JAKARTA, HUMAS MKRI – Kota Banjarbaru resmi menggantikan Kota Banjarmasin sebagai Ibu Kota Kalimantan Selatan sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (UU Provinsi Kalsel) pada 15 Februari 2022 silam. Perpindahan tersebut mendulang pro kontra yang akhirnya bermuara pada pengajuan permohonan UU Provinsi Kalsel ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Senin (23/5), Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra menggelar sidang untuk tiga perkara yang mempersoalkan UU Provinsi Kalsel.
Ketiga perkara tersebut, yakni Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Banjarmasin (Pemohon I) dan sejumlah Pemohon perseorangan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kota Banjarmasin (Pemohon II, III, IV). Para Pemohon menguji secara formil UU Provinsi Kalsel. Pemohon yang sama juga mengajukan Perkara Nomor 59/PUU-XX/2022 dan menguji secara materiil Pasal 4 UU Provinsi Kalsel. Sementara Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 diajukan oleh Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina dan Ketua DPRD Kalimantan Selatan Harry Wijaya. Ketiga mempersoalkan UU Provinsi Kalsel yang bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih lanjut, para Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 yang diwakili oleh Muhammad Pazri selaku kuasa hukum menjabarkan telah dirugikan atas keberadaan UU Provinsi Kalsel tersebut. Sebab dalam proses pembuatan norma tersebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat sehubungan dengan pemindahan ibu kota Kalimantan Selatan. Dikatakan Pazri, UU Provinsi Kalsel dinilai merugikan para pengusaha yang tergabung dalam Kadin Kota Banjarmasiin (Pemohon I) karena dengan rencana pemindahan ibu kota provinsi ke Kota Banjarbaru akan berdampak pada sektor ekonomi, terutama bagi penyedia akomodasi dan usaha kuliner serta sektor konstruksi dalam penyediaan pembangunan fisik yang akan mengurangi kemajuan infrastruktur pendukung di Kota Banjarmasin.
Sementara bagi Pemohon II, III, IV, dan V, lanjut Pazri, menyatakan ketidakjelasan faktor mendasar dari pemindahan ibu kota provinsi ini dapat merugikan para Pemohon karena gejolak ekonomi akibat Covid-19, harga kebutuhan yang naik, dan alokasi APBD provinsi yang akan beralih untuk ibu kota baru sehingga kesejahteraan masyarakat tidak lagi menjadi hal yang prioritas. Menurut para Pemohon, pendanaan besar untuk pemindahan ibu kota tersebut dapat digunakan untuk pemulihan Covid-19, bantuan-bantuan untuk masyarakat, dan dana pendidikan.
Menurut para Pemohon, idealnya dalam pemindahan ibu kota dibentuk tim khusus dengan melibatkan dua wali kota dan sebelas bupati se-Kalimantan Selatan serta 13 DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan. Selain itu, pada agenda pemindahan ibu kota baru ini, tidak pula terdapat urgensi dan kajian ilmiah yang menyimpulkan potensi dan kemanfaatan lebih besar dari pemindahan kedudukan ibu kota baru tersebut. Dalam penentuan lokasi ibu kota provinsi Kalimantan Selatan harus didasarkan pada konsep yang jelas dan kajian yang transparan dari aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, sosial ekonomi, politik, dan budaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat sebagai bagian dari proses demokrasi serta memperhatikan kemampuan sumber daya di wilayah tersebut.
Menghargai Historis
Berikutnya para Pemohon Perkara Nomor 59/PUU-XX/2022 dalam dalilnya menyatakan Pasal 4 UU Kalsel yang berbunyi “Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Banjarbaru,” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28D, Pasal 28F, Pasal 28H ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Secara historis para Pemohon melihat, Kota Banjarmasin memiliki peran penting dalam perkembangan Provinsi Kalimantan Selatan sejak masa 1500-an yang dijadikan pusat pemerintahan. Dengan mengubah kedudukan Kota Banjarmasin sama dengan melakukan pembelokan sejarah. Sehingga pasal Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak adanya keadilan dalam menghargai historis Banjarmasin sebagai daerah yang masih kental dengan hak-hak tradisional Banjarmasin yang masih berkembang hingga saat ini sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Selatan.
“Memohon pada Mahkamah mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dan menyatakan UU Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarmasin dan pusat pemerintahan di Kota Banjarbaru’,” sebut Muhammad Mauliddin yang juga merupakan tim kuasa hukum para Pemohon di hadapan Majelis Hakim Sidang Panel yakni Hakim Konstitusi Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh secara daring.
Aspirasi Masyarakat
Sementara itu, para Pemohon Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 melalui Lukman Fadlun menyebutkan dalam proses pembentukan UU tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara umum dan secara khusus DPR RI tidak ke Banjarmasin untuk datang langsung menampung aspirasi masyarakat. Selain itu, pembentukan UU Provinsi Kalsel juga tidak memperhatikan keserasian hubungan pemerintah pusat daerah.
Hal ini terbukti dengan tidak adanya penetapan DPRD Provinsi Kalimantan Selatan dalam rapat paripurna untuk memutuskan ibu kota provinsi berpindah dari Banjarmasin ke Banjarbaru dan sebagai pemangku kepentingan pemerintah daerah Kota Banjarmasin pun tidak pernah dilibatkan, mulai dari tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi hukum dan menjadi rancangan yang diajukan dalam penetapan rancangan undang-undang.
Kedudukan Hukum
Dalam nasihat Majelis Hakim, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mempertanyakan pada Pemohon Perkara 58/PUU-XX/2022 khususnya Pemohon I atas nama Kadin Kota Banjarmasin terkait dengan kedudukan hukum pihaknya sebagai wakil organisasi. Sebab berpedoman pada AD/ART Kadin yang memiliki kewenangan untuk mewakili organisasi di dalam dan luar pengadilan adalah Dewan Pengurus Kadin sekaligus memberikan kuasa. “Untuk itu perlu dicermati atas kuasa yang diberikan telah memenuhi representasi dari peraturan yang ada atau seperti apanya nanti,” jelas Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul mencermati perlu bagi Pemohon I atas nama Kadin Kota Banjarmasin, terutama mengenai legalitas keberadaan ketua dan pengurusnya serta kedudukannya sebagai warga negara Indonesia perseorangan yang perlu dipertegas dalam kedudukannya. Sementara untuk Pemohon II, III, IV, dan V sebagai bagian dari pengurus Forum Komunikasi Kota Banjarmasin pun perlu memperjelas kedudukan sebagai perseorangan atau organisasi.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menekankan posisi cacat formil dari tahapan pembentukan UU Kalsel ini. Sebab, apabila ada cacat maka harus dijelaskan pertahapan dan dicantumkan sehingga Mahkamah mengetahui secara terang dan melakukan konfirmasi pada pembuat undang-undang.
“Sementara pada sebagian dalil pada permohonan menekankan pada partisipasi publik sehingga hal ini pun harus dijelaskan dan ini penting karena uji formil berkaitan dengan proses pembuktian kasus konkret. Dengan demikian bagaimana bentuk cacat formilnya akan dapat dilihat oleh Mahkamah nantinya dari uraian tersebut,” saran Saldi.
Uji Materil
Sehubungan dengan uji materil yang diajukan oleh Pemohon Perkara Nomor 59/PUU-XX/2022 terhadap UU Provinsi Kalsel ini, Daniel mempertanyakan norma yang diujikan yakni Pasal 4 UU Kalsel dengan menggunakan beberapa pasal yang dijadikan batu uji. “Sebab, semakin banyak pasal yang dijadikan batu uji, maka para Pemohon harus menjelaskan keterkaitan butir demi butir pasal pada UUD 1945 dengan norma yang diujikan,” terang Daniel.
Untuk para Pemohon Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 yang juga mempersoalkan proses pembentukan UU Provinsi Kalsel, Daniel meminta agar dapat dibuatkan uraian kajian sosiologis, filosofis, dari pembentukan UU yang diujikan.
Sedangkan Manahan meminta agar menjelaskan kerugian konstitusional Pemerintah Kota Banjarmasin dengan keberadaan UU Provinsi Kalsel. Sedangkan Saldi meminta agar para Pemohon menjabarkan terminologi perbedaan antara Kota Pemerintahan dengan Ibu Kota Provinsi.
Menutup persidangan, Saldi selaku Ketua Panel Hakim menyebutkan MK memberikan waktu selama 14 hari bagi para Pemohon untuk memperbaiki permohonan selambat-lambatnya hingga Senin, 6 Juni 2022. Sementara sidang berikutnya akan diagendakan dan diinformasilkan setelah penyerahan perbaikan permohonan oleh para Pemohon. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina