CISARUA, HUMAS MKRI – Hari kedua kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (PPHKWN) Bagi Forum Masyarakat Pemantau Untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (Formasi Disabilitas) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) melalui melalui Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (Pusdik MK) pada Rabu (13/7/2022). Sejumlah narasumber hadir menyampaikan materi pada hari ini yakni Ketua MK periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie, Hakim Konstitusi 2008-2018 Maria Farida Indrati, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Dalam Negeri MK Fajar Laksono, dan Direktur LBH Disabilitas, Hari Kurniawan.
Jimly yang saat ini juga menjabat senator DPD RI menyajikan materi “Konstitusi dan Hak Penyandang Disabilitas”. Dalam paparannya, Jimly menyebut Pasal 27 UUD 1945 berkenaan dengan status dan hak warga negara. Sedangkan Pasal 28 UUD 1945 banyak sekali memberikan jaminan terhadap hak asasi manusia (HAM).
“Materi paling banyak dalam UUD 1945 adalah pasal-pasal mengenai hak asasi manusia. Misalnya, ada pasal yang menyebutkan setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya. Jadi, setiap orang, bukan setiap warga negara. Tidak membedakan kelamin, agama, suku bangsa, negara, dan lainnya, pada dasarnya dia berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya,” ucap Jimly.
Difabilitas
Dikatakan Jimly, hak setiap orang untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya termasuk juga bagi para penyandang disabilitas, yang sekarang lebih netral disebut dengan difabel. “Disabel mengungkapkan ketidakmampuan. Sedangkan difabel menunjukkan perbedaan saja. Maka sekarang para aktivis hak asasi manusia lebih sering dan popular menggunakan kata difabilitas ketimbang disabilitas,” terang Jimly.
Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Jadi, pada dasarnya, kata Jimly, semua orang harus diperlakukan sama. Bagi orang-orang yang menyandang masalah tertentu, tertinggal dari perkembangan, maka diperbolehkan adanya affirmative action atau affirmative policy sebagai kebijakan untuk memberikan perlakuan khusus.
Pokok-Pokok Pembukaan UUD 1945
Maria Farida Indrati yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyampaikan materi “Pokok-Pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945”. Maria mengatakan, Undang-Undang Dasar (UUD) adalah sebagian dari hukum dasar. UUD suatu negara hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. UUD adalah hukum dasar yang tertulis, sedang di samping UUD berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
“Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945. Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis,” ujar Maria.
Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, ungkap Maria, adalah Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang semua pokok-pokok pikiran itu disebut Pancasila.
Perdebatan Hukuman Mati
Fajar Laksono menyampaikan materi “Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara Berdasarkan UUD 1945”. Pada kesempatan itu, Fajar membahas antara lain perdebatan mengenai hukuman mati. Fajar mengatakan Indonesia masih menerapkan hukuman mati. Dasar hukumnya termaktub dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang mengatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Fajar mengungkapkan MK pernah menjatuhkan putusan bahwa hukuman mati itu konstitusional. Pada 2007 silam, majelis hakim yang dipimpin Jimly Asshiddiqie tidak mengabulkan permohonan lima terpidana mati kasus narkotika. Kelima terpidana mati itu mengajukan permohonan uji materil sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, khususnya ketentuan hukuman mati. Dengan putusan tersebut, hukuman mati bagi pengedar narkotika tetap diberlakukan di Indonesia.
“Bayangkan bila seorang pengedar narkoba kelas kakap yang memperjualbelikan narkoba secara gelap yang memiliki daya rusak yang luar biasa sehingga ini tidak bisa dibiarkan. Pasal 28J UUD 1945 memberikan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat,” urai Fajar.
Kewajiban Negara
Hari Kurniawan menampilkan materi “Konstitusi dan Disabilitas”. Hari menyampaikan bahwa tidak semua hak konstitusional identik dengan HAM. Misalnya, hak untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan berbeda dengan HAM yang sifatnya masih sangat universal. Sedangkan hak-hak konstitusional warga negara termasuk penyandang disabilitas tercantum dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 32, dan Pasal 34 UUD 1945.
“Negara berkewajiban untuk mewujudkan serta melakukan pemenuhan terhadap hak-hak tersebut. Termasuk hak khusus perempuan dan anak disabilitas diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016,” kata Hari.
Menurut Hari, apabila terdapat kebijakan yang melanggar hak-hak yang ada, maka warga negara dapat menuntut untuk membatalkan kebijakan tersebut. Jika kebijakan itu dalam bentuk undang-undang, maka permohonan untuk membatalkan undang-undang tersebut melalui MK. Namun jika di bawah undang-undang, maka pengujiannya melalui Mahkamah Agung (MA).
Baca juga:
Ketua MK: Penyandang Disabilitas Bagian Totalitas Masyarakat Indonesia
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.