JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan), pada Selasa (17/5/2022). Agenda perkara Nomor Nomor 51/PUU-XX/2022 adalah pemeriksaan perbaikan permohonan yang diajukan oleh Muhammad Hasan Basri, seorang pedagang lalapan/pecel lele.
Pemohon mengujikan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang menyatakan, “Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.”
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, Ahmad Irawan selaku kuasa hukum pemohon mengatakan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim pada sidang sebelumnya.
“Kami telah memperbaiki seperti Pemohon karena tunggal kita tulis Pemohon saja, tulisan ‘para pemohon’-nya kami hapus. Kemudian dalam petitum sudah kami perbaiki dengan mencantumkan ‘Lembaran Negara’,”ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, secara substansi pada bagian legal standing dikurangi menjadi dua pasal. Pada permohonan sebelumnya terdapat empat pasal batu uji dalam UUD 1945.
“Pada bagian 5 legal standing tinggal dua, Yang Mulia. Pertama Pasal 27 ayat (2) kaitannya dengan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dan kedua hak konstitusional dengan pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil pada batu ujinya, Yang Mulia itu yang kami perbaiki pada legal standing,” tegas Irawan.
Kemudian, sambung Irawan, terkait pada pokok permohonan terdapat pada angka 27 halaman 14 pihaknya menguraikan terkait Pasal 27. “Kami telah menyampaikan Pasal 29 ayat (1) bertentangan dengan konstitusi karena pekerjaan Pemohon tergantung dari minyak goreng yang diperjualbelikan di pasar.
Baca juga:
Minyak Goreng Langka, Pedagang Pecel Lele Uji UU Perdagangan
Sebelumnya dalam persidangan pendahuluan, Pemohon menyatakan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan merugikan hak konstitusional Pemohon karena adanya praktik distribusi dan penyimpanan minyak goreng sehingga terjadilah fenomena kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. “Berdasarkan norma tersebut meskipun norma itu mengandung larangan tetapi distributor tetap masih bisa menyimpan minyak goreng dalam jumlah dan waktu tertentu. Itulah yang sedang kami uji, Yang Mulia, terkait dengan inti normanya dalam jumlah dan waktu tertentu,” kata Irawan.
Lebih lanjut Irawan mengatakan, apabila minyak goreng tidak terdapat di pasaran maka Pemohon tidak dapat bekerja. Namun, Jika harganya tinggi hal tersebut akan berpengaruh kepada daya beli Pemohon dan harga jual beli barang dagangan yang diusahakan. Hal ini menghambat Pemohon dalam bekerja dan berdagang.
“Minyak goreng yang tidak tersedia atau minyak goreng yang mahal menurut batas penalaran yang wajar dapat membuat Pemohon tidak dapat bekerja. Jika Pemohon tidak dapat bekerja maka Pemohon dan keluarga tidak dapat hidup layak. Padahal Pemohon sebagai warga negara sesuai Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan,” tegas Irawan.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.