JAKARTA, HUMAS MKRI – Penjelasan Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) batal demi hukum dalam ketentuan pasal tersebut merupakan ranah kewenagan hakim untuk menyatakan putusan batal demi hukum. Sifat dari ketentuan ini tidak murni dan tidak mutlak, namun agar suatu putusan dinyatakan batal demi hukum dan memiliki legalitas batal secara formal, maka harus ada tindakan dari pengadilan yang didasarkan pada undang-undang.
Keterangan tersebut disampaikan oleh Lucky Agung Binarto selaku Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Ekonomi menyampaikan keterangan presiden dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (9/6/2022). Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh perseorangan warga negara atas nama Umar Husni selaku Direktur PT Karya Jaya Satria. Pemohon menyatakan Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 143 ayat 3 (KUHAP) berbunyi, “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”.
“Terkait penerapan Pasal 143 ayat (3) KUHAP, Lucky menjelaskan hal tersebut merupakan kewenangan hakim. Dimana hakim memiliki kewenangan untuk memutus yang putusannya dilandasi atas pemeriksaan sesuai pendirian dan keyakinannya,” di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Baca juga: Pemohon Uji KUHAP Mengenai Surat Dakwaan Perjelas Argumentasi Permohonan
Sebelumnya, Pemohon juga mendalilkan kasus konkret karena dirinya telah mendapatkan surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum atas perkara tindak pidana bidang perpajakan. Akibatnya, Pemohon mendapatkan tiga surat dakwaan, yakni satu putusan dari Pengadilan Negeri Purwokerto dan dua putusan dari Pengadilan Tinggi Semarang. Berkaitan dengan hal ini, Pemohon menilai dirinya dapat saja dikemudian hari mendapatkan dakwaan keempat, kelima, dan seterusnya tanpa adanya batasan yang pasti terhadap proses perbaikan surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan. Pemohon berdalih hal yang menjadi permasalahan pada perkara tersebut, yakni proses surat dakwaan batal demi hukum tersebut dapat saja kemudian dilakukan perbaikan oleh Jaksa Penuntut Umum atau kembali ke proses penyidikan.
Atas dalil permohonan tersebut, Lucky menyampaikan bahwa Putusan Negeri Purwokerto dan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tetap memberikan putusan batal demi hukum telah memberikan jaminan, perlindungan, dan pengakuan hukum yang adil bagi Pemohon.
“Maka yang demikian telah sejalan dengan perlindungan konstitusional dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 dan mengedepankan due process of law sebagaimana ketentuan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945,” jelas Lucky.
Lebih lanjut Lucky mengatakan, Pasal 197 ayat (2) KUHAP menegaskan batal demi hukum tidak lebih dari putusan yang dijatuhkan, sedangkan pemeriksaan atau berita acara pemeriksan (BAP) tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak dapat dibatalkan. “Oleh karena itu, pemeriksaan sidang tetap dan memiliki kekuatan sebagai BAP sidang sehingga tuntutan jaksa dan pembelaan terdakwaan tetap menjadi produk dan peristiwa dalam persidangan,” jelas Lucky.
Baca juga: Aturan Mengenai Surat Dakwaan dalam Uji KUHAP Digugat
Kewenangan dan Kerja Sama
Lucky juga menjelaskan kedudukan hakim, jaksa, dan polisi masing-masing dalam lingkungan kewenangannya bekerja sama agar tidak terjadi kewenangan yang dilampaui satu sama lain. Khususnya hubungan polisi dan jaksa yang erat dan intensif yang secara fakta memiliki unsur koordinasi, namun demikian tanggung jawab dari kedua belah pihak tidak dapat disalahgunakan sebagai suatu cara, baik langsung atau tidak langsung untuk meniadakan ketidakbebasan dari yudisiari, baik hakim, jaksa, dan polisi dalam menjalankan tugasnya di peradilan.
Hal ini, sambung Lucky, telah pula ditegaskan dalam konteks berlakunya KUHAP, jaksa bertugas untuk melakukan penyidikan dihilangkan kecuali jika untuk tindak pidana tertentu sejak berlakunya KUHAP yang kemudian beralih pada kewenangan kepolisian. Dalam sistem KUHAP, hal ini berarti menganut kompartemenisasi dalam perkara pidana. Penyidikan dan penyelidikan menjadi kewenangan polisi, penuntutan menjadi kewenangan jaksa, dan pemeriksaan di sidang pada pengadilan menjadi kewenangan hakim.
Dalam permohonannya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “harus dikembalikannya berkas perkara kepada penyidik dengan pembatasan perbaikan hanya 1 (satu) kali”.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yulian