JAKARTA, HUMAS MKRI - Bank Indonesia (BI) selaku otoritas pengatur dan pengawas perbankan syariah, tidak memiliki legitimasi untuk merumuskan prinsip‑prinsip syariah secara langsung dalam pembentukan peraturan lembaganya. Oleh karenanya, fatwa Dewan Syariah Nasional MUI (DSN MUI) MUI menjadi salah satu prasyarat penentu bagi pemberlakuan suatu produk pada perbankan Syariah sebagaimana diamanatkan undang‑undang, sehingga keberadaan fatwa tersebut bersifat mengikat bagi pengembangan sistem operasional perbankan syariah.
Demikian disampaikan oleh Rosalia Suci Handayani dari Bank Indonesia (Pihak Terkait) dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Senin (11/4/2022). Dalam permohonan perkara Nomor 65/PUU-XIX/2021 ini, Rega Felix selaku Pemohon mengujikan Pasal 1 angka 12 serta Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah.
Melanjutkan keterangan Pihak Terkait, Rosalia mengatakan berdasarkan Undang‑Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‑Undangan, setiap peraturan yang diterbitkan oleh BI merupakan jenis peraturan yang diakui dan mempunyai kekuatan mengikat, termasuk pula pembentukan pengaturan kegiatan perbankan syariah. Mekanismenya, yakni setiap kegiatan usaha wajib tunduk pada prinsip syariah, prinsip syariah tersebut difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia, dan fatwa MUI tersebut dituangkan dalam peraturan Bank Indonesia.
Berikutnya Rosalia mengungkapkan pasca-UU Perbankan Syariah diundangkan, BI telah menerbitkan sejumlah peraturan terkait perbankan syariah. yang di dalam pembentukan peraturan hingga terbitnya melibatkan Komite Perbankan Syariah dan DSN MUI untuk memutuskan tentang materi yang akan dituangkan dalam peraturan BI tersebut.
“Sehingga peluang terjadinya perbedaan antara kehendak pembuat fatwa, dalam hal ini Dewan Syariah Nasional MUI dengan penafsiran Komite Perbankan Syariah menjadi sangat kecil. Bahkan saat kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan syariah masih berada pada Bank Indonesia pun, dalam proses perumusan ketentuan mengenai produk dan layanan perbankan syariah yang akan dimuat dalam suatu peraturan, Bank Indonesia juga melibatkan Dewan Syariah Nasional MUI. Maka kolaborasi demikian dapat dipastikan jika peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai produk dan layanan perbankan syariah senantiasa selaras dengan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI dan juga kebutuhan praktik perbankan,” terang Rosalia di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dari Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Baca juga:
Menguji Ketentuan Penetapan Prinsip Perbankan Syariah
Pemohon Perbaiki Uji Materi UU Perbankan Syariah
DPR Jelaskan Kewenangan MUI Menerbitkan Fatwa Usaha Perbankan Syariah
Pengaturan Prinsip Syariah Berdasarkan Fatwa MUI Menjamin Kepastian Hukum
Perbankan Syariah Semakin Solid
Pada kesempatan yang sama, Rizal Ramadhani selaku Deputi Komisioner Hukum dan Penyidikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan keterangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan ini. Sebab, ketika Pemohon mengajukan fasilitas pembiayaan ke Bank Syariah berdasarkan akad murabahah, maka ia pun harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan perbankan syariah yang telah pula sesuai dengan prinsip‑prinsip syariah yang mejadi perwujudan dari prinsip kehati‑hatian yang ada pada perbankan syariah.
Berikutnya sehubungan dengan dalil tentang layanan perbankan syariah yang dinilai Pemohon tidak memiliki kepastian hukum yang adil, pihak OJK berpendapat hal demikian merupakan argumen yang tidak berdasarkan fakta. Rizal mengatakan bahwa UU Perbankan Syariah lahir sebagai salah satu bentuk pengaturan yang mengakomodir kepentingan dan kebutuhan masyarakat dalam bertransaksi sesuai dengan prinsip‑prinsip syariah. Di samping itu, UU Perbankan Syariah membuka ruang bagi transaksi dan pendanaan sesuai dengan prinsip‑prinsip syariah dalam agama Islam dan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Diceritakan oleh Rizal, berdasarkan laporan perkembangan keuangan syariah Indonesia pada 2020 kondisi ketahanan perbankan syariah semakin solid. Hal ini dibuktikan dengan likuiditas perbankan syariah yang ditunjukkan oleh Financing to Deposit Ratio (FDR) yang terjaga pada kisaran 80 - 90%. Bahkan jumlah rekening perbankan syariah, baik bank umum syariah, unit usaha syariah, maupun bank pembiayaan syariah terus menunjukkan peningkatan dibandingkan akhir 2020. “Oleh karenanya, kehadiran bank syariah di Indonesia mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang menghendaki layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah agama Islam yang dianutnya,” jelas Rizal.
Prinsip Syariah Bukan Kewenangan OJK
Selanjutnya terhadap proses penuangan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dalam POJK, Rizal mengungkapkan hal tersebut dilakukan tanpa mengurangi hal-hal yang telah ditetapkan dalam fatwa DSN MUI. Setiap penyusunan peraturan terkait prinsip syariah yang dikeluarkan oleh OJK mengacu pada fatwa, sehingga tidak ada satu pun peraturan OJK yang bertentangan atau disharmoni dengan fatwa yang telah ditetapkan oleh MUI. Adapun terkait dengan kewenangan menetapkan prinsip syariah, hal tersebut kata Rizal bukan kewenangan OJK sebab semua pengaturannya didasarkan pada pengaturan‑pengaturan yang telah ditentukan dalam fatwa DSN MUI. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 – Pasal 9 Undang‑Undang OJK, sambung Rizal, kewenangan OJK hanya terbatas pada pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan termasuk sektor perbankan.
“Dengan demikian, sangat tidak tepat apabila OJK diberikan kewenangan untuk menentukan prinsip syariah, termasuk dalam layanan perbankan syariah karena hal tersebut bukan merupakan kewenangan OJK,” jelas Rizal.
Untuk diketahui, permohonan Nomor 65/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian materiil UU Perbankan Syariah diajukan oleh Rega Felix. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (6/1/2021), Rega Felix mengatakan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak mendapatkan hak akibat pengaturan perbankan syariah yang dinilainya tidak jelas. Hal ini diakibatkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah karena memberikan delegasi blangko kepada MUI maupun BI/OJK. Akibatnya, terjadi disharmoni pengaturan perbankan syariah dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurut Rega, UU Perbankan Syariah secara umum hanya mengatur soal kelembagaan perbankan syariah, tetapi prinsip-prinsip yang ada dalam transaksi perbankan syariah (secara khusus prinsip hak milik) tidak diatur. Sehingga, detail prinsip syariah yang semestinya diatur dalam tingkat UU tidak diatur dalam UU Perbankan Syariah, melainkan melalui Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) UU Perbankan Syariah didelegasikan kepada MUI untuk ditetapkan dalam fatwa yang kemudian diterangkan dalam peraturan BI atau OJK setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Akibat penafsiran yang ambigu, sambung Rega, menjadikan seolah OJK mempunyai celah untuk tidak mengatur dalam POJK. Akibat delegasi blangko dan dualisme kewenangan ini menyebabkan persepsi di masyarakat adanya dikotomi antara negara dan hukum agama hingga timbul persepsi “lebih baik ikuti hukum agama daripada hukum negara”. Di sisi lain, praktik bank syariah adalah praktik riba terselubung yang sama saja dengan bank konvensional. Hal tersebut karena dalam hukum negara banyak pertentangan.
Menurut Rega, hal tersebut harus diperbaiki. Sebab jika tidak, pada akhirnya perbankan syariah yang telah tumbuh akan roboh akibat tidak mempunyai pondasi hukum yang kuat. Ini tentu merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai nasabah perbankan syariah.
Selain itu, Rega juga menjelaskan, Pasal 26 UU Perbankan Syariah “memaksa” MUI maupun BI/OJK untuk mengatur materi muatan yang seharusnya diatur di dalam undang-undang.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan terhadap UU Perbankan Syariah khususnya mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah atau melakukan pembentukan undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur Rosihin Ana.
Humas: Tiara Agustina.