebut agar diputuskan oleh Yang Mulia Hakim Mahkamah secara formil maupun materiil dinyatakan tidak berlaku atau tidak sah,” kata Said Iqbal.
Sementara itu, kuasa hukum para Pemohon, Said Salahudin mengatakan bahwa pada pokoknya untuk pengujian formil dalam permohonan para Pemohon telah tegas menyatakan bahwa objectum litis dalam permohonan Pemohon adalah pengujian formil UU P3 terhadap UUD 1945. Pada pokoknya, permohonan diajukan oleh Pemohon masih dalam tenggat waktu 45 hari untuk pengujian formil, UU P3 diundangkan pada tanggal 16 Juni 2022 dan diajukan Pemohon kepada Mahkamah pada 27 Juni 2022 atau artinya masih 12 hari dari 45 hari tenggat waktu. Berdasarkan uraian di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo.
Sedangkan dalam pengujian materiil, kata Said Salahudin, ada tambahan satu norma yaitu Pasal 2 ayat (4) PMK. Pada pokoknya Pemohon tegas menyatakan bahwa objectum litis permohonan Pemohon adalah pengujian materiil Pasal 64 ayat (1b), Pasal 72 ayat (1a), ayat (1b), dan ayat (2), serta Pasal 73 ayat (1), ayat (2) UU P3 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 64 ayat (1b); Pasal 72 ayat (1a), ayat (1b), ayat (2), serta Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Ketua Panel Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukum dengan permohonan Pemohon terkait uji UU Ciptaker yang lalu. Menurut Daniel, kedudukan Pemohon berbeda dengan permohonan sebelumnya.
“Permohonan ini yang diajukan dari Partai Buruh yang diwakili oleh Saudara Said Iqbal sebagai Ketua Umum dan Saudara Ferri Nurzali sebagai Sekretaris Jenderal. Ini adalah sebuah entitas badan hukum yang berbeda, sekalipun misalnya pada waktu pengujian Undang‑Undang Cipta Kerja itu Pak Iqbal dan teman‑teman juga mengajukan, tetapi itu entitas badan hukum yang berbeda. Jadi, ini tidak bisa disamakan karena sudah pernah diajukan pengujian formil dalam Undang‑Undang Cipta Kerja, belum tentu Pemohon itu dengan serta merta akan memiliki legal standing pada pengujian undang‑undang yang lain,” ucap Daniel.
Sedangkan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menasehati para Pemohon terkait alasan pengujian formil dan materiil secara keseluruhan. “Pembahasan dan uraian dari permohonan ini terlihat di satu sisi ada yang bisa disatukan, tapi memang dalam banyak hal dipilah, sehingga terlihat apa yang jadi alasan permohonan pengujian formil dan juga alasan pengujian materiil. Kecuali dalam menjelaskan kedudukan hukum disatukan. Tapi ketika kemudian di petitum, itu juga dipisahkan,” kata Wahiduddin.
Kemudian untuk kedudukan para Pemohon, Wahiduddin menyarankan agar permohonan diuraikan lagi lima syarat kerugian konstitusional yang telah menjadi yurisprudensi Mahkamah Konstitusi. “Diuraikan adanya hak konstitusional Para Pemohon yang diberikan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, termasuk kerugian konstitusionalnya, hubungan sebab akibat kerugian itu,” jelasnya.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan kembali soal permohonan formil para Pemohon. “Oleh karena itu, silakan nanti dipertimbangkan kalau memang ingin menguji formilnya. Silakan dikonsentrasikan, mungkin di formilnya seperti itu. Karena pasti materiilnya juga tidak akan kemudian dilakukan pemeriksaan bersamaan, begitu. Kenapa? Karena ini untuk mengejar waktu penyelesaian terkait dengan uji formil apakah betul di situ ada persoalan terkait dengan proses pembentukan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tersebut, demi kepastian hukum. Jadi harus didahulukan uji formilnya,” tegas Enny.
Panel Hakim memberikan waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Pemohon diberikan waktu hingga 27 Juli 2022 untuk menyerahkan perbaikan permohonan kepada Kepaniteraan MK.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim