JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima serta menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Permohonan pengujian materiil UU HPP ini diajukan seorang wiraswastawan, Priyanto.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon sepanjang Pasal 4A ayat (2) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf a sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf g sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 4 angka 2, Pasal 16B ayat (1a) huruf j angka 1, angka 2, angka 3 dan angka 6 beserta Penjelasannya dalam Pasal 4 angka 6, Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 dalam Bab V Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, kata “dapat” dalam Pasal 40B ayat (3) dalam Pasal 14 angka 2 dan kata “dapat” dalam Pasal 64 ayat (1) dalam Pasal 14 angka 3 UU No. 7/2021 tidak dapat diterima; Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 19/PUU-XX/2022, Kamis (7/7/2022) secara daring.
Menurut Mahkamah, Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945 serta tidak menunjukkan argumentasi bagaimana pertentangan antara pasal-pasal a quo dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945.
“Selain itu, Pemohon juga tidak menguraikan mengenai kaitan antara kerugian hak konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan inkonstitusionalitas norma, akan tetapi justru lebih banyak menguraikan adanya potensi kerugian dalam kasus konkret yang nantinya berpotensi akan dialami oleh Pemohon dan juga mengarahkan Mahkamah untuk merumuskan norma baru dengan menyatakan pasal yang telah dihapus dalam UU a quo untuk dihidupkan kembali dengan meminta untuk menambahkan pemaknaan sebagaimana telah Pemohon uraikan dalam petitum permohonan a quo,” kata Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul yang membacakan pendapat Mahkamah.
Permohonan Tidak Jelas
Terlebih lagi, menurut Mahkamah, argumentasi Pemohon justru belum menggambarkan secara utuh dan jelas adanya pertentangan norma antara pasal yang diuji dengan UUD 1945, khususnya terkait dengan diberlakukannya PPN bagi jasa pendidikan, kebutuhan pokok, jasa medis dan jasa pelayanan sosial, pengampunan pajak dan cukai yang menurut Pemohon telah menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Di samping itu, menurut Mahkamah uraian tersebut juga tidak didukung oleh alat bukti yang cukup dan relevan yang mendukung permohonan a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (2) UU MK.
Mahkamah tidak dapat memahami alasan permohonan Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang memohon agar pasal-pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga meminta kepada Mahkamah agar beberapa pasal a quo yang telah dihapus untuk kembali dinyatakan memiliki kekuatan hukum mengikat serta menambahkan frasa yang dibuat oleh Pemohon sendiri. Karena ketidakjelasan dimaksud, menurut Mahkamah permohonan Pemohon menjadi tidak jelas atau kabur.
Pertimbangan DPD
Hal utama yang menurut Mahkamah penting untuk kembali ditegaskan terkait dengan persoalan konstitusionalitas dalam permohonan a quo adalah bahwa DPD sudah diberikan hak untuk memberikan pertimbangan dalam pembahasan atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, namun makna memberikan pertimbangan tersebut tidak sama dengan bobot kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. Hal terpenting menurut Mahkamah adalah bahwa adanya kewajiban dari DPR dan Presiden untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, Pendidikan dan agama. Hal tersebut telah ditegaskan oleh Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dalam Sub-paragraf (3.18.5), sehingga dengan demikian keikutsertaan dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan di bawah undang-undang terkait dengan pajak bukanlah menjadi bagian dari kewenangan DPD untuk ikut membahasnya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, secara konstitusional DPD hanya diberi hak untuk memberikan pertimbangan dalam membahas rancangan UU APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Sementara itu, keterlibatan DPR dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang berkenaan dengan pajak telah dibatasi secara eksplisit hanya sebatas konsultasi. Hal utama yang harus juga ditegaskan oleh Mahkamah terkait dalil Pemohon a quo adalah bahwa DPD tetap dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang terkait dengan pajak yang hasil pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Hal tersebut telah sejalan dengan Pasal 22D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti”.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah menegaskan dalil Pemohon tentang UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak melibatkan DPD dalam berbagai proses pembentukan peraturan perundangan di bawah undang-undang yang terkait dengan pajak serta mengesampingkan fungsi, tugas, dan peranan DPD dalam hal memberikan pertimbangan dan pengawasan di bidang perpajakan, adalah tidak bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
Baca juga:
Seorang Wiraswasta Persoalkan Klaster-Klaster dalam UU HPP
Pemohon Uji UU HPP Perbaiki Permohonan
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.