JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) telah sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Pertimbangan hukum tersebut diucapkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 15/PUU-XX/2022 yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (20/4/2022). Perkara tersebut diajukan oleh Dewi Nandya Maharani, Suzie Alancy Firman, Moh. Sidik, Rahmatulloh, dan M. Syaiful Jihad.
Menyoal keraguan para Pemohon terhadap para penjabat kepala daerah yang ditunjuk menggantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang habis masa jabatannya, Enny menyebutkan Mahkamah memahami kekhawatiran tersebut. Menurut Mahkamah, dalam penunjukan penjabat kepala daerah tersebut tetap dibutuhkan pertimbangan cermat sehingga pejabat yang terpilih nantinya harus mampu menjalankan rencana pembangunan daerah sesuai dengan visi misi RPJP daerahnya.
Oleh karena itu, lanjut Enny, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada, Pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah serta memerhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, sambung Enny, akan didapatkan para Penjabat Daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya masing-masing untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil Pilkada Serentak Nasional Tahun 2024.
“Oleh karena itu, kepemimpinan penjabat kepala daerah sesuai dengan ketentuan peralihan tersebut tetap berupaya mencapai agenda pembangunan di daerah yang bersangkutan. Menurut Mahkamah, dalil-dalil para Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum,” ucap Hakim Konstitusi Enny terhadap permohonan para Pemohon yang mendalilkan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Baca juga: Tak Dapat Pilih Langsung Kepala Daerah, Sejumlah Warga Negara Uji UU Pilkada
Ketentuan Pengisian
Dalam permohonannya, Pemohon juga mendalilkan agar Mahkamah agar pengisian jabatan kepala daerah yang berakhir tahun 2022 dan tahun 2023 diisi oleh kepala daerah terpilih yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan tahun 2023 menjadi penjabat kepala daerah agar kebijakan di daerah dapat terus dilaksanakan sesuai dengan RPJP daerah dan penjabat yang bersangkutan dapat mempersiapkan pilkada serentak 2024, sehingga hak konstitusional para Pemohon tetap dijamin karena jabatan tersebut diisi oleh kepala daerah hasil pemilihan sebelumnya. Terkait dengan dalil para Pemohon tersebut, Enny mengungkapkan penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa pengisian penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pilkada serentak nasional 2024 oleh pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan oleh pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota.
“Mahkamah dapat memahami kebijakan dimaksud karena pada prinsipnya masa jabatan kepala daerah terpilih telah berakhir sesuai dengan ketentuan undang-undang,” ujar Enny.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, telah ternyata Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. “Mengadili menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman membacakan Amar Putusan.
Sebelumnya, para Pemohon menyatakan akibat UU Pilkada, mereka kehilangan kesempatan untuk memilih kepala daerah yang diharapkan membawa kesejahteraan masyarakat, tetapi dipaksa menerima pejabat kepala daerah yang tidak dikenal. Sebab, jika kepala daerah dikenal melalui kampanye yang memaparkan visi dan misi jika terpilih sebagai kepala daerah dan mewujudkan program kerja yang kinerjanya dapat dipantau melalui mekanisme yang berlaku. Sementara, jika pejabat hanya ditunjuk maka visi misi yang akan dijalankan dipertanyakan, utamanya pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Melalui pengangkatan seseorang yang ditunjuk pemerintah sebagai pengganti sementara gubernur/bupati/walikota, maka hal ini tidak mencerminkan kepentingan umum dan ketidakberpihakan. Dengan kata lain, Pemerintah tidak lagi bertindak dengan bijak demi kepentingan umum karena telah menciderai yang dipilih rakyat sebagai pemimpin daerahnya masing-masing. Sehingga pada petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina