JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (28/6/2022). Permohonan pengujian UU Perdagangan perkara Nomor 51/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Muhammad Hasan Basri yang merupakan pedagang lalapan/pecel lele. Pemohon mengujikan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang menyatakan, “Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.”
Agenda persidangan yang digelar secara daring hari ini adalah mendengar keterangan Presiden (Pemerintah) dan DPR. Pemerintah diwakili oleh Frida Adiati yang merupakan Staf Ahli Bidang Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan. Frida mengatakan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan memberikan perlindungan serta menjamin ketersediaan barang pokok termasuk minyak goreng (migor), sehingga masyarakat Indonesia termasuk Pemohon selaku pelaku usaha dapat terus tercukupi kebutuhan pokoknya.
“Pengaturan Pasal a quo tidak menghambat ataupun menghalangi hak pemohon untuk dapat memiliki pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pemohon tetap dapat bekerja dengan menjalani profesinya maupun alternatif pekerjaan lainnya sesuai kehendak Pemohon,” kata Frida secara daring kepada panel hakim konstitusi yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto.
Lebih lanjut Frida mengatakan dengan berlakunya ketentuan Pasal tersebut maka pemerintah dapat merumuskan kebijakan-kebijakan pengendalian harga serta distribusi minyak goreng. Pemerintah telah mengupayakan ketersediaan minyak goreng curah dan kemasan sederhana dengan harga terjangkau di masyarakat. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan memberikan subsidi pada kemasan minyak goreng sederhana guna mewujudkan ketersediaan dan kestabilan minyak goreng yang terjangkau oleh masyarakat termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.
Lebih lanjut Frida menjelaskan, pengaturan hukum atas pemberian subsidi pada minyak goreng kemasan sederhana ditetapkan pada 11 Januari 2022 melalui Permendag Nomor 1 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana untuk Kebutuhan Masyrakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, yang telah dicabut dan diganti dengan Permendag Nomor 3 Tahun 2022.
Untuk mengoptimalkan pendistribusian minyak goreng curah, sambung Frida, pemerintah menetapkan program Minyak Goreng Curah Rakyat (MGCR) melalui penetapan Permendag Nomor 33 Tahun 2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Curah Rakyat yang selanjutnya disebut sebagai Permendag 33 Tahun 2022. Program MGCR telah tersedia di 1200 lokasi hingga 10 Juni 2022. Jumlah pengecer yang berpartisipasi pada program ini direncanakan dapat mencapai 10 ribu titik yang tersebar di 212 Kabupaten/Kota di Indonesia. Pelaksanaan MGCR di pasar rakyat dilakukan melalui aplikasi digital pada setiap transaksinya.
Melalui keputusan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2022 tentang Pembatasan Minyak Goreng Curah dalam program MGCR telah ditetapkan bahwa pembatasan MGCR oleh pengecer kepada konsumen paling banyak setara 10kg/hari untuk 1 orang konsumen dengan berbasiskan NIK.
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan serta program pemerintah untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng dan menjamin distribusi minyak goreng di masyarakat tersebut semakin dikuatkan dengan keberlakuan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang dengan tegas melarang pelaku usaha untuk penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu terutama pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
Pelanggaran terhadap ketentuan pasal tersebut akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling banyak 50 milyar sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU Perdagangan. Keberlakuan ketentuan dalam pasal tersebut sangat penting guna menjaga ketersediaan dan distribusi barang pokok dan barang penting.
“Pasal tersebut perlu dipertahankan keberlakuannya karena ketentuannya tersebut memberikan perlindungan terhadap seluruh masyarakat Indonesia termasuk pemohon,” terang Frida.
Frida menjelaskan, Pemerintah akan senantiasa menghormati hak asasi manusia untuk mempertahankan hidup serta kehidupannya. Menanggapi dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan telah menghambat Pemohon dalam berusaha mempertahankan kehidupannya, merupakan kekhawatiran dari Pemohon sendiri serta merupakan penafsiran pemohon atas pasal tersebut.
Kemendag bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota telah melakukan pengumpulan serta pelaporan data harga dan pasokan barang pokok termasuk minyak goreng secara harian melalui Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok (SP2KP).
Selain itu, Frida menegaskan, UU Perdagangan menjadi pedoman bagi pelaksanaan kegiatan sehari-hari di bidang perdagangan. UU Perdagangan memberikan jaminan hak dan kewajiban pelaku perdagangan serta memastikan agar relasi antara para pelaku usaha selalu berjalan sesuai aturan yang berlaku.
Menanggapi keterangan Pemerintah, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta Pemerintah untuk menjelaskan secara detil mengenai kelangkaan barang, gejolak harga dan atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Sehingga ada relevansi pembatasan itu ataukah tidak ada relevansinya. “Ketika ada unsur-unsur bagaimana yang dimaksud Perpres 11 (Perpres Nomor 11 Tahun 2022) itu seharusnya barang tetap mengalir tidak boleh kemudian ada penyimpanan penimbunan kalau ada konsistensi untuk mengatasi tiga unsur itu. Nah ini kan ada sesuatu yang dijelaskan karena kan kalau tidak match,” ujar Suhartoyo.
Kemudian, sambung Suhartoyo, Pasal 29 ayat (1) memberikan batasan waktu tertentu dan jumlah tertentu yang kemudian di-break down bahwa skema mengenai jumlah dan waktu itu ada di Perpres 11. Lalu, Suhartoyo mempertanyakan bagaimana Pasal 107 bisa bekerja kalau itu meng-cover pelanggaran Pasal 29 ayat (1) yang seolah-olah menjadi meng-cover Perpres 11 atau hal-hal lain yang berkaitan dengan jumlah dan waktu tertentu yang terdapat di Perpres yang kemudian sanksinya ada di UU.
“Bagaimana dengan harmonisasi normanya sendiri pelanggaran detilnya ada di Perpres tetapi sanksi pidananya ada di UU Pasal 107 itu. Karena Pasal Pasal 29 ayat (1) itu tidak bisa dilaksanakan kalau tidak kemudian diikutsertakan Perpres itu. Mohon dijelaskan nanti ditambahkan dan didiskusikan kembali. Nanti kami akan minta penjelasan dari pembentuk UU,” urai Suhartoyo.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan masalah kelangkaan, gejolak harga dan lain sebagainya tidak hanya dipengaruhi oleh banyak faktor. “Oleh karena itu, mohon bisa dijelaskan posisi kalau pemerintah menjelaskan tadi di petitumnya supaya ini ditolak itu sebetulnya posisi konstruksi hukum yang diinginkan oleh pemerintah itu bagaimana bukan pada tataran produk hukum di bawahnya tetapi penjelasan yang menyangkut pasal ini tidak bertentangan dengan konstitusi itu di mananya. Mohon bisa dijelaskan kepada Mahkamah sehingga Mahkamah betul-betul mendapat gambaran yang utuh dari pembentuk UU khususnya dalam hal ini Pemerintah,” kata Arief.
Baca juga:
Minyak Goreng Langka, Pedagang Pecel Lele Uji UU Perdagangan
Pedagang Pecel Lele Perbaiki Permohonan Uji UU Perdagangan
Sebagai informasi, permohonan Nomor 51/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Perdagangan ini diajukan oleh Muhammad Hasan Basri yang merupakan pedagang lalapan/pecel lele. Pemohon mengujikan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang menyatakan, “Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.”
Dalam persidangan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (26/4/2022), Pemohon menyatakan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan merugikan hak konstitusional Pemohon karena adanya praktik distribusi dan penyimpanan minyak goreng sehingga terjadilah fenomena kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. “Berdasarkan norma tersebut meskipun norma itu mengandung larangan tetapi distributor tetap masih bisa menyimpan minyak goreng dalam jumlah dan waktu tertentu. Itulah yang sedang kami uji, Yang Mulia, terkait dengan inti normanya dalam jumlah dan waktu tertentu,” kata Irawan.
Lebih lanjut Irawan mengatakan, apabila minyak goreng tidak terdapat di pasaran maka Pemohon tidak dapat bekerja. Namun, Jika harganya tinggi hal tersebut akan berpengaruh kepada daya beli Pemohon dan harga jual beli barang dagangan yang diusahakan. Hal ini menghambat Pemohon dalam bekerja dan berdagang.
“Minyak goreng yang tidak tersedia atau minyak goreng yang mahal menurut batas penalaran yang wajar dapat membuat Pemohon tidak dapat bekerja. Jika Pemohon tidak dapat bekerja maka Pemohon dan keluarga tidak dapat hidup layak. Padahal Pemohon sebagai warga negara sesuai Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan,” tegas Irawan.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.