JAKARTA, HUMAS MKRI - Perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) mengundang keberatan warga negara. Kali ini, seorang supir angkutan kota (angkot) Bernama Mulak Sihotang mengujikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidang perdana untuk memeriksa permohonan Mulak Sihotang digelar di MK pada Selasa (19/4/2022). Sidang perkara Nomor 47/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU IKN ini dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Mulak Sihotang (Pemohon) menyampaikan permohonan kepada panel hakim secara daring tanpa didampingi kuasa hukum. Mulak menguji Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (8), Pasal 5 ayat (4) UU IKN.
Sebagai warga negara pembayar pajak, Mulak merasa dirugikan atas pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang bersumber dari APBN dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Pemohon juga berpendapat dalam rangka pendanaan IKN tersebut, otorita IKN dapat melakukan pemungutan pajak khusus dan bahkan pajak daerah serta restribusi daerah dapat berlaku secara mutatis mutandis sebagai pajak khusus sebagaimana dimaksud pada UU a quo.
Melanggar Tata Ruang
Menurutnya, pembentukan UU IKN sejak mulai dari perencanaan, penyusunan, pengesahan, atau penetapan harus bersifat transparan dan terbuka serta melibatkan partisipasi masyarakat. Namun demikian, Pemohon mendapati beberapa prosedur yang dilanggar dalam proses pembentukan UU IKN, yakni UU Penataan Tata Ruang Nomor 7 Tahun 2007, Perda Nomor 10 Tahun 2004 tentang Rencana Induk Tata Ruang Provinsi Kalimantan Timur, dan Perda Nomor 12 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Akibat dilanggarnya peraturan perundang-undangan tersebut berakibat pada cacat formil dari UU IKN.
Di samping itu, menurut Pemohon jika melalui prosedur yang benar, seharusnya rencana induk tata ruang provinsi Kalimantan Timur direvisi terlebih dahulu agar didapatkan rekomendasi untuk pembuatan master plan Ibu Kota Nusantara. Sehingga ketika pindahnya Ibu Kota Negara diharapkan mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemerintah setempat dan tidak memindahkan secara serta-merta begitu saja.
“UU IKN ini bertentangan dengan prinsip banyak orang karena berada jauh dari pusat ibu kota yang sebelumnya, penempatannya menimbulkan pro-kontra karena ibu kota negara pindah dan masyarakat tidak dapat lagi melihat lokasi yang jauh dan ini mengekang hak konstitusional warga negara dan diharapkan Mahkamah dapat memberikan surat pada DPR untuk merevisi UU IKN ini,” kata Mulak yang menyampaikan permohonan melalui video conference dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pengujian Formil
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan nasihat kepada Pemohon untuk memperjelas pengujian formil dengan uraian yang lebih spesifik. Berikutnya Pemohon juga diminta untuk mengakses Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) terbaru sebagai pedoman untuk memperbaiki sistematika permohonan. Selanjutnya Pemohon disarankan agar mempersingkat permohonan yang dimulai dengan perbaikan identitas Pemohon, kedudukan hukum atau kualifikasi perseorangan Pemohon dan syarat-syarat kerugian konstitusional yang bersifat spesifik, faktual, dan potensial, serta pertautan Pemohon dengan norma yang diujikan.
“Dalam hal ini yang diujikan adalah undang-undang sehingga diharapkan juga ada pendampingan atau Pemohon memperbaiki permohonan yang bersifat formil. Sehingga, terlihat kerugian konstitusional Pemohon yang terpaut dengan cacat formiil dari undang-undang yang diajukan. Ini bicara proses pembentukan UU IKN, maka tunjukkan persoalan prosesnya,” kata Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan nasihat agar Pemohon mempelajari ketentuan tentang perbedaan pengajuan uji formil dan materiil. Sehingga diharapkan Pemohon dapat mencermati perbedaan dasar pengujian formil ke MK. Dengan demikian permohonan Pemohon menjadi lebih mudah dimengerti dan sistematis sesuai dengan ketentuan permohonan pengujian formil di MK. Selanjutnya Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam nasihatnya mengatakan perlu bagi Pemohon untuk mempelajari kembali PMK 2/2021 ynag dapat dijadikan dasar untuk melakukan pengujian dengan memenuhi syarat formil dari pengajuan permohonan ini.
“Sistematiknya belum memenuhi syarat dan perlu disesuaikan khususnya Pasal 10 ayat (2) yang terdiri atas identitas Pemohon sampai pada tuntutan Petitum. Ini semua harus diperbaiki dengan jelas, jika tidak, maka dapat saja dikatakan oleh Hakim, permohonan ini kabur. Jadi jka lebih lengkap maka permintaan Pemohon dapat dipertimbangkan karena jelas hal yang diinginkan Pemohon,” terang Arief.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.