JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang kedua uji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (UU Provinsi Kalsel) pada Selasa (7/6/2022). Di awal persidangan, Muhammad Pazri yang menjadi kuasa hukum untuk Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 dan Nomor 59/PUU-XX/2022 menyampaikan sejumlah perbaikan yang dilakukan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Banjarmasin (Pemohon I) dan sejumlah Pemohon perseorangan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kota Banjarmasin (Pemohon II, III, IV,V) tersebut.
Pada Sidang Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra ini, Pazri menyebutkan telah menambahkan kewenangan MK pada permohonannya dan memperjelas pemaknaan batas waktu 45 hari dari pengajuan formil UU Provinsi Kalsel yang diajukan pada permohonan ini. Selanjutnya, para Pemohon juga telah menyempurnakan kedudukan hukum dari Pemohon I adalah badan hukum privat, sedangkan Pemohon II – V adalah perseorangan warga negara sebagai warga Kalimantan Selatan.
“Kemudian pada bagian yang sama, para Pemohon juga telah menegaskan Pemohon I selaku bagian dari Kadin Kalsel juga menambahkan ketentuan yang menyatakan kewenangan Kadin dalam mewakili organisasi dalam dan/atau luar organisasi,” jelas Pazri.
Selanjutnya sehubungan dengan uji materil Pasal 4 UU Kalsel yang diregistrasi pada Perkara Nomor 59/PUU-XX/2022 ini, para Pemohon juga telah menyempurnakan pada beberapa bagian, di antaranya kewenangan MK, kedudukan hukum para Pemohon, menyertakan bukti agenda rapat dan absensi Kadin Kalsel. Selain itu, para Pemohon juga telah menyertakan alasan agar dalam pemindahan ibu kota provinsi, seharusnya pemerintah setempat memperhatikan Putusan MK Nomor 66/PUU-IX/2013.
Penyempurnaan dan Elaborasi
Dalam sidang yang sama, MK juga menggelar sidang lanjutan Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 diajukan oleh Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina dan Ketua DPRD Kalimantan Selatan Harry Wijaya. Para Pemohon melalui Lukman Fadlun menyebutkan pihaknya menambahkan kuasa hukum dari tiga menjadi empat orang; menambahkan alat bukti yang memuat di antaranya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Daerah Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemindahan Ibu Kota Madiun.
Untuk uji formil UU Provinsi Kalsel, sambung Lukman, para Pemohon yang pada awal hanya mengelaborasi asas keterbukaan kemudian menambahkan beberapa asas lainnya, yakni asas kejelasan tujuan, asas kelembagaan, asas kesesuaian materi muatan, dan asas kedayagunaan. “Sedangkan untuk uji materil, kami juga menyertakan tahapan perencanaan dan penyusunan UU Kalsel untuk menguatkan dalil pengujian pada perkara ini,” jelas Lukman.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Perpindahan Ibu Kota Kalimantan Selatan
Pengujian UU Provinsi Kalsel berawal dari pengesahan Kota Banjarbaru sebagai Ibu Kota Kalimantan Selatan menggantikan Kota Banjarmasin sesuai dengan UU Provinsi Kalsel. Pada sidang terdahulu, para Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 menjabarkan telah dirugikan atas keberadaan UU Provinsi Kalsel karena dalam proses pembuatan norma tersebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat sehubungan dengan pemindahan ibu kota Kalimantan Selatan. Menurut para Pemohon, UU Provinsi Kalsel dinilai merugikan para pengusaha yang tergabung dalam Kadin Kota Banjarmasiin (Pemohon I) karena dengan rencana pemindahan ibu kota provinsi ke Kota Banjarbaru akan berdampak pada sektor ekonomi, terutama bagi penyedia akomodasi dan usaha kuliner serta sektor konstruksi dalam penyediaan pembangunan fisik yang akan mengurangi kemajuan infrastruktur pendukung di Kota Banjarmasin.
Sementara bagi Pemohon II, III, IV, dan V, menyatakan ketidakjelasan faktor mendasar dari pemindahan ibu kota provinsi ini dapat merugikan para Pemohon karena gejolak ekonomi akibat Covid-19, harga kebutuhan yang naik, dan alokasi APBD provinsi yang akan beralih untuk ibu kota baru sehingga kesejahteraan masyarakat tidak lagi menjadi hal yang prioritas. Menurut para Pemohon, pendanaan besar untuk pemindahan ibu kota tersebut dapat digunakan untuk pemulihan Covid-19, bantuan-bantuan untuk masyarakat, dan dana pendidikan.
Berikutnya dalam Perkara Nomor 59/PUU-XX/2022, para Pemohon dalam dalilnya menyatakan Pasal 4 UU Kalsel bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28D, Pasal 28F, Pasal 28H ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Secara historis para Pemohon melihat, Kota Banjarmasin memiliki peran penting dalam perkembangan Provinsi Kalimantan Selatan sejak masa 1500-an yang dijadikan pusat pemerintahan. Dengan mengubah kedudukan Kota Banjarmasin sama dengan melakukan pembelokan sejarah. Sehingga pasal Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak adanya keadilan dalam menghargai historis Banjarmasin sebagai daerah yang masih kental dengan hak-hak tradisional Banjarmasin yang masih berkembang hingga saat ini sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Selatan.untuk itu para Pemohon memohon pada Mahkamah agar mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dan menyatakan UU Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarmasin dan pusat pemerintahan di Kota Banjarbaru”.
Sementara para Pemohon Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 menyatakan dalam proses pembentukan UU a quo tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara umum dan secara khusus DPR RI tidak ke Banjarmasin untuk datang langsung menampung aspirasi masyarakat. Selain itu, pembentukan UU Provinsi Kalsel juga tidak memperhatikan keserasian hubungan pemerintah pusat daerah. Hal ini terbukti dengan tidak adanya penetapan DPRD Provinsi Kalimantan Selatan dalam rapat paripurna untuk memutuskan ibu kota provinsi berpindah dari Banjarmasin ke Banjarbaru dan sebagai pemangku kepentingan pemerintah daerah Kota Banjarmasin pun tidak pernah dilibatkan, mulai dari tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi hukum dan menjadi rancangan yang diajukan dalam penetapan rancangan undang-undang.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina