JAKARTA, HUMAS MKRI - Kelahiran perbankan syariah tidak lepas dari peran strategis ulama, khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pengembangan perbankan syariah dengan melakukan pembinaan, pengawasan, dan arahan bagi pengembangan perbankan syariah agar berjalan secara sehat dan berkelanjutan. Dalam hal ini, MUI melakukan langkah dengan membentuk Dewan Syariah Nasional MUI (DSN MUI) yang bertujuan untuk melaksanakan tugas MUI dalam menetapkan fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa di lembaga perekonomian, keuangan, dan bisnis syariah, dan mengawasi penerapannya dalam rangka menumbuhkembangkan usaha bidang keuangan bisnis di Indonesia. Demikian diungkapkan oleh Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia MUI Arofah Windiani dalam sidang keenam pengujian materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Kamis (12/5/2022). Permohonan Nomor 65/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian UU Perbankan Syariah ini diajukan oleh Rega Felix yang mengujikan Pasal 1 angka 12 serta Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah. Agenda sidang yaitu mendengarkan keterangan MUI selaku Pihak Terkait.
Arofah lebih lanjut memaparkan tugas utama dan fungsi DSN MUI pada akhirnya bermuara pada peran strategisnya sebagai lembaga yang dipercaya oleh masyarakat dan pemerintah untuk mengawal, mengembangkan, dan mengawasi jalannya perbankan syariah. Oleh karenanya, MUI berpendapat norma yang ada pada Pasal 1 angka 12 UU Perbankan Syariah yang menyatakan prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah tersebut telah tepat, benar, dan sesuai dengan UUD 1945.
Kewenangan MUI
Wakil Ketua Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia MUI Syaeful Anwar dalam keterangannya di persidangan mengatakan, berbicara perbankan syariah berarti berkaitan erat dengan perjanjian Islam atau akad syariah yang ketentuannya diatur dalam Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang‑orang yang memenuhi persyaratan terkait ketentuan tersebut sehingga menjadi relevan dan mudah untuk diterapkan dalam operasional perbankan syariah. Dengan demikian, MUI menilai kewenangan atas pemberian fatwa perbankan syariah kepada pihaknya tersebut sudah tepat.
“Majelis Ulama Indonesia melalui DSN MUI sebagai otoritas fatwa atau lembaga ijtihad yang bersifat kolektif, mufti jama’i, memiliki peran yang sangat strategis dalam pengembangan dan pergaulan ekonomi, keuangan, dan bisnis syariah. Oleh karena itu, sudahlah tepat, benar, dan konstitusional Pasal 1 angka 12, Pasal 26 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UU Perbankan Syariah,” terang Syaeful dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin Ketua MK Anwar Usman bersama delapan hakim konstitusi lainnya.
Syaeful lebih lanjut menanggapi dalil Pemohon yang menyebutkan UU Perbankan Syariah memberikan delegasi blangko kepada Majelis Ulama Indonesia, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan sehingga terjadi disharmoni pengaturan perbankan syariah. Terhadap dalil ini, MUI berpendapat bahwa pada Penjelasan Pasal 2 UU Perbankan Syariah tersebut telah jelas menyatakan dalam perbankan syariah dilarang keras untuk melakukan transaksi yang bertentangan dengan prinsip syariah, seperti riba, maysir, gharar, haram, dan zalim. Bahkan secara tegas pada Pasal 26 ayat (4) dan ayat (5) UU Perbankan Syariah telah mengatur pula tentang fatwa MUI dapat kemudian menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Di tambah pula, jelas Syaeful, pada Pasal 24 ayat (4) telah secara autentik menyebutkan Komite Perbankan Syariah beranggotakan unsur‑unsur dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi yang berimbang yang memiliki keahlian bidang syariah dan berjumlah paling banyak 11 orang.
“ Dengan demikian dalil bahwa Pemohon seolah‑olah dirugikan oleh Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah yang telah memberikan delegasi blangko kepada Majelis Ulama Indonesia, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan sehingga terjadi disharmoni pengaturan perbankan syariah haruslah ditolak seluruhnya karena tidak beralasan hukum sama sekali. Maka Pasal 1 angka 12, Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah adalah konstitusional dan tidak ada yang bertentangan dengan ketentuan Undang‑Undang Dasar Tahun 1945,” jelas Syaeful.
Baca juga:
Menguji Ketentuan Penetapan Prinsip Perbankan Syariah
Pemohon Perbaiki Uji Materi UU Perbankan Syariah
DPR Jelaskan Kewenangan MUI Menerbitkan Fatwa Usaha Perbankan Syariah
Pengaturan Prinsip Syariah Berdasarkan Fatwa MUI Menjamin Kepastian Hukum
BI: Fatwa DSN MUI Penentu Produk Perbankan Syariah
Untuk diketahui, permohonan Nomor 65/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian materiil UU Perbankan Syariah diajukan oleh Rega Felix. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (6/1/2021), Rega Felix mengatakan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak mendapatkan hak akibat pengaturan perbankan syariah yang dinilainya tidak jelas. Hal ini diakibatkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah karena memberikan delegasi blangko kepada MUI maupun BI/OJK. Akibatnya, terjadi disharmoni pengaturan perbankan syariah dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurut Rega, UU Perbankan Syariah secara umum hanya mengatur soal kelembagaan perbankan syariah, tetapi prinsip-prinsip yang ada dalam transaksi perbankan syariah (secara khusus prinsip hak milik) tidak diatur. Sehingga, detail prinsip syariah yang semestinya diatur dalam tingkat UU tidak diatur dalam UU Perbankan Syariah, melainkan melalui Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) UU Perbankan Syariah didelegasikan kepada MUI untuk ditetapkan dalam fatwa yang kemudian diterangkan dalam peraturan BI atau OJK setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Akibat penafsiran yang ambigu, sambung Rega, menjadikan seolah OJK mempunyai celah untuk tidak mengatur dalam POJK. Akibat delegasi blangko dan dualisme kewenangan ini menyebabkan persepsi di masyarakat adanya dikotomi antara negara dan hukum agama hingga timbul persepsi “lebih baik ikuti hukum agama daripada hukum negara”. Di sisi lain, praktik bank syariah adalah praktik riba terselubung yang sama saja dengan bank konvensional. Hal tersebut karena dalam hukum negara banyak pertentangan.
Menurut Rega, hal tersebut harus diperbaiki. Sebab jika tidak, pada akhirnya perbankan syariah yang telah tumbuh akan roboh akibat tidak mempunyai pondasi hukum yang kuat. Ini tentu merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai nasabah perbankan syariah.
Selain itu, Rega juga menjelaskan, Pasal 26 UU Perbankan Syariah “memaksa” MUI maupun BI/OJK untuk mengatur materi muatan yang seharusnya diatur di dalam undang-undang.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan terhadap UU Perbankan Syariah khususnya mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah atau melakukan pembentukan undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur Rosihin Ana.
Humas: Tiara Agustina.