JAKARTA, HUMAS MKRI - Hak moral dan hak-hak ekonomi yang terdapat pada hak cipta menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan melekat pada penciptanya. Sehingga ketika membahas mengenai hak cipta semata‑mata tentang hak ekonomi, maka eksistensi hak moral yang ada di dalamnya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Keterangan tersebut disampaikan oleh Panji Prasetyo selaku kuasa hukum para Pihak Terkait yakni Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI), Perkumpulan Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia (PAMMI), Perkumpulan Anugerah Dangdut Indonesia (ADI), dan Perkumpulan Royalti Anugrah Indonesia (RAI), dalam sidang kelima pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) pada Rabu (13/4/2022) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidang perkara Nomor 63/PUU-XIX/2021 ini dimohonkan oleh PT Musica Studios yang mengujikan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta. Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Lebih jelas lagi dalam uraian keterangan para Pihak Terkait ini, Panji menyebutkan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (2) huruf e UU Hak Cipta, salah satu cara memperoleh hak ekonomi dengan menggunakan perjanjian tertulis berupa perjanjian lisensi. Di dalam perjanjian tersebut, jelas Panji, tidak boleh menjadi suatu sarana untuk menghilangkan atau mengambil alih seluruh hak pencipta dari ciptaannya sebagaimana diatur pula dalam Pasal 82 ayat (3) UU Hak Cipta.
Selanjutnya, sehubungan dengan sifat khusus hak cipta sebagai hak kebendaan, di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pembatasan jangka waktu perlindungan hak cipta itu sendiri, seperti perlindungan hak cipta bagi pencipta yang berlaku seumur hidup dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia berdasarkan Pasal 58 UU Hak Cipta. Demikian juga dengan jangka waktu perlindungan hak ekonomi produser fonogram pun dibatasi menjadi 50 tahun sejak fonogram difiksasi. Berdasarkan hak tersebut, terang Panji, dapat dimaknai dalam hak cipta terdapat pembatasan jangka waktu perlindungan, termasuk pada para penciptanya. Sehingga konsep kepemilikan mutlak di dalam hak cipta menjadi sangat tidak relevan.
“Berdasarkan hal tersebut, hak ekonomi atas suatu ciptaan merupakan suatu hak eksklusif yang pada prinsipnya melekat pada pencipta, sehingga pihak lain hanya dapat memanfaatkan hak tersebut secara sementara dan itu pun melalui izin dari pencipta, yang menurut ketentuan hak cipta hanya dapat dilakukan melalui perjanjian lisensi. Karena sifat eksklusif tersebut, hak ekonomi hanya dapat dialihkan secara sementara dan pihak lain tidak dapat memiliki kepemilikan hak cipta tersebut secara mutlak,” jelas Panji.
Lindungi Hak Pencipta
Sementara itu, Sawitri Anggraini yang mewakili Indra Lesmana dan Ikang Fawzi (Pihak Terkait) menyebutkan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta telah menciptakan kepastian kesetaraan kedudukan pencipta, pelaku pertunjukan, dan para produser fonogram. Berdasarkan kasus konkret yang dialami Indra Lesmana (Pihak Terkait) yang telah menciptakan karya sejak 1980-an merasa sangat terlindungi dengan adanya pembatasan praktik jual putus dalam melindungi hak penciptaan karyanya. Justru menurut Pihak Terkait, dengan tidak adanya aturan mengenai pengembalian hak ekonomi yang telah dialirkan melalui perjanjian‑perjanjian jual putus atau perjanjian tanpa batas waktu, memberikan celah kepada perusahaan‑perusahaan label untuk mengeksploitasi hak ekonomi Pihak Terkait dan memperoleh keuntungan yang tidak seimbang dengan nilai pembayaran yang hanya diberikan di awal kepada Pihak Terkait.
“Dengan dihapusnya ketentuan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 Undang‑Undang Hak Cipta sebagaimana permohonan Pemohon, justru akan meniadakan mekanisme perlindungan yang diharapkan para pencipta dan pelaku pertunjukan untuk mengakhiri praktik‑praktik pengalihan hak ekonomi yang tidak adil dan eksploratif,” terang Sawitri.
Baca juga:
PT Musica Studios Persoalkan Ketentuan Batas Waktu Hak Milik dalam UU Hak Cipta
PT Musica Studios Kurangi Pasal Pengujian UU Hak Cipta
DPR: Pencipta Seharusnya Mendapatkan Banyak Keuntungan Ekonomi
Piyu PADI Anggap Aturan Jangka Waktu Batas Hak Cipta Lindungi Pencipta Lagu
Sebagai informasi, permohonan Nomor 63/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian UU Hak Cipta dimohonkan oleh PT Musica Studios. Pemohon mengujikan Pasal 18, Pasal 30, Pasal 122 UU Hak Cipta. Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 18 UU Hak Cipta menyatakan, “Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, Hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.” Kemudian Pasal 30 UU Hak Cipta menyatakan, “Karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, kepemilikan hak ekonominya beralih kembali kepada Pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.”
Pemohon pada intinya mendalilkan Pasal 18 UU Hak Cipta menghalangi hak milik Pemohon atas suatu karya yang telah dilakukan perjanjian beli putus. Sebab pasal tersebut memberikan ketentuan batas waktu atas sebuah karya cipta, yang kemudian suatu karya tersebut harus dikembalikan pada pemilik cipta setelah 25 tahun. Pemohon menilai ketentuan tersebut merugikan karena hanya berstatus sebagai penyewa dan sewaktu-waktu harus mengembalikan hak tersebut pada pencipta karya.
Selain itu, Pemohon mengungkapkan kehilangan hak ekonomi atas berlakunya ketentuan Pasal 122 UU Hak Cipta. Dengan dikembalikannya hak cipta kepada pencipta, Pemohon tidak dapat mengambil royalti atas eksploitasi yang dilakukan pihak lain atas atas fonogram dari sebuah karya tersebut. Oleh karenanya, Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Sri Pujianti.
Humas: Tiara Agustina.
Editor: Nur R.