JAKARTA, HUMAS MKRI – Ekonom Senior Faisal Basri memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional di periode kedua masa pemerintahan Presiden Joko Widodo hanya sebesar 3,5%. Dengan pertumbuhan tersebut, ia mengatakan Pemerintah seharusnya tidak hanya hanya mengandalkan perbankan umum, melainkan juga melibatkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Pemerintah, lanjutnya, harus memberdayakan BPR dan BPRS agar semakin dekat dan efektif dalam melayani, menyentuh, serta mengoneksikan rakyat dengan sektor keuangan.
Keterangan tersebut disampaikan oleh Faisal dalam sidang keempat pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (6/7/2022). Perkara Nomor 32/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan (BPR Syariah HIK Parahyangan).
“Kita harus menghimpun segala kekuatan, tidak bisa mengandalkan kepada perbankan umum saja, tapi seluruh potensi yang ada di masyarakat, yang dekat dengan masyarakat, justru kita lebih dekatkan lagi, kita berdayakan agar mereka semakin dekat dan semakin efektif melayani rakyat, menyentuh rakyat, mengoneksikan rakyat dengan sektor keuangan. Di sinilah peran BPR dan BPR syariah yang basisnya adalah sebetulnya bank komunitas,” papar Faisal di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Faisal yang dihadirkan sebagai Ahli Pemohon beralasan, BPR dan BPRS ‘hidup’ di tengah rakyat, maka keduanya mengetahui nasabah lebih dekat. “BPR dan BPRS mengetahui kehidupan mereka, kesusahan mereka, mereka tidak sekadar menerima dan menyalurkan kredit, tetapi juga banyak dari mereka yang memberikan pendampingan teknis karena mereka bisa memonitor, karena cakupan operasinya yang relatif kecil. Ini justru menjadi sumber,” ujarnya.
Baca juga: BPR Syariah Minta Perlakuan Sama dalam Pelayanan Jasa Lalu Lintas Pembayaran
Akses Dibatasi
Selain itu, Faisal menyebut keberadaan BPR dan BPRS yang menjangkau daerah-daerah terpencil, sesungguhnya dapat mempermudah kehidupan masyarakat daerah terhadap akses keuangan. Akan tetapi, lanjutnya, dengan adanya Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah, justru membatasi akses tersebut.
“Tetap saja rakyat kecil yang saya katakan tadi terutama yang miskin, tidak berpendidikan, dan di desa tetap saja tidak bisa memanfaatkan BPR ini, BPRS ini untuk mempermudah kehidupan mereka. Mereka kalau bayar listrik tidak bisa lewat BPR atau BPRS, mereka kalau bayar telepon harus ke bank, bank-nya tidak tahu di mana. Padahal yang dekat dengan mereka, tapi tidak bisa atau tidak diberikan kesempatan oleh undang-undang, tidak diberikan peluang oleh undang-undang untuk dekat dengan rakyat,” papar Faisal.
Baca juga: BPRS HIK Parahyangan Perbaiki Permohonan Uji UU Perbankan Syariah
Dampak bagi Perekonomian Nasional
Terkait keterangan Faisal, Hakim Konstitusi Saldi Isra mempertanyakan pengaruh BPR dan BPRS dalam perekonomian nasional. Selain itu, ia juga mempertanyakan sekiranya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon, maka seberapa besar dampaknya bagi perekonomian nasional.
“Bisakah kami diberi gambaran, kalau misalnya ini diberikan seperti yang diminta oleh Pemohon, itu seberapa signifikan dia berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi kita? Misalnya sekarang apa yang dimohonkan Pemohon kita kabulkan, itu bisa memberikan sumbangsih terhadap peningkatan perekonomian itu, pertumbuhan itu misalnya 1% atau berapa?” tanya Saldi.
Menjawab hal tersebut, Faisal menuturkan jika membandingkan kontribusi antara bank umum dengan BPR dan BPRS tidaklah sebanding. Hal tersebut karena beberapa faktor yang menyebabkan BPR dan BPRS tidak mendapat perlakuan yang sama seperti bank umum.
“Si kecil ini, dia tetap kerdil karena dikerdilkan. Jadi, saya tidak bisa melihat dalam perspektif yang fair, tentu saja kalau berapa kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi? Uang yang besar saja kontribusinya kecil. Apakah lagi yang kecil yang dikerdilkan? Karena tidak boleh memberikan kredit ke provinsi lain, tidak boleh. Tidak boleh memperluas usaha dengan mengakuisisi BPR lain, tidak boleh. Tidak boleh memperoleh dana dari pasar modal,” papar Faisal.
Baca juga: DPR Sampaikan Perbedaan Kewenangan BPRS dengan Bank Umum
Sangat Diperlukan
Sementara itu, Yunus Husein yang juga dihadirkan oleh Pemohon menyebut, BPR dan BPRS sangat diperlukan karena cakupannya dalam melayani masyarakat sangat luas, meski terbatas. Keterbatasan tersebut dikarenakan ketidakmampuan BPR dan BPRS dalam memberikan sejumlah pelayanan terkait lalu lintas pembayaran.
“(BPR dan BPRS) tidak didesain untuk sebesar bank umum untuk melayani masyarakat yang begitu besar dan luas, dia memang lebih terbatas, seperti community bank, tapi sangat diperlukan karena dia ada di pelosok‑pelosok di seluruh wilayah Indonesia, ya. Jadi, ketidakmampuan BPR menyediakan layanan kepada nasabah berupa pengiriman uang, pengambilan lewat ATM, ya, katakanlah diminta bekerja sama dengan bank umum, ternyata disamping menimbulkan biaya yang lebih besar, juga tidak semudah yang dikatakan. Dalam praktik lebih susah. Hanya beberapa saja yang membuat kerjasama co-branding seperti ini,” jelas Kepala PPATK pertama tersebut.
Selain itu, Yunus menyebut pembatasan BPR dan BPRS dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang diujikan Pemohon, sudah terlalu lama sehingga membuat BPR dan BPRS tidak dapat berkembang. “Bukan hanya modalnya kurang, juga pembatasan‑pembatasan kewenangan ini dibuat dia tidak bisa berkembang dengan baik,” ujarnya.
Yunus melanjutkan diperbolehkannya BPR Syariah ikut serta dalam kegiatan lalu lintas pembayaran, tidak perlu dikhawatirkan BPR Syariah menjadi sama dengan Bank Umum Syariah sebagai sebagai Bank Pencipta Uang Giral (BPUG) karena pada BPR Syariah tetap bukan BPUG dan kegiatannya terbatas dalam lalu lintas pembayaran tertentu seperti transfer, Gerbang Pembayaran Nasional dan BI Fast.
“Apabila BPR Syariah diperbolehkan melakukan lalu lintas pembayaran, maka masyarakat menyimpan uang di BPR Syariah bukan semata-mata mengharapkan imbal hasil yang besar,”jelasnya.
Kemudian Yunus juga menegaskan, keikutsertaan BPR Syariah dalam lalu lintas pembayaran secara terbatas diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan usaha Bank dan memberikan jasa yang lebih murah, lebih banyak dan lebih cepat bagi nasabah/masyarakat.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah pada pokoknya membatasi atau melarang BPR Syariah untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Implikasinya, Pasal 21 huruf d UU Perbankan Syariah mengatur bahwa BPR Syariah tidak dapat memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah secara mandiri, melainkan hanya melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS.
Menurut pemohon pembatasan dan larangan untuk memberikan pelayanan jasa lalu lintas pembayaran membuat BPR Syariah tidak optimal dalam memberikan pelayanan perbankan kepada masyarakat terutama usaha mikro kecil untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Lebih lanjut Kamal mengatakan, Bank Indonesia menetapkan kebijakan National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang bertujuan mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta dengan memperhatikan perkembangan informasi, komunikasi, teknologi, dan inovasi yang semakin maju, kompetitif, dan terintegrasi. Dengan adanya norma Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah, BPR Syariah tidak dapat menjadi pihak yang terhubung langsung dengan sistem kebijakan GPN. Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal-pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (*)
Penulis: Utami Argawati/LA
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana