JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (12/4/2022). Kali ini, Perkara Nomor 34/PUU-XX/2022 diuji oleh 21 orang Pemohon, di antaranya Din Syamsudin, Azyumardi Azra, Didin S. Damanhuri, dan lainnya.
Ibnu Sina Chandranegara yang menjadi kuasa hukum Pemohon menyebut telah melakukan sejumlah perbaikan permohonan. Jika sebelumnya Pemohon menguji secara formil dan materiil UU IKN, maka dalam perbaikan permohonan, Pemohon mengubah menjadi pengujian formil saja.
“Sebelumnya kami telah melakukan perbaikan dengan mengubah permohonan formil dari pengujian formil dan materiil. Selanjutnya terdapat perubahan teknis peletakan sesuai dengan hukum acara yang ditentukan. Kewenangan Mahkamah diletakkan pertama, setelah itu kedudukan hukum dan berlanjut pada alasan permohonan,” ujar Ibnu Sina dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto.
Terhadap Kewenangan Mahkamah dalam permohonan para Pemohon terkini, ungkap Ibnu, tidak ada perubahan, sama seperti sebelumnya. Termasuk juga mengenai tenggang waktu pengajuan permohonan sudah disebutkan. Kemudian mengenai kedudukan hukum, para Pemohon menyampaikan argumentasi pengujian formil khusus berkaitan dengan pembayar pajak. Para Pemohon menyadari bahwa lahirnya UU IKN dimungkinkan adanya pungutan pajak khusus.
“Berkaitan dengan alasan permohonan, para Pemohon berpendirian mengajukan uji formil dengan dua alasan. Pertama, terkait dengan tidak didapatnya pertimbangan atas pendapat dan hak untuk mendapatkan jawaban yang diberikan sebagaimana makna dari Putusan MK No. 91 Tahun 2020. Kedua, para Pemohon menilai lampiran kedua UU No. 3 Tahun 2022 sesungguhnya tidak pernah ada atau terlampir atau bahkan dibahas,” jelas Ibnu.
Terkait perbaikan permohonan tersebut, Aswanto yang didampingi oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Daniel Yusmic P. Foekh meminta agar mensinkronkan alat bukti.
Baca juga: Dinilai Cacat Formil, UU IKN Kembali Diuji Konstitusionalitasnya
Dalam sidang sebelumnya, Para Pemohon menguji keseluruhan UU IKN secara formil maupun materiil. Para Pemohon beranggapan bahwa proses pembentukan UU IKN dilakukan hanya dengan mendengar masukan dari berbagai narasumber, namun tidak ada pertimbangan dan penjelasan atas berbagai pertimbangan yang sangat merepresentasikan pandangan para Pemohon, sehingga mengakibatkan hak para Pemohon memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya menjadi dirugikan dan mengakibatkan tidak terpenuhinya jaminan pengakuan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Menurut para Pemohon, format ibu kota negara nusantara tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan pembentukan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta menyatakan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (8), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Nano Tresna A.
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.