SOLO, HUMAS MKRI – Kuliah Umum Mahkamah Konstitusi (MK) di FKIP UNS digelar pada Rabu (25/5/2022) dengan tema “Memahami Konstitusi dalam Bernegara” sebagai kerja sama MK dan FKIP UNS. Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams hadir dalam kesempatan itu.
Di awal paparan, Enny Nurbaningsih menjelaskan pengertian Konstitusi sebagai dokumen formal ketatanegaraan yang mengandung ketentuan tentang cara pengelolaan hidup bersama dalam suatu negara, menuju masyarakat yang maju dan mandiri.
“Konstitusi merupakan kumpulan asas, prinsip, dasar dan kaidah hukum yang mengatur suatu organisasi atau sebagai sebuah manifesto pernyataan-pernyataan dari pembentuk UUD yang secara umum hendak diwujudkan,” kata Enny.
Mengatur Organ-Organ Negara
Dikatakan Enny, pada umumnya Konstitusi mengatur organ-organ negara, cara bekerjanya organ tersebut, tugas, fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh organ negara. Konstitusi memuat tujuan-tujuan bersama yang hendak dicapai oleh sebuah negara yang secara eksplisit atau dapat tersirat dalam pasal-pasal.
Enny menerangkan, ada Konstitusi dalam arti luas dan sempit. Konstitusi dalam arti luas, bukan hanya sebagai dokumen hukum, melainkan juga nonhukum. Sedangkan Konstitusi dalam arti sempit merupakan legal document yang mengandung norma-norma hukum untuk membatasi kekuasaan negara.
Lebih lanjut Enny menjelaskan materi muatan Konstitusi yang mencakup perlindungan hak asasi manusia, susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat mendasar, pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang bersifat mendasar, serta pembatasan kekuasaan.
Perubahan Substansial
Sementara itu, Wahiduddin Adams menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Dijelaskan Wahiduddin, salah satu hasil dari perubahan UUD 1945 yang mendasar adalah perubahan secara substansial format kelembagaan negara, terutama yang menyangkut lembaga negara, tugas, wewenang, hubungan kerja dan mekanisme kerja lembaga yang bersangkutan.
“Selain itu, juga implikasi amendemen UUD 1945 mengakibatkan semua insititusi pada lapisan supra struktur kenegaraan dan pemerintahan harus ditata kembali. Tidak heran pasca Perubahan UUD 1945, pembentuk Undang-Undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah, banyak melakukan perubahan atau menyusun Undang-Undang yang dibutuhkan sebagai peraturan pelaksana terutama dalam konteks yang berkaitan dengan lembaga-lembaga negara,” ujar Wahiduddin.
Sebelum amendemen UUD 1945, sambung Wahiduddin, struktur kelembagaan negara Indonesia mengenal adanya lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Pada masa tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara merupakan penjelmaan dari pemegang kedaulatan, yaitu seluruh rakyat Indonesia. MPR kemudian mengangkat Presiden dan melimpahkan kewenangan melaksanakan kehendak rakyat kepada Presiden dalam hal ini juga disebut sebagai mandataris MPR. Dalam melaksanakan tugasnya, Presiden dibantu oleh menteri-menteri, dan dengan kata lain, Presiden menyalurkan sebagian kekuasaannya kepada para menteri.
Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam naskah penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen yang dahulu lebih dikenal dengan sebutan 7 (tujuh) sistem pokok pemerintahan sebagai berikut: Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum; Sistem konstitusional; Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah Majelis; Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat; Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat; Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.
Pembentukan Lembaga Negara
Lebih lanjut Wahiduddin menerangkan pembentukan lembaga negara. “Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen, atau lembaga negara saja. Pembentukan lembaga negara tersebut ada yang berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, UU bahkan ada yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Tentu saja hirerarki kedudukannya tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,” jelas Wahiduddin.
Di tingkat pusat, dapat diklasifikasikan empat tingkat kelembagaan, yaitu Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan UU, PP, Perpres, dan Keppres; Lembaga yang dibentuk berdasarkan UU yang diatur atau ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan PP, Perpres, dan Keppres; Lembaga yang dibentuk berdasarkan PP atau Perpres yang ditentukan lebih lanjut dengan Keppres.
“Lembaga pada tingkat pertama yang lebih dikenal dengan lembaga negara pada tingkat konstitusi misalnya adalah Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, MK, BPK. Kewenangan lembaga tingkat pertama ini diatur dalam UUD dan dirinci lagi dalam UU, selanjutnya pengangkatan para anggotanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden sebagai pejabat adminstratif negara yang tertinggi,” urai Wahiduddin.
Lembaga-lembaga tingkat kedua, ungkap Wahiduddin, lembaga yang dibentuk berdasarkan UU yang berarti sumber kewenangannya berasal dari pembentuk undang-undang. Proses pemberian kewenangan kepada lembaga-lembaga ini melibatikan peran DPR dan Presiden, atau untuk hal-hal tertentu melibatkan pula peran DPD. Karena itu, pembubaran atau pengubahan bentuk dan kewenangan lembaga semacam ini juga memerlukan keterlibatan DPR dan Presiden. Jika pembentukannya melibatkan peran DPD, maka pembubarannya juga harus melibatkan peran DPD. Misalnya, Kejagung, BI, KPU, KPK, KPI, PPATK, Komnas HAM, dan sebagainya dibentuk berdasarkan UU dan karena itu tidak dapat diubah atau dibubarkan kecuali dengan mengubah atau mencabut undang-undangnya.
Pada tingkat ketiga, lanjut Wahiduddin, lembaga-lembaga yang sumber kewenangannya murni dari Presiden sebagai kepala pemerintahan, sehingga pembentukannya sepenuhnya bersumber dari beleid Presiden (presidential policy). Artinya, pembentukan, perubahan, ataupun pembubarannya tergantung kepada kebijakan Presiden semata. Pengaturan mengenai organisasi lembaga negara yang bersangkutan juga cukup dituangkan dalam Peraturan Presiden yang bersifat regeling dan pengangkatan anggotanya dilakukan dengan Keputusan Presiden yang bersifat beschikking.
“Yang lebih rendah lagi tingkatannya ialah lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri. Atas inisiatif menteri sebagai pejabat publik berdasarkan kebutuhan berkenaan dengan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan di bidang-bidang yang menjadi tanggung jawabnya, dapat saja dibentuk badan, dewan, lembaga, ataupun panitia-panitia yang sifatnya tidak permanen dan bersifat spesifik. Jika dikaitkan dengan hal tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang dari 28 subjek hukum kelembagaan atau subyek hukum tata negara dan tata usaha negara yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Subjek-subjek hukum kelembagaan itu dapat disebut sebagai organ-organ negara dalam arti luas. Dari 28 organ tersebut, tidak semua ditentukan dengan jelas keberadaannya dan kewenangannya dalam UUD 1945,” tandas Wahiduddin.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.