JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) berpendirian pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945 diajukan dalam waktu 45 hari “sejak” undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XX/2022 bertanggal 20 April 2022. Demikian pertimbangan hukum Putusan Nomor 54/PUU-XX/2022 yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dalam sidang yang digelar pada Selasa (31/5/2022) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam Perkara tersebut, para Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil UU IKN ke Mahkamah Konstitusi pada 1 April 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 49/PUU/PAN.MK/AP3/04/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 7 April 2022 dengan Nomor 54/PUU-XX/2022. Sementara itu, UU IKN diundangkan pada tanggal 15 Februari 2022 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766.
“Maka dengan demikian permohonan para Pemohon diajukan pada hari ke 46 (empat puluh enam) sejak UU 3/2022 diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766,” ujar Manahan.
Baca juga: Kurang Partisipasi Publik, UU IKN Kembali Diuji
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, karena permohonan para Pemohon berkaitan dengan pengujian formil UU IKN terhadap UUD 1945 diajukan telah melewati tenggang waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak UU tersebut diundangkan. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak memenuhi syarat formil pengajuan permohonan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena permohonan pengujian formil para Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan, maka kedudukan hukum dan pokok permohonan pengujian formil para Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut. “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Wakil Ketua MK Aswanto membacakan Amar Putusan tersebut.
Baca juga: Pemohon UU IKN Perbaiki Kedudukan Hukum
Perkara tersebut diajukan oleh M. Busyro Muqoddas sebagai Pemohon I; Trisno Raharjo sebagai Pemohon II; Yati Dahlia sebagai Pemohon III; Dwi Putri Cahyawati sebagai Pemohon IV; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai Pemohon V; dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Pemohon VI. Seluruh Pemohon menguji secara formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Sebelumnya, Pada sidang pendahuluan, para Pemohon beralasan proses pembentukan UU IKN tidak menerapkan partisipasi dalam arti sesungguhnya (meaningfull participation) sebagaimana dimaksud pada Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Menurut Pemohon, UU IKN juga tidak melibatkan pihak yang memiliki concern secara luas. Menurutnya, Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon IV adalah bagian dari orang-orang yang memiliki pandangan dan perspektif luas dan strategis terkait dengan isu IKN, yang seharusnya dilibatkan dalam proses pembentukan UU IKN. Selain itu, kelompok masyarakat adat di wilayah calon IKN yang terdampak langsung juga tidak dilibatkan. Para Pemohon dalam permohonannya juga menyebutkan bahwa pembentukan UU IKN bertentangan dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Menurut para Pemohon, setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.