JAKARTA, HUMAS MKRI – Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang pemeriksaan pendahuluan permohonan Perkara Nomor 68/PUU-XX/2022 yang diajukan Partai Garuda digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) secara daring pada Kamis (7/7/2022).
Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal Partai Garuda Yohanna Murtika melalui kuasa hukum Munathsir Mustaman menyebutkan materi yang dimohonkan untuk diuji di MK yakni Pasal 170 ayat (1) frasa “pejabat negara” UU Pemilu.
Selengkapnya Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota.”
Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Yang dimaksud dengan “pejabat negara” dalam ketentuan ini adalah: a. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung; b. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua badan peradilan kecuali Hakim ad hoc; c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi; d. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; e. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial; f. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; g. Menteri dan pejabat setingkat Menteri; h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia diluar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkauasa penuh; dan i. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.”
Munathsir mengatakan, dalam rangka pemberdayaan partai politik (parpol) pada era reformasi dan sesuai keinginan para penyusun perubahan terhadap UUD 1945, salah satu sarana demokrasi dalam Pemilu Presiden ditentukan melalui parpol sebagaimana ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
“Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Parpol dapat mengambil peran penting dalam memberikan kebebasan, kesetaraan, kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan negara yang padu,” ujar Munathsir kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Munathsir menyampaikan dalil para Pemohon bahwa menteri adalah pejabat negara yang tidak dikecualikan untuk mengundurkan diri dalam jabatannya apabila dicalonkan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden oleh Pemohon atau gabungan partai politik. Menteri yang saat ini tengah menjabat dalam Kabinet Indonesia Maju, juga Pemohon yang mengusung menteri untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden, potensial mengalami kerugian konstitusional menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Berbeda halnya dengan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, walikota atau wakil walikota, apabila dicalonkan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden hanya memerlukan izin kepada Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 171 ayat (1) UU Pemilu.
“Perlakuan berbeda antara menteri dengan dengan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota apabila dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden oleh Pemohon, juga telah mencederai dan menimbulkan ketidakadilan bagi Pemohon, sebagaimana yang dijamin dan dilindungi berdasarkan ketentuan Pasal 22E Undang‑Undang Dasar Tahun 1945,” tegas Munathsir.
Perbaikan Petitum
Menanggapi permohonan Partai Garuda, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta Pemohon memperjelas materi UU Pemilu yang dimohonkan untuk diuji. “Saudara ini mau menguji Pasal 170 ayat (1) saja atau termasuk juga dengan penjelasannya? Itu harus jelas. Karena kalau dilihat di hal permohonan, itu kan permohonan pengujian Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Padahal kalau dilihat di bagian akhirnya, di petitum, Saudara juga minta pengujian terkait dengan Penjelasan Pasal 170 ayat (1),” kata Saldi.
Oleh karena itu, sambung Saldi, kalau memang hanya Pasal 170 ayat (1) tanpa penjelasannya, dia minta diperbaiki petitumnya. Tapi kalau dimaksudkan sekaligus kedua-duanya, Pasal 170 ayat (1) dan penjelasannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, maka diperbaiki di perihal permohonan. “Yang kedua, ditajamkan argumentasinya dan alasan mengajukan permohonan,” kata Saldi Menasihati.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menyoroti kedudukan hukum para Pemohon. “Dalam kedudukan hukum, Saudara sudah menjelaskan bahwa para Pemohon ini adalah merupakan Ketua Umum dan Sekjen Partai Garuda. Saudara juga sudah menyebutkan dalam uraiannya berdasarkan anggaran dasar/anggaran rumah tangga, itu mereka berdua inilah yang berperan, tapi tidak langsung menunjuk bahwa dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga itu, ketua umum dan sekjenlah yang berhak mewakili partainya beracara ataupun berhak mengajukan pengajuan permohonan ini di pengadilan, ini harus ditunjuk. Karena bisa saja partai itu berbeda‑beda, ya. Bisa saja hanya ketua umum, tapi ada juga harus dengan sekjen. Nah, ada juga yang menyebutkan di dalam anggaran dasar ataupun anggaran rumah tangganya itu harus dengan bendahara,” kata Manahan.
Sedangkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat selaku ketua panel juga menasihati Pemohon agar memperkuat kedudukan hukum (legal standing). Arief menyarankan Pemohon untuk mempelajari putusan MK yang memberikan kedudukan hukum kepada parpol. “Anda harus memperkuat legal standing. Ada putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan legal standing kepada partai politik, nanti dibaca putusan Mahkamah Konstitusi tentang itu, ya. Ada partai politik yang tidak diberi legal standing, itu juga nanti dilihat putusan Mahkamah untuk memperkuat Anda itu mempunyai legal standing,” tandas Arief.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.